Perempuan Tunanetra
Sebagai perempuan penyandang disabilitas netra, saya begitu sulit memperoleh restu dari orang tua untuk jalan-jalan. Coba, deh, Anda bayangkan.
Mau nongki nggak bisa. Mau kencan nggak bisa. Mau nonton konser juga nggak bisa. Pokoknya, berada di dunia luar itu merupakan ancaman terbesar untuk saya. Sudah paling amanlah di rumah saja.
Beberapa bulan lalu, saya bertemu dengan seseorang yang sedang dekat dengan saya. Dia juga adalah penyandang disabilitas netra. Kami bertemu di kios tempat orang tua saya menjual makanan.
Kami sengaja memilih tempat itu karena ingin mengenalkannya kepada orang tua saya. Selain itu, bisa berhemat juga karena kencan tanpa dipungut biaya makan dan minum.
Niat kami saat itu ingin pergi ke McDonald’s. Dia pun izin kepada Mama saya untuk mengajak saya jalan-jalan. Mama hanya berkata, “Nanti dulu, ya.”
Mama lantas menarik tangan saya ke ruang belakang kios. Dia mengutarakan ketidaksetujuannya atas ajakan itu. Dengan nada suara yang ditekan, Mama berkata, “Nanti jalannya gimana? Pegang-pegangan gitu sama cowok? Etikanya di mana, Mbak? Kecuali, kalau ada cewek. Kalau Mama bisa anter, Mama anter.”
Mama akan setuju kalau ada perempuan non disabilitas yang bisa menggandeng saya. Sebenarnya, Mama ingin mengantar. Namun, beliau sedang sibuk melayani banyak pelanggan.
Aduh, masa kencan dimata-matai, sih? Gak bisa mesra-mesraan, dong.
Akhirnya, terjadilah perang panas antara saya dan Mama. Saya mengajukan komplain kepada Mama karena tidak mengizinkan saya sejak dulu belajar memakai tongkat untuk bisa berjalan sendiri.
Lagi-lagi alasannya adalah tidak ingin saya lecet-lecet lantaran kecelakaan dalam perjalanan.
Sebenarnya, dia sudah sangat berpengalaman, lo, bepergian sendiri menggunakan tongkat lipat. Terlebih dia masih ada sisa penglihatan atau istilahnya adalah low vision.
Dia masih bisa melihat segala sesuatu dari jarak yang dekat. Jadi, bukan seperti saya yang sama sekali tidak bisa melihat atau disebut totally blind.
Karena tidak diizinkan pergi, kami pun memesan dua ice cream Mixue di Gofood. Akhirnya, kami hanya bisa duduk-duduk di kursi pelanggan sembari memakan ice cream dan menanti senja berlalu.
Saya memang baru pertama kali diajak bepergian oleh lawan jenis. Selama ini saya cuma anak manja yang ke mana-mana harus bersama Mama. Pernah, sih, beberapa kali hangout bersama teman-teman kampus.
Namun, mereka perempuan dan non disabilitas. Mama lebih merasa aman jika saya bersama mereka dan wajib sesama jenis.
Sayangnya, momen itu Cuma beberapa kali terjadi. Sebab, teman-teman perempuan non disabilitas yang menemani saya itu tipe anak rumahan juga.
Ditambah lagi lokasi tempat tinggal mereka cukup jauh dari rumah saya. Intinya, pergerakan kami pun sama saja terbatasnya.
Lantas, sekalinya ada yang bisa menemani saya jalan-jalan ternyata lawan jenis, tunanetra pula. Lawan jenis yang non disabilitas saja diberi lampu merah, apalagi yang bukan?
Sebenarnya, tidak hanya saya yang diperlakukan begitu. Ada banyak perempuan tunanetra yang dilarang orang tuanya bepergian sendiri.
Bahkan, di salah satu SLB di kota tempat tinggal saya, ada perempuan tunanetra yang hanya beberapa bulan bersekolah di SLB.
Hal itu bisa terjadi lantaran orang tuanya khawatir dia diapa-apakan oleh orang lain. Intinya, tidak ingin terjadi sesuatu lah kepadanya.
Saya paham betul bahwa perempuan itu rawan digrepe-grepe orang. Yang tidak disabilitas saja banyak kasusnya, apalagi disabilitas? Mau melawan pun sudah diserang lebih dulu.
Oleh sebab itu, para orang tua mengamankan anak perempuannya yang disabilitas di dalam rumah.
Namun, kami juga butuh menghirup udara di dunia luar. Kami berhak mengetahui berbagai tempat. Kami ingin bisa hangout bersama teman-teman seperti orang-orang non disabilitas. Kami bukan pelaku kriminal yang wajib ditahan.
Masa iya, sih, pengalaman hidup kami cuma kamar, ruang tengah, kamar mandi, dapur, dan sesekali di beranda rumah? Tidak ada variasi tempat yang kami kunjungi.
Memang betul ada jaminan keselamatan apabila berada di rumah. Tidak ada ancaman dari orang-orang eksternal. Namun, orang-orang internal sendiri yang malah mengancam psikis kami.
Masa iya, sih? Sudah gangguan fisik, gangguan mental pula. Paket combo, dong, kalau begitu.
Apakah hal itu murni kekhawatiran orang tua? Ataukah memang stigma perempuan yang sudah sepantasnya di rumah saja? Jika berada di dunia luar, perempuan akan dianggap yang macam-macam oleh orang-orang.
Dalam hal ini memang saya lebih beruntung, sih. Saya masih bisa mengenyam bangku pendidikan sampai ke perguruan tinggi.
Jadi, saya bisa berkunjung ke tempat lain ketika ada kegiatan kampus. Namun, saya tetap saja masih belum bisa nongki di kafe sambil menikmati live music sebagaimana yang dilakukan anak muda pada umumnya.
Penulis: Vivi Intan Pangestuti, domisili di Kota Cilegon Banten. Aktivitas saya adalah menjadi mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dapat ditemui melalui instagram @viviitan99.