Sat, 07 Dec 2024
Esai / Muh. Wahyu / Nov 29, 2024

Menguatnya Oligarki Lokal di Pilkada 2024

“Sekarang kita perlu memilih bupati yang kaya, supaya uang rakyat nantinya tidak dikorupsi saat menjabat,” demikian bunyi pesan di salah satu grup whatsapp yang beranggotakan berbagai lapisan masyarakat di kabupaten saya, Pinrang Sulawesi Selatan.

Saya membacanya sekilas, mengusap layar gawai saya ke atas, dan rupanya pesan itu ditanggapi dengan stiker dan respon jempol yang ramai oleh banyak orang di dalam percakapan.

Pesan itu menimbulkan pertanyaan di benak saya, apakah masyarakat umum saat ini memang memiliki cara pandang yang seperti ini? Apakah Legitimasi terhadap calon kepala daerah ternyata dinilai dari tingkat kekayaannya?

Lantas apakah mereka memang menjadi jujur dengan kekayaan demikian banyaknya, seperti yang diartikulasikan dan diharapkan oleh masyarakat?

Kekayaan dan Ketimpangan: Sumber Legitimasi Empiris Baru

Risse dan Stollenwerk (2018) dalam Legitimacy in Areas of Limited Statehood menggunakan konsep legitimasi empiris untuk melihat bagaimana legitimasi sebagai sebuah penerimaan sosial di area kenegaraan yang terbatas seperti wilayah konflik atau wilayah periphery suatu negara.

Area kenegaraan yang terbatas memiliki sumber legitimasi yang beragam, salah satunya kepemimpinan yang berkarisma, dimana masyarakat memberikan penghormatan yang tinggi kepada kepemimpinan model ini.

Pada konteks kepemimpinan lokal saat ini kekayaan seorang calon kepala daerah telah menjelma “karisma” sebagai variabel untuk mendapatkan penerimaan dari masyarakat, hal ini tidak mengherankan di tengah ketimpangan ekonomi masyarakat dibandingkan dengan para pejabat publik dan oligarki sebagai penyokongnya. 

Hal ini terbukti dari laporan Center of Economic and Law Studies (Celios) yang mengungkapkan ketimpangan antara para konglomerat dan masyarakat yang dalam kurun waktu 6 tahun kedepan Indonesia akan memiliki kuadriliun pertama dalam sejarah dan pada saat yang sama, butuh waktu 133 tahun untuk menghilangkan kemiskinan di Indonesia.

Bahkan lima orang terkaya di Indonesia membutuhkan waktu 630 tahun untuk menghabiskan kekayaannya jika mereka membelanjakan 2 miliar rupiah per hari.

Di sisi lain, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 9% atau sekitar 25,22 juta orang, angka ini berasal dari indikator kemiskinan yang dirilis oleh BPS pada 2024 yakni di angka paritas daya beli per bulan Rp 535.547.

Namun menurut Celios indikator ini sudah tidak relevan mengingat Indonesia sudah masuk di negara berpendapatan menengah yang garis batas kemiskinannya berada di angka Rp 1.200.000 sehingga persentase kemiskinan di Indonesia tentu lebih tinggi dibanding data BPS saat ini. 

Dengan ketimpangan yang demikian mencolok, kekayaan menjadi standar baru dalam mendapatkan legitimasi empiris bagi calon kepala daerah sekaligus menjadi prasyarat untuk dapat maju dalam perebutan kursi kepemimpinan lokal.

Standar kekayaan sebagai prasyarat untuk dapat maju menjadi seorang calon kepala daerah di Indonesia memang tidaklah pasti, tapi tentu biaya politik untuk menduduki kursi nomor 1 di daerah menyentuh angka yang fantastis.

Survei KPK dan LIPI menyebutkan untuk menduduki kursi bupati dibutuhkan dana minimal 30 miliar rupiah dan untuk kursi Gubernur sekurang-kurangnya 100 miliar rupiah. Biaya politik yang terlampau tinggi justru tidak sebanding dengan akumulasi gaji para bupati yang hanya mencapai 5 miliar rupiah dalam 5 tahun.

Besar pasak daripada tiang ini tentu harus ditutupi dengan praktik koruptif dan penyelewengan kekuasaan demi mengembalikan modal kampanye. Melalui gambaran diatas, rumusan Winters tentang oligarki tepat untuk menganalisis oligarki lokal di tingkat daerah.

Pilkada 2024: Pesta Oligarki Lokal

Kiwari, legitimasi empiris oleh masyarakat terhadap oligarki lokal berkedok kepala daerah belakangan mulai dinormalisasi, dinasti politik menjamur di setiap pemilu dan pilkada.

Hasil riset Indikator Politik Indonesia pada Oktober 2023 mengungkap 52% responden permisif terhadap politik dinasti. Wajah samar politik dinasti juga semakin jelas pada gelaran Pilkada 2024 dimana 605 calon kepala daerah dari 545 daerah pemilihan atau sekitar 294 daerah pemilihan terpapar dinasti politik. 

Pada akhirnya, legitimasi empiris masyarakat atas “karisma” kekayaan para calon kepala daerah yang dipercaya tidak akan menyelewengkan anggaran hanyalah semu belaka.

Penangkapan kepala daerah karena kasus mencuri uang rakyat masih senantiasa muncul beritanya, bergantian berjaket oranye di gelandang oleh KPK. Para oligarki lokal berkedok calon kepala daerah ini akan tetap menjaga status quo agar “karisma” kekayaan mereka tetap menyilaukan mata masyarakat di tengah ketimpangan ekonomi yang makin jauh jaraknya. 

Karena pilkada telah usai dan tentu para oligarki lokal dan rantai dinastinya juga semakin menguat melalui pilkada ini, merawat nalar demokratis untuk 5 tahun kedepan adalah sebuah langkah awal.

Menyadari bahwa demokrasi merupakan kuasa rakyat dan para kepala daerah adalah pelayan bagi semua orang menjadi jalan untuk tetap meminta pertanggungjawaban mereka.

Kebijakan-kebijakan yang merugikan hingga praktik koruptif harus diawasi oleh semua pihak dan kebebasan untuk menyatakan pikiran menjadi alat paling jitu. Mengutip Arendt, politik adalah tindakan, dan karena itu politik, tidak bisa tidak, mempersyaratkan kebebasan.

Politik hanya akan hidup bila ada kebebasan, jika nantinya kekayaan para oligarki lokal ini membuat masyarakat bungkam atas segala penyelewengan kekuasaan, maka pada saat itu juga politik telah mati. Politik sebagai cara untuk mencapai kebaikan bersama tidaklah lagi bermakna, tidak ada lagi kebaikan bersama, yang ada hanya kebaikan untuk oligarki saja.

 
 
Penulis: Muh. WahyuMahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan UGM. Dapat ditemui melalui Instagram @Wahyuhasbullah_.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.