Wed, 30 Oct 2024
Ceritakanaja / Ranti / Jul 13, 2024

Menjadi Dewasa dengan Siklus Hidup Monoton

Standar yang ditetapkan bagi manusia yang memasuki tahap dewasa awal memanglah cukup kompleks dan menyebalkan.

Bagaimana tidak, jika setelah lulus kuliah namun belum memiliki kerja menjadi kiamat bagi sebagian besar orang, gunjingan tetangga hampir setiap hari terdengar, harus kebal juga jika dibanding-bandingkan dengan anak kenalan tetangga yang sudah sukses padahal jenjang pendidikannya setara dengan kita.

Belum lagi harapan-harapan tidak masuk akal dari sanak keluarga menjadi beban ganda yang harus ditanggung, menjadi sarjana pertama di tengah keluarga memang punya tantangan berat.

Karena secara tidak langsung dijadikan percontohan oleh sepupu-sepupu yang masih duduk di bangku sekolah, oleh sebabnya kata ‘gagal’ adalah kosakata yang harus dihapus dalam kamus hidup.

Ketatnya persaingan di dunia kerja adalah fakta yang memukul telak para lulusan baru, apalagi tidak memiliki koneksi kuat jika melamar di sebuah instansi harus bersiap jika menerima penolakan.

Melihat akun-akun di media sosial yang menyediakan informasi lowongan kerja yang tersedia jauh lebih banyak untuk lowongan pekerja di toko, cafe ataupun rumah makan, tentunya sangat berbeda dengan peluang kerja yang diharapkan oleh lulusan sarjana.

Saya pernah berbincang dengan teman mengenai terbatasnya peluang kerja lulusan sarjana karena terkungkung oleh standarisasi di masyarakat. Apa kata orang nanti jika lulusan universitas bekerja sebagai penjaga toko, ada perasaan tidak siap dikucilkan karena pekerjaan tidak sesuai dengan background pendidikan.

Sedangkan prospek kerja untuk menjadi guru juga semakin sulit, guru honorer sudah akan dihapuskan tergantikan oleh guru-guru lulusan p3k, belum lagi untuk sekolah-sekolah swasta mempunyai kualifikasi harus memiliki pengalaman mengajar minimal setahun, lantas bagaimana nasib fresh graduate?

Kekhawatiran inilah yang menguasai pikiran saya di awal-awal menganggur, menjadi salah satu lulusan terbaik di universitas menjadi beban tersendiri untuk saya.

Apalagi setelah empat bulan berhenti bekerja sampai sekarang belum mendapatkan pekerjaan lagi. Menjadi takut bertemu dengan teman-teman lama karena merasa sudah tertinggal jauh, bahkan untuk sekadar meng-upload insta story juga enggan.

Melihat kawan-kawan yang sudah melanjutkan pendidikan ke jenjang magister, menjadi guru, dan juga bekerja di instansi sering kali memunculkan rasa insecure dalam diri. Rasa-rasanya langkah saya sangat lambat dibandingkan orang lain.

Sudah hampir setahun lulus dari universitas namun belum memiliki capaian yang patut dibanggakan. Saya juga terkadang bingung dengan diri sendiri, kemana perginya perasaan ambisius yang selalu muncul saat berkuliah dulu.

Kemana perginya kepercayaan diri yang terbangun saat berorganisasi dulu? Entahlah bahkan saya pun kesulitan menjawabnya.

Bulan maret lalu sampai hari ini saya mempersiapkan diri untuk mendaftar beasiswa, namun ada beberapa hal yang berjalan tidak sesuai harapan. Langkah awal yang gagal ini semakin menambah rasa pesimis dalam diri, padahal biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit.

Sedangkan kebutuhan lain mengantri untuk dipenuhi. Di usia pertengahan 20 an memunculkan rasa malu dan enggan jika harus kembali meminta uang ke orangtua. Meskipun tetap mempersiapkan pendaftaran beasiswa tapi harapan-harapan yang dulu dilangitkan seperti luruh seketika.

Tidak ada hal yang terlalu ambisius yang ingin saya kerjakan sekarang cukup menjalani hidup sebagaimana adanya, membiarkan hidup mengalir saja. Menjalani hidup monoton menjadikan saya lebih berterima dengan segala kemungkinan yang akan datang.

Setiap hari dilewati dengan aktivitas yang sama mulai dari bangun tidur pukul lima pagi, kemudian melanjutkan dengan jogging di lapangan kecamatan, setelah itu sarapan lalu membaca buku sampai siang hari, lantas sore dan malam hari dilewati dengan menulis jurnal harian, menulis puisi ataupun karangan bebas untuk keperluan blog, mengerjakan soal-soal bahasa inggris dan mendengarkan musik sampai tertidur.

Dan keesokan harinya melakukan aktivitas yang sama. Setidaknya meski monoton tapi aktivitas membaca dan menulis membantu saya untuk tetap waras menjalani hidup yang penuh absurditas ini.

Melewati hari-hari seperti ini sesekali muncul juga perasaan bosan tapi syukurnya buku-buku menyediakan berbagai genre, jika merasa bosan saya hanya cukup mengganti genre bacaan saja dan saya berterima kasih dengan teramat bagi siapapun yang pertama kali mencetuskan untuk membuat aplikasi Ipusnas sungguh jika tidak ada aplikasi tersebut entah bagaimana saya akan hidup.

Selama melewati siklus yang begini-begini saja setidaknya ada beberapa hal yang saya sadari serta nilai-nilai yang dulu saya pegang kini membuka pikiran saya untuk memandangnya dengan cara yang berbeda.

Pertama persoalan masa depan, tentu saja saya tidak menyerah sepenuhnya namun karena beberapa kegagalan yang saya jumpai membuat pemahaman saya tentang masalah satu ini menjadi berubah.

Sekarang saya tidak lagi melangkah terburu-buru tapi mempersiapkannya dengan hati-hati serta mulai menyusun strategi akan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.

Kedua harapan-harapan dari pihak luar, saya mulai berterima bahwa menyenangkan orang lain bukanlah menjadi kewajiban dan ada beberapa hal yang bukan menjadi porsi manusia yakni hasil dari usaha.

Yang perlu saya lakukan adalah berusaha sebaik mungkin, itu dulu.  Ketiga menerima energi negatif, saya selalu menolak jika pikiran-pikiran buruk muncul, berusaha mensugesti diri untuk selalu berpikiran positif tapi ternyata hal ini malah menjadi toxic positivity sehingga saat mendapatkan kegagalan saya menjadi sangat kecewa, akhirnya saya memilih berdamai dengan pikiran buruk itu.

Sekarang saya jauh lebih tenang dalam menjalani dan memaknai hidup, tidak lagi merasa dikejar-kejar, tentunya orang tua memiliki porsi besar dalam perubahan ini, memiliki orangtua yang tidak menuntut menjadi kesyukuran yang luar biasa.

Mereka tidak pernah membandingkan saya dengan siapapun namun meski begitu saya sadar mereka tentu menyimpan harapan-harapan yang tidak terucapkan.

Seperti apa kelak masa depan yang menunggu biarlah menjadi misteri yang akan terungkap jika waktunya tiba. Yang perlu dibenahi adalah masa kini. Bagi saya dengan tidak membuat orang lain sakit hati, selalu merawat kejujuran, melakukan hal-hal positif, menjaga spiritualitas adalah langkah-langkah kecil untuk mencapai perubahan yang lebih baik.

Saya teringat kutipan pada buku Rumah Kertas yang pernah saya baca bahwa buku-buku bisa merubah hidup seseorang, dan kali ini saya sendiri yang mengalaminya, nyatanya buku-buku selalu menjadi bagian penting dalam setiap perjalanan hidup.

 
Penulis: Manusia yang akrab disapa Ranti, menyenangi buku-buku dan gemar memotret berbagai hal. Tinggal di desa kecil bagian pesisir kec. Galesong. Dapat ditemui melalui Instagram hsrianty.h.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.