Membaca Ulang Budaya Perjodohan
Pernahkah anda memperhatikan atau melihat dengan seksama, seperti apa perbandingan kisah romansa/percintaan yang ada dalam Sejarah peradaban manusia dan bentuk perbandingannya seperti apa?
Terkadang dalam beberapa kasus, kita sering kali menemukan diksi yang cukup menohok bahwa “Sejarah tentang cinta adalah penderitaan”. Maksudnya apa? Mohon untuk menelusuri kata demi kata yang ada di sini, karena mungkin saja jawabannya ada di akhir tulisan.
Dalam konsep perjodohan, masyarakat melalui 2 fase perjodohan, yakni primartial relationship dan martial relationship, Primartial relationship adalah fase dimana perjodohan masih ditahap awal. Disinilah individu akan mulai mengenal fase PDKT, pacaran.
Sampai menemukan penyimpangan-penyimpangan seperti perselingkuhan, pengkhianatan, putus kemudian fase berulang-ulang, jika beruntung, individu akan mendapatkan fase Matrial relationship yakni fase Dimana individu akan menikah, memulai kehidupan rumah tangga, membentuk keluarga, kemudian menjadi keluarga besar (klan), sampai membentuk masyarakat, dan akhirnya menjadi sebuah “fondasi untuk negara”.
Kedua tahap tersebut adalah 2 fase umumnya dilalui dua manusia yang saling jatuh hati, meski pada kasus lain juga ada individu yang tidak begitu sering melaluinya. Namun dewasa ini, masyarakat melalui berbagai restructure yang secara masif mengubah konsep perjodohan terlihat lebih berlika-liku.
Dari istilah one night stand, LDR, TTM, maupun pacaran itu sendiri, manusia terkadang mengulang-ulang siklus membosankan yang sama dan bahkan akan melahirkan “ending” yang berbeda dari martial relationship.
Di zaman sekarang, kisah percintaan memiliki banyak bentuk cerita dan improvisasi, mulai dari perselingkuhan, sugar daddy, pacaran dibawah umur hingga berbagai hal nyeleneh yang berkaitan dengan percintaan. Ini pun bisa diidentifikasi apakah ia memang berbentuk “Love” atau “Sexual Desire” atau menjurus pada keadaan “intimacy” yang ternyata dirasakan sebagian besar perempuan dan laki-laki. Lelaki pun bisa merasakan hal demikian.
Keadaan tertentu, “galau” bisa menyerang lelaki meskipun kelihatannya dari luar ia baik-baik saja. Seperti contoh seorang lelaki yang merasa “galau”, cenderung akan mendengarkan musik yang sesuai dengan suasana hatinya.
Pada kondisi ini, disebutkan dalam konsep “Song as validation feelings”, dikemukakan bahwa manusia cenderung akan menggunakan media suara, audio dan lagu untuk mewakili perasaan dan apa yang mereka pikirkan, dan hal tersebut memberikan validasi perasaan yang menurutnya hal yang normal bagi mereka. Begitupun dalam teori resonansi emosional juga memberikan penjelasan yang sama terkait ini.
Di Indonesia sendiri, budaya perjodohan adalah sesuatu yang dianggap tabu. Budaya saling menjodohkan kerabat pun bukan hal yang aneh. Justru bagi mereka, menjodohkan anggota keluarga adalah bentuk dari menjaga garis keturunan murni dan mempertegas kehormatan, khususnya perjodohan pada kalangan bangsawan.
Namun dewasa ini, pandangan seperti ini bukan hanya dimiliki oleh kaum bangsawan saja, namun bisa terjadi pada keluarga konglomerat, politikus, dan borjuis (orang-orang pemilik modal atau biasa disebut pengusaha). Dalam kehidupan sosial masyarakat, saya menaruh perhatian khusus pada fenomena adat uang panai yang mampu mengubah budaya dan adat pernikahan khususnya pada pernikahan adat bugis makassar.
Seperti yang kita ketahui, Uang panai adalah uang yang diberikan khusus dari mempelai pria kepada mempelai wanita. Uang ini dipergunakan sebagai penunjang kelengkapan pernikahan maupun untuk keperluan lainnya.
Pada awalnya uang panai yang sudah dipergunakan sejak zaman Kerajaan Gowa-Tallo (nama dua kerajaan yang akhirnya bergabung menjadi kerajaan makassar) berfungsi sebagai bentuk denda dan konsekuensi seorang lelaki yang berani meminang perempuan keturunan bangsawan, dan tentu jumlahnya terbilang tinggi.
Dewasa ini, uang panai tidak lagi dipandang sebagai denda, melainkan bentuk penghormatan dan kesungguhan seorang pria dalam memperjuangkan maupun membuktikan kerja kerasnya untuk memenuhi syarat pernikahan.
Namun coba bayangkan jika persyaratan uang panai ini diberlakukan tidak hanya pada gadis berdarah bangsawan, tapi juga dari keluarga kalangan politikus, konglomerat dan borjuasi? Tentu sudah jutaan uang yang harus disiapkan mempelai pria jika ingin meminangnya.
Tak ayal, tinggi rendahnya derajat seorang perempuan didalam masyarakat dapat dihargai dengan uang yang diberikan pada saat pernikahan/mahar. Tinggi rendahnya uang panai tergantung pada strata sosial seseorang.
Seperti berasal dari keturunan seorang bangsawan yang memiliki gelar adat (Karaeng, Andi, Opu, Puang, Petta), tingkat pendidikan, jabatan, ekonomi maupun kedudukan didalam masyarakat. Semakin tinggi strata sosial seorang perempuan maka semakin tinggi pula uang panai’ yang harus diberikan.
Jika ditelusuri lebih awal mengenai sejarah awal mulanya uang panai diperadakan, Uang panai memang diperuntukkan pada perempuan berdarah bangsawan. Uang panai tak pelak dipandang sebagai sebuah perhiasan indah yang menambah keindahan serta mempertegas harga diri seorang perempuan berdarah biru.
Namun seiring perkembangan zaman, berkembangnya ilmu pengetahuan dan budaya populer, uang panai menjadi sebuah identitas sosial, mengalir dan mengakar kuat sebagai bagian dari kehidupan masyarakat bugis makassar yang akhirnya tidak hanya diperuntukkan untuk keturunan bangsawan saja, tapi kepada aspek gelar pendidikan, status sosial keluarga dan lain sebagainya.
Ditambah dengan bumbu-bumbu gengsi sebagai perwujudan tingginya martabat keluarga, akhirnya di masa sekarang, uang panai menjadi sebuah “simbol” bahwa jika berminat meminang perempuan bugis makassar, maka anda harus menyiapkan uang sebagai tanda derajat Perempuan yang anda pinang.
Perjodohan adalah sebuah cara atau metode untuk menikah, tak lebih. Sistem sosial yang kompleks, pencampuran kepentingan segelintir orang lah yang membuat perjodohan terasa sulit, melelahkan, dan cenderung berpolemik. Perpolitikan, bisnis dan berbagai urusan domestik menjadi tantangan seseorang yang “hanya” ingin menikah.
Ini menyasar ke berbagai pihak dari generasi ke generasi, kalau tidak percaya, anda bisa menelusuri kisah ratu mesir kuno bernama Cleopatra dan Panglima perang romawi bernama Marc Antony, atau kisah raja-raja terdahulu yang mempunyai banyak selir.
Dua kasus tersebut merupakan contoh nyata perjodohan yang dicampuradukkan dengan kepentingan lain. Jika anda merasa ada kisah lain atau perjodohan lain yang disusupi kepentingan dan hal-hal politis, maka coba uraikan dan analisis secara mendalam. Anda akan menemukan suatu hal yang sama yang mungkin akan menjadi sebuah ironi dari masa ke masa, dan ini disebut “oportunisme”.
Penulis: Ilham Arif Ramadhan, berasal dari Kabupaten Bulukumba dan sementara melanjutkan studi Antropologi di Yogyakarta.