Arif dan Hilangnya Kearifan
Siang ini matahari menyengat. Setelah kemarin hujan turun begitu derasnya. Sulit rasanya menerka kelakuan langit akhir-akhir ini. Tetapi setidaknya hal itu ikut menggambarkan bagaimana situasi yang juga terjadi di bumi, banyak hal menjadi tidak karuan.
Arif sudah separuh hari terduduk di depan gedung bercat putih itu. Gedung yang beberapa tahun lalu direncanakan untuk dibangun, kini sudah berdiri tegak. Di depan gedung itu telah berjejer rapi kursi plastik untuk tempat duduk warga. Meskipun tidak semuanya kebagian tempat duduk, mau tidak mau mereka berdiri saja.
Sambil mengibaskan kertas di tangannya, Arif memandangi satu persatu wajah penduduk yang berdiri tidak jauh dari tempat duduknya. Keringat yang bercucuran menjadi harga yang harus dibayar demi memperoleh pemberian bantuan dari pemerintah.
Setidaknya hal itu mengurangi beban perekonomian mereka. Bagaimana tidak, beberapa penduduk di desa ini harus kehilangan mata pencaharian mereka di kota akibat diberhentikannya berbagai aktivitas yang mengumpulkan banyak orang.
Di berbagai kota, belakangan ini dimasuki oleh wabah yang katanya mematikan. Virus bernama Corona menyebar begitu cepat, diiringi ketakutan yang bahkan lebih cepat menyebar sampai ke pedesaan karena kemajuan teknologi saat ini.
Akibatnya pun tak terhindarkan ke banyak lini. Arif harus pulang ke desa karena kampusnya telah ditutup dengan alasan yang sama. Meskipun dalam kepulangannya Arif harus melewati beberapa pemeriksaan super ketat lalu menjalani pengurungan diri selama dua minggu lamanya.
Tak hanya Arif, beberapa orang dari kota yang menjadi pegawai dari mesin pemotong padi juga ikut dikarantina. Waktu dua minggu cukup mengancam kehidupan para petani. Mereka berharap banyak kepada mesin pemotong padi agar bekerja pada waktu yang mereka perkirakan sendiri. Kecuali beberapa petani yang masih menggunakan cara tradisional untuk panen tahun ini.
Sambil memandangi wajah penuh harap itu, Arif larut dalam lamunannya. Persis beberapa tahun yang lalu, ia juga berdiri disana. Belum ada gedung bercat putih yang baru ini. Saat itu cuaca disana memang juga sama panasnya, beberapa pohon yang rindang ditebang beberapa waktu sebelumnya.
Alasannya demi membangun gedung yang baru. Pada waktu itu ia sedang mengurus dokumen-dokumen untuk kelengkapan berkas beasiswa di kampusnya. Dalam antrian pengurusan berkasnya itulah ia bertemu seorang kawan, Rin sapaannya.
"Rif, seperinya sudah lama disini?"
"Iya Rin. Lihat! Tubuhku sudah hampir mengeluarkan semua cairannya." Sambil mengibaskan kembali kertas di tangan kirinya.
"Ha-ha, seperti biasa mungkin kamu sudah tiba sebelum para pegawai kantor disini membuka gerbang." Sambil tangannya memukul bahu Arif. Seperti biasanya perempuan kalau sedang tertawa, tangannya ikut melayang.
"Kadang kamu ada benarnya juga. Memang aku sudah datang lebih awal tetapi itu sudah jadwal dimana semestinya para pemakai dasi itu ada di kantor ini."
"Rif, ini di Indonesia. Bukan di Jepang."
Sambil menyeka peluh dan menunggu namanya dipanggil, percakapan mereka tenggelam diantara banyaknya orang yang juga ada dan saling berbincang di sana. Arif memang datang lebih dulu. Hanya saja namanya tak kunjung dipanggil sampai saat Rin datang menyusul.
Ia hanya menyaksikan beberapa orang yang datang belakangan, mendekat ke meja tempat duduk pegawai itu dan tak butuh waktu lama untuk nama mereka langsung dipanggil. Tetapi saat itu Arif mencoba berfikir positif.
Mungkin saja orang yang datang belakangan itu memiliki urusan yang lebih mendesak di rumahnya. Tak terbersit dalam pikirannya bahwa karena ikatan pertemananlah yang membuat pegawai desa itu mendahulukan orang yang datang belakangan dalam antrian di depan kantor. Kesadaran Arif muncul belakangan.
Untuk melanjutkan pengurusan beasiswanya ia harus kembali ke kota bersama Rin. Di dalam mobil milik Rin, percakapan mereka menjadi teman dalam perjalanan jauh ini.
"Rif, sepertinya kamu punya peluang besar untuk lulus dalam seleksi beasiswa ini. Aku sudah menjadi temanmu sekitar 3 tahun. Tentu Aku tahu bagaimana kecerdasan dan prestasimu di sekolah bisa menjadi pertimbangan pula." sambil menyelinap beberapa kendaraan roda dua di jalanan.
"Rin, engkau memuji terlalu kelewatan. Kalaupun aku bisa lolos, mungkin pertimbangan besarnya adalah karena alasan kategori ekonomi kurang mampu."
"Bukannya memuji Rif, memang selama di sekolah kita sudah menjadi teman rival bukan?"
"Ah, yang benar saja. Tentu bukan itu alasanmu ikut mendaftar beasiswa ini juga kan?"
"Aku hanya coba-coba. Siapa tahu, bisa dapat pula."
Percakapan usai setelah akhirnya mereka sampai di depan gerbang kampus. Rin sengaja tak membawa mobilnya masuk ke dalam kampus.
"Rin, kenapa diparkir disini?"
"Aku pikir kamu tidak setuju kalau kita membiarkan orang-orang melihat kita menggunakan kendaraan pribadi ini. Apalagi kalau pihak kampus yang melihat. Bukan hanya aku, kemungkinan kamu juga terancam untuk tidak mendapatkan beasiswa ini."
"Akal ini lagi?" Arif mengambil nafas panjang.
Mereka kini berjalan kaki sampai ke gedung rektorat. Letaknya tidak jauh dari gerbang kampus. Selain dari pada pengurusan beasiswa ini, mereka berencana sekaligus ikut dalam wawancara penentuan kategori pembayaran semester. Kebetulan mereka berdua lulus tes masuk perguruan tinggi di jurusan yang sama.
Berkas-berkas yang telah dilengkapi dimasukkan ke ruangan tertentu untuk nantinya diperiksa. Salah satunya berisi surat keterangan kurang mampu yang telah diperoleh dari kantor desa kemarin. Butuh waktu beberapa saat untuk sampai ke sana karena banyaknya mahasiswa lain yang ikut mendaftar program beasiswa itu.
Setelah mengumpulkan berkas, mereka berjalan sedikit ke ruang jurusannya. Mereka mengikuti wawancara. Dengan beberapa pertanyaan dari tim wawancara, yang menurut Arif tak semestinya ditanyakan, kategori pembayaran sudah ditetapkan saat itu juga.
Sangat disayangkan bagi Arif yang ekonominya kurang mampu harus mendapat kategori pembayaran yang sama dengan Rin. Mereka memperoleh kategori pembayaran tertinggi.
Rin berusaha sekuatnya untuk menghibur Arif. Setidaknya masih ada kesempatan memperoleh beasiswa yang sementara diikuti oleh mereka. Sebelum pulang mereka berjalan-jalan sedikit di dalam kampus. Sangat megah kampus itu jika dilihat dari bangunannya. Perpustakaan yang besar, lapangan olahraga, gedung kesenian dan tak kalah menarik beberapa tulisan kreatif penyambutan mahasiswa baru.
Dua minggu telah berlalu sejak terakhir kali mereka merasa bangga usai membayangkan kalau-kalau mereka nantinya akan disambut meriah saat penerimaan mahasiswa baru. Layaknya pejabat tinggi yang biasanya datang ke kampung mereka. Hari ini pengumuman kelulusan berkas akan disampaikan secara online.
Arif punya sebuah handphone hadiah Ayahnya yang saat ini harus ke kota mengadu nasib. Dengan handphone itu ia akan membuka alamat website yang diberikan oleh pihak kampus.
Jam tujuh malam, dengan keterbatasan jaringan internet, ia berhasil mendapatkan pengumuman itu. Keringat dinginnya mulai keluar. Degupan jantungnya tak menentu. Berkali-kali pengumuman itu dibacanya. Sangat disayangkan. Tak ada nama Arif yang tertera dalam lembar pengumuman itu. Hanya ada tiga nama dengan inisial 'A'. Salah satunya Arinda Bachtiar Natsir.
Namanya tak asing. Itu nama lengkap Rin. Rin lulus dalam seleksi beasiswa itu. Arif tidak bisa berkata-kata sedikitpun. Bukan karena ia berharap teman rivalnya itu tak lulus. Hanya saja, beasiswa itu salah satu harapan ia mengurangi beban keluarganya.
Malam itu menjadi malam terpanjang bagi Arif. Banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya sebelum akhirnya ia tanpa sadar membawa dirinya ke dunia mimpi.
Pagi telah datang menyambut setelah beberapa kali ibunya membangunkan. Mereka kedatangan tamu. Itu Rin. Ia duduk di sebuah kursi kayu tempat Arif dan keluarganya sering bersenda gurau. Arif masih menggosok matanya setelah keluar dari kamar kecilnya. Serasa masih dalam mimpi. Apalagi, baru pertama kalinya Rin datang sepagi itu.
"Arif! Aku...."
"Tunggu. Aku ingin cuci muka dulu."
Saat Arif baru saja keluar dari kamar mandi, ibunya sudah mengayuh sepeda tuanya untuk membawa sayur dagangannya ke pasar terdekat. Semakin jauh dan tinggal mereka berdua di rumah itu.
"Ada kepentingan apa Rin. Tunggulah aku akan menghangatkan air. Sepertinya pagi ini banyak hal yang berubah menjadi dingin."
"Maafkan aku Rif. Ini di luar dari pada yang kuharapkan."
"Apakah kita sedang membicarakan tentang kejadian semalam?"
"Hal itu perlu dibicarakan dengan serius. Kamu tidak perlu membuatkan minuman."
"Sebaiknya hal itu tidak dilanjutkan lagi. Waktuku tak ingin kuhabiskan untuk merenungi kesedihan."
"Justru itu kita harus membicarakannya agar ia tak mengendap dan disembunyikan lalu muncul kembali begitu saja. Dalam mimpi mungkin masalah itu masih bisa datang menghantuimu"
"Tak ada lagi yang perlu kurasa. Jika tak ingin meminum air hangat, kusarankan kamu pulang. Ayahmu mungkin sudah mencari."
"Sebaliknya, ia yang memintaku datang kesini."
"Sangat tak kuduga."
"Demikianlah adanya. Setelah pengumuman itu keluar aku mencari namaku dan sangat kuherankan namamu tak ada disana. Aku menyampaikannya kepada Ayah. Ia tak kaget sama sekali."
"Tak akan ada keadaan yang berubah."
"Aku telah menceritakan pula bahwa kita mendapat kategori pembayaran yang sama. Aku memintanya agar beasiswa yang kuterima kuberikan saja padamu nanti."
"Sayangnya Aku tak mengharap belas kasih"
"Rif, ini berbeda. Aku tahu kamu layak mendapatkan beasiswa itu. Hanya...."
"Hanya karena ayahmu memiliki teman dekat dengan orang yang berada di kampus kita?" Arif sudah tak bisa menahan diri.
Semetara Rin tak menyangkal. Juga ia mungkin malu untuk mengiyakan. Arif memandangi sahabatnya itu. Wajah Rin berubah merah. Air mata berlinang dan bejatuhan begitu saja. Arif tahu, ini tak ada sama sekali berada dalam kemauan Rin. Sudah tak semestinya amarah itu ia lampiaskan kepada Rin.
Ayahnya memang senang dengan popularitas. Bukan karena ia tak mempu membayar uang semester itu. Mudah baginya menyetujui saran Rin untuk membayar uang kuliah Arif asal nama Rin tetap tercantum sebagai seorang penerima beasiswa.
Arif telah menyetujui permintaan Rin. Setelah beberapa kali ia dibujuk dan tak tega melihat ibunya yang setiap pagi harus mengayuh sepeda mencari sesuap nasi. Pun ia tak ingin sahabatnya menganggap bahwa ia menuduh Rin ikut terlibat untuk meloloskan dirinya dalam seleksi beasiswa itu.
Beberapa semester berlalu. Pada akhirnya Arif hanya menggunakan uang pribadinya untuk membayar uang semesternya. Ia memilih bekerja paruh waktu. Semester pertama saja pembayaran itu menggunakan beasiswa Rin. Belakangan ia membujuk Rin agar menerima kembali pemberian Arif. Sebagai rasa saling menghargai Rin menerimanya namun dengan kesepakatan uang itu akan disumbangkan ke sebuah panti asuhan terdekat dari kampus.
Sejak kejadian itu Arif berusaha untuk selalu bertindak lebih bijak. Ia tak ingin hal yang sama terjadi pada orang lain. Banyaknya orang-orang yang menggunakan istilah 'orang dalam' itu membuat Arif semakin jengkel. Bukan hanya di kampus, di banyak tempat, hal serupa marak ia temukan.
Kadangkala ia hanya tersenyum sembunyi bila menyaksikan hal-hal seperti itu. Ditambah lagi ia telah masuk ke dalam beberapa organisasi yang bisa lebih mendewasakan dirinya. Meskipun biasanya 'orang dalam' dijumpai karena kesamaan latar belakang organisasi tetapi Arif tak masih tak ingin menggunakan cara-cara itu untuk kepentingan dirinya sementara akan merugikan banyak orang.
Pada sebuah kesempatan dalam pementasan di organisasinya yang turut dihadiri beberapa pejabat ia membacakan sebuah puisi sindiran terhadap fenomena itu.
Surga tak lagi mensyaratkan yang berpahala
Jauh dari neraka tak mesti lagi menjauhi batil
Semenjak telah datangnya hewan penjaga
Berlaku semaunya membunuh adil
Para abdi mustahil syaratkan nilai
Nepotisme telah memenangkan ruang
Segala lini telah dikuasai
Kita terkepung, Bung
Anak-anak pinggiran semakin terpinggirkan
Kuasa hanya mencari wajah serupa
Kesempatan berakhir di tangan Tuhan
Maha Kuasa tiada serupa
Surga tak lagi mensyaratkan yang berpahala
Pintu-pintunya dikuasi mahluk aneh
Ha-ha-ha, 'Orang Dalam'
Sayang beribu kali, kita terlalu pinggiran.
* * *
Di depan kantor ini ia masih mengibaskan kertas yang dipegangnya. Sembari menatap sekelilingnya yang dipenuhi warga penerima bantuan. Mereka sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.
Ada yang melakukan foto selfi ada yang bermain game online dan beberapa sudah membawa pulang bantuan itu berupa beras dan kebutuhan makanan lainnya. Tak habis fikiran Arif kenapa orang-orang yang punya handphone canggih tadi ikut menerima bantuan, nama Arif dipanggil dan ia siap membawa pulang pembagian bantuan itu.
Hanya saja untuk sementara ia mendengar desas desus bahwa banyak yang salah sasaran dalam penerimaan bantuan itu. Beberapa dari mereka merupakan pendukung kepala desa saat masih dalam pencalonan. Tetapi Arif tak mau terlalu cepat mengambil kesimpulan.
Ayah Arif telah pulang beberapa bulan hampir bersamaan dengan ditutupnya kampus tempat Arif menempuh pendidikan. Beberapa perbincangan terjadi antara Arif dan Ayahnya seusai makan malam. Ayahnya duduk diatas kursi, tempat Rin dulu pernah menjatuhkan air matanya.
"Rif, sekarang kamu sudah semester 10. Ayah tidak bisa terlalu menjaminkan diri membiayai uang semetermu. Kamu tahu, tempat kerja Ayah saat ini ditutup paksa oleh pemerintah. Ayah pikir kamu bisa lebih memikirkan hal itu juga."
Hanya singkat jawaban Arif meskipun dalam hati sedikit teriris "Iya, Ayah".
Semester lalu Rin sudah menyelesaikan pendidikannya. Ia sudah menjadi seorang sarjana dan berencana melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Arif ikut bangga dengan kecerdasan temannya itu meskipun ia harus mengakui bahwa teman perempuannya harus tundum pada segala kemauan dari Ayahnya juga.
Malam setelah pembicaraan serius itu, Arif berbaring di tempat tidurnya. Setelah siang tadi di kantor cuaca begitu panas, malam ini dingin kembali menyelimuti pedesaan. Awan hitam menutup cahaya bulan dari balik jendela.
Mungkin hujan akan datang lagi dan langit masih tetap tak menentu. Akhir-akhir ini terdengar berita bahwa beberapa mahasiswa dari berbagai kampus melakukan aksi protes.
Mereka meminta agar kampus memberikan keringanan kepada mahasiswa. Mereka menolak pembayaran uang semester. Sebelumnya telah dikelurkan surat tentang pemotongan biaya sebesar 10% tetapi dicabut kembali. Arif sempat membaca surat keputusan itu.
Hujan sudah mulai turun membasahi atap rumah. Arif berpikir panjang tentang aksi protes itu. Jika itu berhasi,l ia punya peluang besar melanjutkan kuliahnya. Tak mungkin ia sepakat begitu saja dengan kebijakan yang hanya mengkhususkan orang kurang mampu untuk digratiskan pembayaran semesternya.
Hal itu tentunya bisa membuka peluang bagi orang-orang yang punya 'orang dalam' untuk kembali berbuat ulah. Rin sempat menelpon kepada Arif. Sebelum akhirnya tertidur, ia hanya ingat secara singkat perkataan terakhirnya kepada Rin
"Kalaupun pemerintah masih hilang kearifannya untuk menggratiskan pembayaran semesterku, Aku harus menerima untuk tak lanjutkan kuliahku lagi Rin."
Penulis: Rahmat Gazali, mahasiswa UIN Alauddin Makassar.