Agustus
Cahaya dengan sigapnya menyelinap diantara celah berdebu, mengetuk kelopak mata yang masih melampiaskan lelahnya setelah semalaman terjaga hanya untuk menanti satu bunyi dari telpon genggam pemberian ayah setelah memenangkan lomba di bulan Agustus.
Dengan tenaga yang belum terisi penuh kucoba membuka mata, hal yang pertama yang kulakukan adalah melihat ke arah kanan atas tempat jam dinding bertengger, rabun namun kutahu bahwa jarum pendek sudah menunjuk angka tujuh, seakan mendapat kekuatan, diri ini tiba tiba berada dalam kamar mandi begitu saja tanpa melakukan pemanasan sebelumnya.
Tak butuh waktu lama untuk berada di dalam ruang kecil tempat membersihkan segala yang melekat tanpa seizin dari sang pemilik. Kupilih pakaian terbaik, mulai kusisir ramput yang mulai memanjang sebagai bentuk perlawanan dari segala yang tak sesuai. Kunyalakan motor tua yang tak lekang oleh waktu, meski suaranya tak semerdu penyanyi yang memenangkan kontes dangdut tapi suaranya memberi suntikan penyemangat tersendiri buatku.
Sebelum berangkat tak lupa kucium tangan sambil meminta izin kepada kedua orang tua, tak perlu perbincangan lama sebelum berangkat karena semalam telah kuceritakan rencana untuk hari ini, sekaligus meminta restu atas apa yang akan kulakukan. Kunaiki motor tua yang penuh dengan sejarah ini, yang sudah melewati ribuan kilometer.
Perlahan namun pasti, begitulah pemikiranku saat mengendarai motor tua, tak lupa ku lemparkan senyum kepada setiap orang yang melambai kepadaku, hangat sapaan mereka sangat terasa dan hanya senyum terbaik yang mampu kuberi saat di atas motor. Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, mulai kupacu motor ini karena tak lama lagi waktu yang kusepakati untuk bertemu dan jarak yang akan ku tempuh ketempat pertemuan masih lumayan jauh.
Akhirnya sampai, kembali kuperiksa jam tanganku untuk memastikan tidak telat, kutarik telfon genggam dari saku celana kain berwarna hitam, benar sebuah pesan masuk dan ternyata darinya,cukup panjang tulisan pada pesannya namun mata ini terfokus pada satu kalimat “maaf tidak bisa datang”, seketika terdiam tak bisa berkata dan berbuat apa apa.
Bagai Maling Kundang yang di kutuk jadi batu, diri ini hanya berbicara dalam hati, bak dua orang dalam satu tubuh, saling menyalahkan satu sama lain. Mulai kutarik nafas panjang mencoba menenangkan semesta yang seakan tak berpihak pada diri ini sedikitpun. Kuluruskan segala yang bengkok menenangkan jiwa dan fikiran kuberi sugesti bahwa semuanya belum berakhir. “Tenanglah, semua baik baik saja” itu yang coba kupertahankan.
Entah kenapa Agustus kali ini berbeda, banyak yang berubah mulai dari hal kecil sampai hal yang menurutku takkan berubah pun harus berbeda terasuk dirinya yang tak lagi sama. Sebelum berbalik arah, kembali kutelusuri jalan belum ada tujuan sampai kulihat dari jauh kedai kopi yang biasa kutempati menghabiskan malam bersama dengan teman-teman hanya sekedar bercerita dan menyeruput kopi.
Kuparkir motorku lalu bergegas masuk, kumulai perbincangan dengan mengucap salam kepada bapak yang sudah menua tapi kopinya tetap untuk anak muda. Pak Karman biasa kami sapa Pak Man supaya keren, seperti biasa saya memesan kopi andalan yang sudah di kenal oleh semua orang di sekitar kedainya.
Kunaikkan kembali telpon genggam yang tadi memberi pesan seakan dunia berakhir. Mulai kubaca ulang pesan darinya, kucerna dan mulai kumengerti kenapa dia bisa mengambil keputusan seperti itu. Pak Man pun datang membawa secangkir kopi beserta gorengan penemani pagi menjelang siang ini. Kucoba membalas pesan setelah sebelumnya tak bisa berbuat apa apa, kutanyakan keadaan orang tuanya yang sedang terbaring sakit dirumahnya dan hanya dia yang menemaninya.
Pak Man datang menghampiri, duduk di sebelahku mulai menyakan kabar setelah satu pekan tak berkunjung ke kedainya. kuceritakan sebab kenapa satu pekan terakhir ini saya tak berkunjung termasuk apa yang kualami tadi. Pak Man memberikan saran sesuai dengan pengalamannya, dia mememulai dengan menceritakan masa mudaya dulu dengan berbagi macam kejadian yang dia mampu lewati mulai dari hal sepele sampai ke yang menjadikannya sampai sekarang.
Setelah mendegar nasihat dari Pak Man, mulai kususun dari awal semuanya, kuluruskan tekad untuk memberanikan diri datang kerumahnya sebagai bentuk simpatik dan penyemangat untuk sang Ibu yang terbaring sakit. Sebelumnya tak berani karena berbagai macam hal dan juga larangannya untuk tak datang ke rumahnya, tapi kali ini semua kubaikan, sesuai saran Pak Man ini adalah sebuah kesempatan dalam kesempitan.
Setelah membayar kopi dan gorengan saya pamit pada Pak Man untuk menuju tujuan selanjutnya, tak lupa Pak Man berteriak memberikan semangat sekaligus sindiran, entahlah yang jelas dibenakku sudah ada secercah harapan kembali. Tiba di dapan pagar rumahnya tanpa memberi kabar bahwa diri ini akan berkunjung.
Kuberanikan menekan bel, tak lama kulihat pintu rumahnya perlahan terbuka keluar sosok wanita yang mengenakan kerudung biru, tampak rauk mukanya bertanya tanya kenapa begini. Sebelum di persilahkan masuk, kucoba menjelaskan maksud dan tujuanku diapun menerima apa yang kusampaikan. Terdiam sepersekian detik, sebuah kalimat yang kunanti akhirnya terlontar dari bibir yang agak merah jambu halus namun tegas, mempersilahkan diri ini masuk.
Kuangkat tangan kananku sambil memegang sekantong buah yang kubeli di pinggir jalan saat menuju kemari. Diapun mengambilnya sambil mengucap terima kasih, dia berjalan di depanku menunjukkan arah, serasa ingin mengikuti kemanapun perginya. “silahkan duduk” katanya, sambil membuka toples yang berisikan kue yang terbuat dari mentega sembari mempersilahkan mencicipi kue yang katanya buatan ibunya.
Kembali kutanyakan keadaan sang Ibu meski telah kutanya pada isi pesan singkat tadi, pembicaraan berlanjut panjang lebar sampai dia di panggil oleh Ibunya untuk mengambilkan segelas air. Setelah datang sayapun pamit karena sudah lama dan tidak enak kepada tetangga, saya pamit pada Ibunya sambil memberikan doa semoga cepat sembuh, Ibunya merespon baik saya dan menyuruh saya untuk sering sering datang main kerumah.
Betapa hebat hari ini setelah sebelumnya saya mengatakan banyak yang berubah, benar banyak yang berubah tapi tergantung perspektif diri kita bagaimana menanggapi perubahan yang ada, terbesit dibenak untuk tidak terlalu cepat mengambil keputusan saat sesuatu terjadi, kembali tenangkan fikiran dan mulai lihat kembali sesuatu dari sudut yang berbeda serta jangan pendam sendiri masalahmu.
Penulis: Muhaimin Razad, aktif di MEC Rakus Makassar.