Menemukan Makna di Balik Pengalaman
Awalnya, saya mendaftarkan diri sebagai volunteer dengan semangat yang besar. Padahal ini adalah pertama kalinya saya ingin mencoba keluar dari zona nyaman, mencoba sesuatu yang baru, sesuatu yang selama ini hanya saya lihat dari jauh.
Saya ingin menantang diri sendiri, membuktikan bahwa saya bisa berkembang lebih dari batas yang saya tetapkan sendiri. Namun justru saat mencoba untuk pertama kali, saya langsung gagal.
Rasanya berat seakan kegagalan pertama ini menarik saya kembali ke titik awal, membuat saya ragu untuk mencoba lagi. Rasa takut gagal yang dulu pernah hilang tiba-tiba muncul kembali.
Saya membayangkan kesempatan untuk bertemu orang-orang baru, belajar hal-hal baru, dan berkontribusi dalam kegiatan sosial yang selalu saya impikan. Saat mengisi formulir pendaftaran, saya merasa cukup yakin setidaknya yakin bahwa pengalaman organisasi yang saya miliki, meski tidak banyak, dapat menjadi modal awal. Namun hari pengumuman menjadi titik awal dari refleksi panjang yang tidak pernah saya duga.
Ketika melihat nama saya tidak ada dalam daftar peserta yang lolos, ada perasaan campur aduk: kecewa, malu, dan sedikit tidak percaya, tapi gapapa, namanya juga kehidupan ada kalanya di bawah dan diatas. Pada saat itu, saya merasa seperti usaha saya tidak dihargai.
Saya sempat bertanya-tanya, “Apa yang kurang dari diri saya?” Namun seiring waktu berjalan, saya mulai memahami bahwa tidak lolos bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan undangan untuk melihat diri saya lebih jujur dan lebih dekat.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa motivasi saya untuk menjadi volunteer tidak hanya soal diterima atau tidak diterima, tetapi tentang keinginan untuk tumbuh dan berkembang. Saya menemukan bahwa sering kali saya terlalu fokus pada hasil, sehingga lupa menghargai proses persiapan yang sudah saya jalani.
Mengumpulkan berkas, menulis esai motivasi, hingga membaca profil kegiatan membuat saya menyadari bahwa saya sungguh-sungguh ingin memberi manfaat. Kesungguhan itu sendiri sudah merupakan langkah besar yang layak dihargai.
Selain itu, kegagalan ini mengajari saya tentang kerendahan hati. Ada banyak orang hebat di luar sana, dengan pengalaman organisasi dan kemampuan yang mungkin lebih luas. Sementara saya bukanlah orang yang aktif berorganisasi, saya hanya pernah ikut beberapa kegiatan, itu pun tidak sering.
Menyadari hal itu tidak membuat saya minder, justru membuat saya lebih paham bahwa setiap orang berada di fase perkembangan yang berbeda. Tidak lolos berarti saya masih memiliki ruang untuk memperbaiki diri baik dalam hal keterampilan maupun kesiapan mental.
Pelan-pelan, saya juga belajar melihat pengalaman ini dari sudut pandang yang lebih luas. Saya mulai percaya bahwa ada alasan mengapa Allah tidak mengizinkan langkah saya sampai ke sana. Mungkin saya belum siap, atau mungkin ada tempat lain yang lebih sesuai dengan kemampuan dan jalan hidup saya.
Keyakinan bahwa Allah selalu menyiapkan sesuatu yang lebih baik membuat saya lebih tenang. Kegagalan kecil ini mungkin justru cara Allah membuka ruang yang lebih besar, yang belum saya lihat sekarang tetapi akan saya pahami suatu saat nanti.
Pada akhirnya, pengalaman tidak lolos volunteer ini membuka mata saya tentang banyak hal yang sebelumnya tidak pernah saya sadari. Saya belajar bahwa kontribusi tidak selalu lahir dari pengalaman panjang atau jam terbang tinggi.
Kadang kontribusi berawal dari niat sederhana: kemauan untuk mencoba dan keberanian untuk gagal. Tidak lolos bukan akhir dari perjalanan, melainkan bagian dari proses saya menemukan ruang-ruang baru untuk berkembang.
Pengalaman ini menanamkan keyakinan bahwa saya tidak harus sempurna untuk bisa bermanfaat, dan saya tidak harus ahli untuk bisa memulai. Yang paling bermakna bagi saya adalah menyadari bahwa perjalanan menjadi versi diri yang lebih baik justru dimulai dari langkah-langkah kecil yang terkadang tersandung.
Dan meski gagal kali ini, saya tetap ingin melangkah lagi bukan demi pengakuan, tetapi demi menghormati proses belajar yang sedang membentuk saya perlahan-lahan, sambil percaya bahwa apa pun yang saya dapatkan nanti sudah disiapkan Allah dengan penuh hikmah. Bisa jadi, sesuatu yang tampak tertutup hari ini hanyalah cara-Nya menuntun saya menuju hal yang jauh lebih besar daripada yang pernah saya bayangkan.
Penulis: Raihan Devi, mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab UIN Malang, penulis pemula yang tertarik pada refleksi cerita, bahasa, dan budaya.