COVID-19, Momentum Titik Balik Hidup Kita
Setiap manusia dalam kehidupan ini tidak akan luput dari berbagai macam ujian, baik berupa kesenangan maupun kesulitan. Hal itu merupakan ketetapan Allah SWT untuk setiap hamba-Nya yang beriman. Namun, bagaimana setiap ujian itu dapat mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik, tergantung penyikapan kita terhadap segala ujian yang telah Allah SWT takdirkan.
Musibah COVID-19 adalah salah satu ujian kesulitan yang secara global melanda umat manusia. Tidak peduli kaya ataupun miskin, pejabat maupun rakyat biasa, pengusaha juga buruh harian, semua merasakan dampak buruk dari masalah ini. Dan tidak ada satupun manusia baik ilmuwan, akademisi, ahli kesehatan, maupun pemerintah, yang dapat memprediksi kapan masalah ini akan berakhir. Kecuali ikhtiar dengan segenap upaya dari semua kalangan untuk memutus mata rantai penyebaran virus.
Penerapan kebijakan lockdown, PSBB (Pembatasan Sosail Berskala Besar), sosial distancing, physical distancing, stay at home, atau apapun namanya, adalah bagian dari upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menghentikan penyebaran virus. Dan tentunya, semua itu berimbas pada banyaknya aktivitas yang juga harus dihentikan. Sehingga mengakibatkan beberapa sektor kehidupan, mulai dari ekonomi, pariwisata, industri, dan banyak lagi, mengalami kelumpuhan.
Tentunya itu bukan hal yang mudah untuk dilalui. ‘Di rumah saja’ tidak semua orang mampu menjalaninya, apalagi untuk bilangan waktu yang belum bisa diprediksi sampai kapan. Jika kita bukan buruh harian lepas yang harus keluar rumah untuk bertahan hidup. Jika tak ada tugas yang mengharuskan kita untuk selalu menjaga hal –hal penting yang tak bisa digantikan orang lain.
Atau jika stok saldo yang ada di rekening kita masih stay untuk segala kebutuhan. Mungkin kita akan sepakat di rumah saja, mengikuti instruksi pemerintah. Namun kendalanya, tidak semudah itu. Bahkan untuk rebahan pun, aktivitas yang pernah kita rindukan kala padatnya pekerjaan dan tugas–tugas yang mewarnai kehidupan kita sebelum corona melanda, kali ini menjadi sesuatu yang begitu membosankan.
Tapi saya tidak menitikberatkan tulisan ini pada sederat masalah yang terjadi akibat mewabahnya COVID-19. Karena saya yakin, kita semua tengah menghadapi masalah yang sama. Terlepas dari ada atau tidak adanya tabungan untuk bertahan hidup, wabah ini telah membuat kita semua terboikot oleh keadaan, sama–sama menghindari virus yang selalu bisa mengancam sistem pertahanan imun, dimanapun dan kapanpun. Bahkan kita tidak pernah tahu, hari–hari ke depan akan menjadi seperti apa. Sebagai seorang hamba yang percaya akan kekuatan Allah SWT yang Maha Besar, tentunya kita semua berharap dan berdoa agar wabah ini secepatnya berakhir.
Ujian adalah sunnatullah. Dan kita semua telah memahami hal tersebut. Namun, tidak semua pemahaman itu dapat berbuah baik sangka kepada ketetapan Allah. Tidak banyak orang yang bisa melewati musibah ini dengan tetap mempertahankan pikiran–pikiran positif.
Bahkan saya pribadi, yang banyak menuangkan kata sabar di setiap tulisan saya, sudah merasa berada di ambang pertahanan yang hampir rubuh, meskipun tidak sampai pada titik putus asa. Betapa saya senantiasa mencari beragam rutinitas yang bisa saya lakukan agar terhindar dari pikiran–pikiran buruk yang beberapa hari terakhir mulai bercokol.
Ujian, cobaan, musibah atau apapun namanya, adalah sebuah kondisi yang tidak pernah bisa diterima dengan baik oleh nalar manusia. Sehingga kesedihan dan rasa duka yang diakibatkan, menjadi sebuah keniscayaan yang mengiringi. Namun, bukan tidak mungkin setiap kesulitan yang kita hadapi mampu disikapi dengan baik, bahkan dalam kondisi tertentu dapat merubah kehidupan seseorang menjadi luar biasa, atau bisa dikatakan hebat.
Allah SWT berfirman; “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allah. Barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taubah: 11)
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata, “Maknanya; seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allah SWT, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allah SWT), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allah tersebut, maka Allah SWT akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allah akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”
Banyak kisah tertuang dalam lembar –lembar sejarah, betapa kehidupan para orang shalih terdahulu adalah contoh terbaik dari kesabaran yang luar biasa dalam penyikapan mereka terhadap masalah. Setiap kesulitan yang mereka temui, mampu merubah kehidupan mereka menjadi lebih baik. Dengan keyakinan yang kukuh dan pendekatan yang maksimal kepada Allah, menjadikan setiap musibah yang mereka alami sebagai momentum dalam melahirkan kebaikan yang terimplementasi dalam sebuah karya sehingga waktu mencatatnya dengan tinta emas sejarah.
Sebut saja pemboikotan yang dialami oleh Rasulullah beserta para sahabat. Rasulullah diboikot selama tiga tahun. Larangan menikah, berjual beli, berteman, berkumpul, memasuki rumah, dan berbicara menjadi kesepakatan yang dilakukan oleh orang –orang kafir Quraisy pada saat itu. Pemboikotan itu benar –benar ketat, sehingga cadangan bahan makanan sudah habis, sementara orang –orang kafir Quraisy tidak membiarkan bahan makanan yang masuk ke Mekkah atau barang yang hendak dijual melainkan mereka langsung memborong semuanya.
Namun, apakah kemudian dengan pemboikotan itu, Rasulullah menghentikan dakwah? Jawabnya adalah; “Tidak!” malah sebaliknya, kejadian tersebut menjadi cikal bakal lahirnya semangat dakwah yang luar biasa oleh sebab tempaan yang dilakukan Allah SWT kepada Rasulullah dan para sahabat, sehingga melahirkan kekuatan keyakinan yang sangat besar dalam diri orang –orang mukmin.
Ada juga kisah dari Ka’ab bin Malik yang diboikot oleh Rasulullah SAW karena tidak ikut dalam perang Tabuk. Rasulullah melarang semua sahabat untuk berbicara dengan Ka’ab. Tak ada satupun orang yang menyapa Ka’ab, seakan –akan tembok dan bumi ikut membencinya. Namun kejadian tersebut menjadi momentum sebuah pertobatan yang dilakukan oleh Ka’ab bin Malik sehingga momen itu diabadikan oleh Allah SWT dalam QS At-Taubah: 117 dan 118.
Allah SWT berfirman; “Sesungguhnya Allah telah menerima tobat Nabi, orang –orang Muhajirin dan orang –orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa –masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.”
“dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (terasa) sempit, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.”
Dan kisah para ulama seperti As-Sarakhsi, Ibnu Taimiyyah, Sayyid Qutb, dan Buya Hamka yang melahirkan karya–karya besar dari balik penjara. Mereka membuktikan bahwa siksaan fisik dan pemenjaraan raga tidak sama artinya dengan pemenjaraan pikiran dan pembungkaman suara. Mereka tetap membaca dan berkarya. Bahkan dengan karya tersebut, suara mereka dari balik jeruji besi terdengar semakin lantang menggedor setiap nurani yang berada di luar penjara.
Begitulah sebuah penyikapan yang melahirkan kebaikan dari setiap masalah yang kita hadapi. Masalah tidak lantas membunuh keyakinan kita pada hal –hal besar yang kemungkinan Allah keep dan akan diberikan-Nya pada suatu saat, asalkan kita mau bersabar dan berbaik sangka. Musibah covid telah memberikan kepada kita banyak ruang yang sebelumnya tidak pernah kita rasakan begitu berarti.
Kebersamaan dengan keluarga, keintiman yang jauh lebih mesra pada sang Pencipta, sikap empati dan welas asih pada sesama, serta kreatifitas dan banyak ide yang bermunculan dan melahirkan suasana baru dalam kehidupan kita karena terbatasnya ruang gerak, adalah sederet kebaikan yang selayaknya kita syukuri.
Banyak kebaikan yang masih bisa kita lakukan. Banyak potensi dan bakat–bakat terpendam yang bisa saja lahir dari kondisi ini. Ada baiknya kita menyalakan lilin, kendati nyalanya mungkin tidak bisa mencakup seluruh ruangan, tapi itu jauh lebih baik daripada terus menerus mengutuki kegelapan. Saling mendukung, menyemangati, dan menebar hal–hal yang positif agar aura kebahagiaan senantiasa hadir.
Mari jadikan musibah COVID-19 sebagai momentum titik balik hidup kita agar dapat menjadi manusia yang lebih baik lagi kedepannya.
Penulis: Eka Purnamawanti, Staf divisi Rumah Cahaya FLP Sulsel dan pegiat klaster Riset dan Kepenulisan Rumah Produktif Indonesia