Batas yang Tak Terucap
Namanya Nayla. Seorang gadis biasa yang sedang merasakan manisnya cinta pertama bersama Arga, laki-laki sederhana yang selalu tahu cara membuatnya tertawa. Mereka sudah menjalin hubungan selama hampir satu tahun—masa yang cukup untuk membuat Nayla merasa bahwa Arga adalah rumahnya.
Namun, ada satu hal yang selalu membuat Nayla merasa cemas: Raina.
Raina adalah sahabat perempuan Arga sejak SMA. Mereka dekat—terlalu dekat menurut Nayla. Mereka sering mengobrol lewat pesan hingga tengah malam, punya candaan yang hanya mereka berdua mengerti, dan bahkan kadang pergi berdua untuk “quality time” sebagai sahabat.
Awalnya Nayla berusaha mengerti. “Mereka hanya sahabatan,” begitu ia membujuk hatinya. Tapi seiring waktu, rasa cemas itu berubah menjadi luka kecil yang makin hari makin dalam. Terlebih saat Arga mulai sering membatalkan rencana dengan Nayla demi menemani Raina yang sedang sedih atau stres.
“Kenapa kamu gak bisa ajak aku bareng? Kan aku juga bisa temani kamu dan Raina,” tanya Nayla suatu hari.
Arga hanya tersenyum tipis. “Kamu gak akan nyaman, Nay. Percaya deh, ini cuma urusan sahabat.”
Jawaban itu yang membuat Nayla makin bimbang. Dia mulai bertanya-tanya, sejak kapan “sahabat” bisa membuat seseorang lebih diprioritaskan daripada kekasih?
Puncaknya terjadi saat ulang tahun Nayla. Arga datang terlambat, dengan alasan harus menemani Raina yang sedang galau karena putus cinta. Nayla menatap kue ulang tahunnya yang nyaris meleleh, lilin yang padam sendiri, dan hatinya yang ikut redup.
Malam itu, Nayla menulis pesan panjang pada Arga.
"Aku tahu kamu menyayangi Raina. Tapi kalau aku terus berada di antara kalian, aku hanya akan jadi penonton dalam cerita yang bahkan bukan milikku. Aku mencintaimu, tapi aku juga harus mencintai diriku sendiri. Sampai sini saja, ya. Terima kasih sudah pernah jadi rumah."
Pesan itu dikirim tanpa air mata. Hanya kelegaan.
Beberapa minggu setelahnya, Nayla melihat dari kejauhan: Arga dan Raina berjalan berdampingan. Tertawa. Mungkin memang mereka sejak awal ditakdirkan bukan hanya sahabat.
Nayla tersenyum kecil. Bukan karena tidak sakit, tapi karena akhirnya ia tahu batasnya—batas antara mencintai dan bertahan meski disakiti. Dan dalam kepergiannya, ia menemukan kekuatan yang tak pernah ia sangka ia miliki.
Penulis: Siti Herliah, Guru BK SMPN 1 Wonomulyo.