Bagaimana Saya Menulis Soal Hidup Minimalis?
Saya bukan orang yang mahir soal minimalis. Saya menjalani hidup sebagaimana manusia normal pada biasanya. Makan, tidur, bekerja, belanja, dan sebagainya.
Dua bulan yang lalu, ketika tidak ada pekerjaan yang mengharuskan saya keluar rumah, di hadapan rak buku mungil yang sesak dan penuh itu, saya duduk dan diam cukup lama.
Hal pertama yang saya pikirkan, dari mana semua ini? Kemudian selanjutnya membawa saya pada pertanyaan lain, untuk apa semua ini? Selama berhari-hari saya tidak menemukan satu jawaban pun.
Atau barangkali jawaban tidak pernah ke mana-mana. Ia selalu berada di tempat yang sama. Namun, cara kita melihatlah yang perlu dilatih sedikit lebih ekstra.
Setelah mantap dengan buku mana saja yang akan saya lepas dan yang tetap di tempat, satu jawaban terungkap. Terwujudnya satu keinginan hanya akan melahirkan kepuasan sementara.
Hal ini akan lebih sering berulang, disadari atau tidak, yang pada gilirannya keinginan tidak ada habisnya. Maka untuk itu dibutuhkan ‘batas’ agar ruang gerak ego bisa diredam.
Selanjutnya beralih ke lemari pakaian. Jumlahnya bisa dihitung jari, beda dengan koleksi buku saya sebelumnya, hehe. Kapan terakhir kali saya belanja untuk urusan yang satu ini?
Mungkin tahun lalu. Mungkin setahun sebelumnya lagi. Saya lupa. Lagi pula, saya memang tidak begitu paham soal fesyen. Selama bersih dan belum mengeluarkan aroma kelabang rebus, maka aman-aman saja untuk saya kenakan.
Ditambah lagi, saya punya kecenderungan untuk ‘menghindari orang lain’. Artinya, saya bebas memakai baju yang sama selama tiga hari kedepan. Hidung saya punya sistem kemandiriannya sendiri, ditopang oleh kebiasaan rajin untuk mandi.
Rak buku saya kembali menyisakan ruang kosong. Buku-buku itu tidak lagi saling tindih apalagi sedih karena tidak saya baca.
Kekosongan yang ada karena melepaskan seringkali disertai perasaan lega atau tiba-tiba asing. Tetapi, kekosongan dibutuhkan agar kita bisa menerima sesuatu yang akan ada datang.
Perasaan-perasaan baru akan lahir. Pola pikir dan pemaknaan juga ikut bergeser.
Di lemari pakaian, saya hanya mengeluarkan beberapa. Ada yang karena ukuran sudah tidak pas, tapi dominan karena alasan hemat air.
Uhuk. Dan kalaupun saya punya lima lembar baju, misalnya, tidak mungkin juga saya pakai secara bersamaan.
Maka saya kadang dibuat tercengang sekaligus kagum oleh orang yang ingin menegaskan eksistensi dirinya pada tumpukan benda yang diberi jahitan itu. Dahsyat!
Namun, sekali lagi saya bukan orang yang mahir soal minimalis sebagai gaya hidup. Para pembaca yang budiman sangat boleh beranggapan semua ini hanya omong kosong belaka.
Ocehan yang tidak lebih penting dari stok obat nyamuk yang kini tinggal selingkaran. Karena setelahnya saya sudah siap donor darah demi kesejahteraan bangsa mereka.
Penulis: Akir, lahir di sebuah dusun kecil di bone, 2000. Sehari-hari mengurus dan memberi pakan sapi-sapi yang diternakkan sendiri. Punya banyak waktu luang dan tidak ada kegemaran tertentu dan rajin menyebar omong kosong di instagram @akirmndr.