Thu, 12 Dec 2024
Esai / Askar Nur / Dec 29, 2020

Yang Sebenarnya Dibutuhkan Mahasiswa dalam Perguruan Tinggi

“Sekarang jangan membahas sejarah. Kamu masih muda, untuk apa? Nanti saja kalau sudah tua, saat kekuatan terbatas, kamu boleh menghabiskan waktu di perpustakaan. Sekarang, pergilah ke masyarakat”.

Kutipan di atas berasal dari pengantar buku “Catatan dari Lapangan; Esai-esai Refleksi Etnografis Bidang Sosial Budaya Mahasiswa Indonesia di Leiden” yang ditulis oleh lima Professor dan sembilan belas mahasiswa Indonesia yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Leiden, Belanda.

Kumpulan catatan lapangan ini berisi kebahagiaan, kesunyian dan ruang-ruang dilematis oleh para penulisnya yang tengah menempuh program doktoral di Universitas Leiden dan harus terjun ke lapangan, di beberapa wilayah di Indonesia untuk kepentingan penyelesaian disertasi.

Etnografi sebagai metode penelitian tentu bukanlah perkara yang mudah. Wijayanto menulis dalam catatannya terkait dunia etnografi. Kata etnografi berasal dari bahasa Yunani yang berakar dari dua kata ethnos yang berarti orang-orang, suku, bangsa dan grapho yang berarti aku menulis.

Secara harfiah, etnografi berarti aku menulis kisah tentang suatu kelompok atau suku atau sebuah bangsa. Bagi Wijayanto sendiri, etnografi merupakan melibatkan diri kita ke dalam sebuah dunia, dan pada saat yang sama, menjadikan dunia itu sebagai bagian dari diri kita sendiri.

Etnografi, Sebuah Kajian Manusiawi di Perguruan Tinggi

Kendati etnografi sebagai metode penelitian acapkali digunakan dalam penelitian pada jenjang doktoral namun tentunya tak menjadi batasan bagi jenjang lainnya khususnya program sarjana atau diploma untuk menjadikan etnografi sebagai metode dalam melakukan penelitian. Etnografi sendiri kiranya dapat dikategorikan sebagai metode studi sekaligus ilmu yang manusiawi namun dapat dilihat secara bersama bahwa etnografi masih sangat jarang dipakai dalam ruang pendidikan tinggi khususnya bagi mahasiswa program sarjana.

Tak ayal, pengetahuan nyata terkait kehidupan masyarakat masih sangat minim. Polemik dan dinamika kehidupan masyarakat umum acapkali hanya menjadi tesis semata atau asumsi selain dikarenakan faktor kurangnya minat mahasiswa untuk mengadakan riset/penelitian, juga karena persoalan kurikulum pembelajaran mahasiswa program sarjana di beberapa perguruan tinggi khususnya di kota Makassar masih sangat memprioritaskan kecakapan teoritis. Penelitian pun dilakukan hanya sekedar kepentingan skripsi dan objek penelitian masih berada pada seputaran teks, sangat jarang mengkaji luar teks dalam artian kehidupan masyarakat sekeliling sehingga kajian atau pembelajaran mahasiswa nampak berjarak dengan kehidupan masyarakat luas.

Misalnya beberapa kampus di kota Makassar yang notabenenya memiliki jurusan dengan latar belakang kajian sosial, seperti antropologi, sosiologi, sastra dan budaya, akan tetapi studi etnografi sebagai ruang penelusuran the way of life suatu masyarakat terbilang masih sangat jarang dilakukan.

Tentunya, sebuah keinginan bersama jika arena pendidikan tinggi diwarnai pula dengan disiplin studi yang menitikberatkan hubungan dialektis antara mahasiswa dan dinamika kehidupan masyarakat umum. Secara sejauh ini, kita telah memberi jarak pada kehidupan yang nyata.  

Pengenalan studi etnografi dalam ruang lingkup kampus kiranya menjadi ihwal yang urgent terlebih lagi bagi mahasiswa Sastra ataupun yang berlatarbelakang humaniora. Betapa tidak, pengkajian etnografi mampu memperkenalkan dinamika kehidupan masyarakat, memahami masalah yang dihadapi dan turut merasakan pula. Tak menutup kemungkinan bahwa dari pembelajaran etnografi, solusi terhadap permasalahan masyarakat seperti kesenjangan sosial yang kerapkali diperbincangkan akan lahir.

Menelaah kembali arena pendidikan tinggi, yang seharusnya menjadi catatan bersama adalah bagaimana memantik kembali kesadaran kritis bagi para generasi muda yang kian hari kian berada di persimpangan jalan (baca: kehilangan arah). Selain daripada konstruksi bangunan pendidikan dengan prioritas kehidupan industri, hal demikian diperparah pula dengan segenap aturan yang kesemuanya (hampir dapat dipastikan) mengarah pada corak kehidupan individualistik.

Tak pelik, polemik sosial kemasyarakatan yang sepatutnya diakomodir mahasiswa sesuai tuntutan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi berlalu dan menyisakan ruang semu tak bertuan. Alhasil, perbincangan tentang kehidupan masyarakat hanya hadir dalam ruang-ruang diskusi satu hari menyoal peran pemuda dan tanggung jawabnya akan tetapi setelah itu semuanya kembali berjalan seperti biasa.

Ketimpangan yang dihadapi masyarakat hanya menjadi tema diskusi dan sangat jarang menjadi judul yang digali dari inti masalah, melahirkan rumusan masalah yang harus ditindaklanjuti sehingga muncul sebuah proyeksi atau inovasi yang lebih manusiawi.

Kita bahkan terlanjur jauh berinovasi untuk sebuah kehidupan dengan rona kecanggihan teknologi dan kelayakan hidup atas nama kesejahteraan seluruh elemen masyarakat sementara kita lupa (pura-pura lupa) menyusun sebuah perangkat baru dengan inovasi yang lebih ber-perikemanusiaan yang beranjak dari akar masalah yang selalu disantap masyarakat setiap harinya di atas meja kehidupan.

Memang benar apa yang dibahasakan kaum bijak, jika kita bukan bagian dari penyelesaian maka kita adalah masalah itu sendiri. Jika seorang mahasiswa beserta arena tempat belajarnya tidak mampu menelaah dengan seksama permasalahan dalam kehidupan masyarakat sekeliling maka ia adalah bagian dari masalah tersebut.

Perguruan tinggi sebagai arena hidupnya sekelompok manusia intelektual sudah menjadi keharusan untuk menyediakan ruang pembelajaran yang tidak memiliki jarak dengan kehidupan nyata (baca: etnografi) sekaligus mengaktualisasikan fungsi intelektual. Kita yakini bahwa semua mahasiswa adalah kaum intelektual namun tak semuanya memahami fungsi intelektual dalam kehidupan masyarakat.

 

Penulis: Askar Nur, Mahasiswa jurusan Bahasa & Sastra Inggris Fakultas Adab & Humaniora UIN Alauddin Makassar. Penulis merupakan Presiden Mahasiswa DEMA UIN Alauddin Makassar Periode 2018 dan Duta Literasi UIN Alauddin Makassar 2019.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.