Farah adalah anak berusia 20 tahun. Pada saat usia 15 tahun, ia pernah membuat target hidupnya. Salah satu cita-cita yang tertulis di dalam target itu adalah berangkat umrah di usianya 20 tahun. Sayangnya, tabungannya belum cukup untuk menuntaskan cita-cita itu. Sering berkurang karena keperluan mendesak yang membutuhkan biaya.
Sekitar enam bulan sepuluh hari sebelas jam kedepan, usianya akan menginjak dua puluh satu tahun. Ia tidak lagi merisaukan tentang cita-citanya untuk menginjakkan kakinya di bumi yang di berkahi itu. Ia hanya bisa berserah diri kepada Allah karena Allah adalah penentu takdir yang terbaik menurutnya.
Jam dinding di kamar Farah menunjukkan pukul 16.21 waktu Indonesia bagian barat, dua orang lelaki berdiri di depan pintu, mengetuk rumahnya usai ia melaksanakan shalat ashar.
Tok... Tok... Tok... “Permisi, Assalamu'alaikum” suara salah satu lelaki terdengar oleh seisi rumah yang hening.
“Assalamu'alaikum!” lelaki itu mengulanginya lagi. Suaranya yang tegas seolah memberi gambaran bahwa sosoknya tinggi, besar dan berwibawa.
Ayah Farah belum pulang dari masjid setelah selesai shalat ashar, beliau tertahan sebentar oleh salah seorang jama’ah yang mengajaknya ngobrol ringan. Ibunya masih melaksanakan shalat ashar di dalam kamarnya. Adiknya sedang tidur lelap karena lelah baru sekitar 30 menit yang lalu pulang dari sekolah. Mau tidak mau, harus Farah yang membuka pintu. Menarik mukenahnya dengan sigap lalu membuka pintu. Sekitar dua menit setelah mengucap salam terakir, akhirnya pintu di buka.
Kreeeekk… Suara pintu dibuka. Tubuhnya bersembunyi dibalik pintu menyisahkan dua pertiga wajahnya yang muncul di daun pintu.
“Wa'alaikumussalam, cari siapa?” Tanya Farah ke lelaki tua yang berdiri sendiri tepat di depan pintu. Mencoba mengingat-ingat, nampak wajah lelaki tua itu tidak asing baginya.
Lelaki yang satunya lagi berada di luar pagar hanya nampak punggungnya sedang melihat-lihat lingkungan sekitar rumah Farah. Tampak dari belakang seorang lelaki bertubuh tinggi, kekar. Terlihat gagang kacamata setengah meligkar di telinganya.
Lelaki tua dengan wajah bersahaja di depannya tersenyum lalu berkata, “Ayah ibumu ada, nak?”
“Ayah belum pulang dari masjid, kek. Kalau ibu ada di dalam, mari silahkan masuk” jawab Farah
Lelaki tua itu membalikkan badannya, “Nak, ayo masuk !”
Sedangkan Farah berjalan menuju kamarnya, belum sempat melihat lelaki muda yang hanya nampak punggungnya tadi. Wajah lelaki tua itu benar-benar tidak asing bagi Farah. Mencoba mengingat, ternyata beliau adalah lelaki tua yang ditemui tiga hari setelah lebaran di rumah kakeknya di kampung yang datang berziarah bersama istrinya. Waktu itu Farah diminta mengangkat nampan berisi teh untuk si kakek dan istrinya. Setelah mereka pulang barulah Farah di beritahu bahwa sebuah perjodohan telah di rencanakan untuknya. Farah hanya diam. Prinsipnya selalu ia pegang teguh, “sesuatu yang ditakdirkan untukku tidak akan melewatiku dan sebaliknya, ketika sesuatu itu bukan milikku maka tidak akan pernah jadi milikku” gumam hatinya.
Mamanya spontan keluar dari kamarnya karena mendengar ada suara yang tidak dikenali. Tersenyum dan menyapa dengan hangat. Menanyakan kabar si lelaki tua. “Eh, pak Slamet. Apa kabar pak? Lama yah kita tidak bertemu. Ayo silahkan duduk”
Farah pun melangkah masuk ke kamarnya yang pintunya terlihat dari ruang tamu.
“Alhamdulillah baik. Eko kemana dek?” si lelaki tua kembali bertanya
Farah yang sedang berada di dalam kamarnya menggumam, “hm… Namanya pak Slamet”
“Belum pulang dari…” belum selesai menjawab, tiba-tiba Eko, Ayah Farah datang, tidak mengetuk pintu sebab pintu telah terbuka lebar.
“Assalamu'alaikum. Eh ada tamu. Kang Slamet, apa kabar kang?” tanya Eko
Di dalam kamar, Farah sayup-sayup mendengar pembicaraan mereka, mulai malu keluar dari kamarnya. Padahal Ibu yang berada di ruang tamu mengirimkan pesan melalui whatsapp, memintanya membuatkan teh untuk Pak Slamet dan Farhan. Farah pun keluar dengan tertunduk malu dengan langkah yang di percepat. Hampir saja dia menabrak lemari buku di dekat pintu dapur.
“Alhamdulillah sehat, ko. Kamu sendiri apa kabar, kok lebaran kemarin ngga mudik?”
“Alhamdulillah saya juga sehat, kang. Kemarin nggak mudik karena tiga hari setelah lebaran sudah harus masuk kantor lagi. Libur pegawai mepet, kang”
“Oh gitu. Lebaran kemarin aku ketemu anak kamu yang sulung itu” melirik ke pintu kamar Farah yang terlihat dari ruang tamu.
“Saya dan adik kamu, Rina berencana menjodohkan Farah dan Farhan” sambil menatap Farhan yang sedang duduk di sebelah pak Slamet.
“Nah kan, itu tujuannya” si Farah berkata lirih sembari mengaduk teh yang baru saja di tuang ke dalam gelas di sudut dapur rumahnya
“Kalau saya sih terserah Farah aja, kang mas. Kalau dia mau yah silahkan dita’aruf-in dulu, kalau tidak berjodoh, yah itu kehendak Allah, Dia punya takdir yang lebih baik”
“Iya, Ko. Kita manusia hanya bisa berusaha, Allah penentu takdir”
Farah berjalan menuju ruang tamu. Berhenti tepat di depan meja dan memindahkan gelas-gelas dari nampan ke atas meja. Tanpa berkata, pandangannya ke lantai dan hanya tersenyum tipis, ia perlahan melangkahkan kaki memasuki kamarnya.
Tidak melihat bagaimana bentuk rupa paras Farhan. Farhan sedang berada di luar rumah, handphonenya berdering bebeapa detik yang lalu, telepon yang masuk dari kepala rumah sakit tempatnya bekerja. Ia sedikit menyesal nampan itu ikut masuk ke kamarnya sebab ia lupa menyimpan kembali di dapur. Ia juga tidak berani keluar kamar lagi, malu menguasainya. Pintunya tidak ia tutup rapat. Ia mencoba mendengar pembahasan yang berlangsung di ruang tamu karena topik dari pembicaraan mereka tentang dirinya dan lelaki kekar itu.
Sejam berlalu. Pak Slamet yang masih nyengir tertawa mengenang cerita-cerita masa lalunya memutuskan pamit. “Aku pamit pulang yah, Ko. Saya tunggu kabar kamu, besok-besok saya akan telpon kamu.” sembari berdiri dari sofa dan mulai melangkah mendekati pintu.
“Baik, kang mas. Setelah ini saya akan diskusikan sama Farah tentang niat baik kang Slamet”
“ini foto Farhan” sambil menyodorkan foto lama tiga kali empat yang di pakai Farhan mendaftar kuliah. Banyak perbedaan sama Farhan yang sekarang. Di foto, ia nampak kurus, lesuh dan cupu. Sekarang ia adalah lelaki kekar, berkacamata dengan rambut tipis di dagunya.
Ayah Eko meraih foto itu. Tak berucap apa-apa. Hanya tersenyum
“saya pamit pulang paman” Farhan meraih tangan Pak Eko lalu menciumnya
“salam yah sama ibumu. Hati-hati di jalan, semoga sampai rumah dengan selamat” pesan Zainab, ibu Farah menyatukan tangannya karena tidak ingin berjabat tangan ke pak Slamet dan Farhan lalu mereka berempat sama-sama melangkah keluar rumah
“iya Bibi. Makasih jamuannya” jawab Farhan.
“Assalamu’alakum” ucap pak Slamet dan Farhan
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Main-main ke sini lagi ya, kang” jawab Eko sambil melambaikan tangannya di depan pagar
Jam dinding menunjukkan pukul 17.32 waktu Indonesia bagian barat. Eko yang sudah mengantar pak Slamet sampai depan pagar, terduduk di sofa dan terjebak lamunan selama lima menit lalu kemudian memanggil Farah untuk menjelaskan kedatangan pak Slamet tadi.
“Farah.. Farah.. kesini dulu nak, Ayah mau menyampaikan sesuatu”
Farah yang kamarnya tidak jauh dari ruang tamu bergegas menuju Ayahnya. Suara panggilan itu terdengar jelas sebab pintu kamarnya terbuka lebar.
“Ada apa ayah?” tanya Farah yang berdiri di samping sofa tempat ayahnya duduk
“sini, duduk sebentar. Ayah mau bicara sama kamu”
“tentang apa, yah? Lelaki tua dan anaknya tadi?” duduk di samping ayahnya sambil memangku bantal sofa.
“iya nak. Namanya Pak Slamet, masih keluarga jauh sama kita. Katanya lebaran di kampung kemarin beliau bertemu kamu, dan berencana mau menjodohkanmu dengan Farhan, anaknya yang tadi datang bersamanya. Kamu bagaimana nak?”
Farah terdiam sejenak.
“kasi saya waktu, Yah. Untuk istikharah dulu. Takutnya kalau saya memutuskan dengan tergesa-gesa akan berdampak buruk.”
“baiklah nak. Ayah akan menunggu keputusanmu. Bermunajatlah kepada Allah minta petunjuk”
“kamu sudah lihat Farhan tadi?”
Farah menggeleng
“Ini orangnya” sambil menyodorkan foto tadi
Farah melihatnya. Mencoba menerka-nerka. “pasti foto lama” ucapnya dalam hati
Sepekan berlalu. Farah lebih banyak berdiam diri di kamar.
*
Seminggu belakangan ini, hari-hari Farah diisi dengan banyak merenung dan istikharah. Sampai tepat di sepekan dari pertemuan itu, Farah yang sedang tertidur di atas sajadahnya di sepertiga malam terakhir bermimpi. Mimpi buruk yang membuatnya terbangun dengan napas terengah-engah.
Di mimpi itu Farah berada di padang gersang yang terhampar luas sejauh mata memandang. Tak seorang pun disana kecuali dia, hanya ada dia. Ia kebingungan, berlari kesana kemari tapi usahanya nihil, ia tak kunjung mendapatkan jalan pulang.
Tiba-tiba suatu binatang melata mendatanginya. Panjangnya berkisar empat setengah meter dengan perkiraan berat tujuh puluhan kilogram, lidah yang panjang sesekali menjulur keluar dari mulutnya lengkap dengan suara khasnya. Bukan ular, hewan itu lebih mirip biawak. Matanya menatap Farah dengan tajam. Farah berusaha lari sekuat-kuatnya.
Beberapa kali tersandung tapi berhasil bangkit lalu kembali berlari. Air matanya mengalir dengan deras, suaranya mulai serak tak terdengar, sebab sedari tadi berteriak mencari pertolongan. Hewan itu seringkali hampir menerkam kaki Farah. Setelah berlari sekitar lima belas menit hewan itu berjarak hanya lima jengkal, beruntung Farah menoleh dan akhirnya menambah kecepatan langkahnya.
Tetiba, "brukkk…" Farah jatuh tersandung kerikil kecil. Kakinya terkilir, sakitnya teras sampai kelutut yang membuatnya sulit bangkit lagi. Mukanya pias. Mulai pasrah tapi hatinya tetap memohon kepada Rabbnya. Si binatang buas melata itu mulai mendekat. Membuka mulutnya, terlihat gigi-gigi tajamnya sampai ke rahang.
Lidahnya menjulur siap meraih kaki Farah dengan melilitnya. Farah berteriak sekencang-kencangnya lalu menutup matanya dan tiba-tiba "prukk" sebuah kunci inggris mendarat tepat di lidah hewan tersebut. Belum jelas ia melihat siapa yang menyelamatkannya, ia dengan mata tertutup, di rangkul oleh lelaki itu lalu dituntun naik ke atas jeep.
Dengan hitungan detik si lelaki itu menancap gasnya dengan kecepatan full. Hewan buas itu berusaha mengejar tapi tertinggal. Nafas Farah yang masih terengah-engah, ia berusaha membuka matanya pelan-pelan. Menengok ke arah kanan, berusaha mencari tahu siapa super hero yang menyelamatkannya.
Matanya sayup perlahan menengok, ia terkejut melihat lelaki itu. Lelaki itu dengan santainya membalas Farah dengan senyum yang teramat indah.
"Kk... Kk... Kka... Kamu? kenapa ada disini?" lelaki itu belum sempat menjawab, bising jam weker berdering kencang membangunkan Farah.
Kring… kringgg… kringggg… "Huhh… Hanya mimpi" ucap Farah dengan lirih. Peluh sebesar biji jagung menggantung di keningnya banyak sekali.
Jam di weeker menunjukkan pukul lima lebih tiga menit, Farah segera bangkit melangkah ke kamar mandi untuk berwudhu dan shalat subuh.
Mimpi itu terus membayangi Farah, hingga tak konsentrasi menerima pelajaran di kampus. Sampai-sampai tak mendengar
Pak dosen yang memanggilnya dua kali karena di dapati tenggelam dalam lamunan. Kalau bukan teman sebelah bangkunya yang menepuk lengannya pasti ia masih hanyut dalam lamunan.
Kelas berakhir tepat ketika waktu adzan zhuhur berkumandang. Ia bergegas ke masjid untuk melaksanakan shalat dhuhur. Di setiap sujudnya ia selalu bermohon kepada Allah untuk diberi petunjuk atas perjodohan dan mimpi itu.
Setelah selesai melaksanakan shalat, ia memilih pulang ke rumah sebab ketua tingkat memberi kabar melalui whatsapp grup bahwa pak dosen di mata kuliah selanjutnya berhalangan masuk. Ia memilih untuk makan siang dirumah saja supaya bisa mengirit uang jajan.
"Assalamu'alaikum" ucap Farah sambil melangkah masuk ke rumah yang terbuka lebar.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah. Eh kakak, tumben pulang lebih awal, kuliahnya selesai?"
"Iya bu. Dosen mata kuliah selanjutnya berhalangan masuk." jawabnya singkat
“Hm, gitu. Sudah makan siang nak? Ayo makan siang bareng, ibu sudah masak tempe bacem kesukaanmu"
Kebetulan hari itu adik-adik dan ayah belum pulang. Hanya ada Farah dan ibunya dirumah
"Mungkin jika ku ceritakan ke ibu, ibu akan memberiku saran-saran" gumam hatinya yang sudah benar-benar menemukan jawaban dari istikharahnya.
Setelah menyendok nasi dan beberapa lauk ke piringnya, Farah membuka pembicaraan. "Bu?" panggilnya. Menatap mata ibunya dalam-dalam.
"Iya nak" balas ibunya dengan senyum bersahaja
"Bu, aku memutuskan menerima lamaran kang Farhan" ucapnya sambil tersipu malu
"Oh yah? Alhamdulillah. Akhirnya kamu memberikan jawaban, nak"
"Semalam aku bermimpi, bu. Selama istikharah hatiku masih ragu. Sampai akhirnya Allah menguatkan jawabannya di shalat tahajjud kemarin malam"
Ibunya menatap mata Farah. Menunggu kelanjutan ceritanya.
"Di dalam mimpi itu, aku berada di padang gersang yang tak sama sekali orang selain aku. Mencoba berlari kesana dan kemari mencari jalan keluar dari gurun itu tapi hasilnya nihil. Gurun itu teramat luas. Sampai akhirnya seekor binatang hendak menerkamku, bu. Aku berlari sekencang-kencangnya. Beberapa kali jatuh tapi berhasil bangkit. Terakhir, aku terjatuh lagi dan seseorang berhasil menyelamatkanku. Dan tahukah ibu siapa yang menyelamatkanku?
Belum sempat menjawab Farah melanjutkan ceritanya, "yang menyelamatkanku adalah mas Farhan, bu. Itulah sekarang saya memutuskan menyetujui proses ta'aruf aku dan mas Farhan"
“Kok bisa gitu yah?” suara ibu Farah perlahan merendah
“gitu gimana, bu?” dahi Farah berkerut
“ibu juga mimpi kejadian yang sama dengan mimpi kamu”
Farah dan Ibunya saling bertatap, telapak tangan Farah menempel di bibirnya. Suasana menegang.
Keheningan pecah saat sayup-sayup sebuah suara terdengar dari arah pintu,
“Assalamu’alaikum, Ayah pulang!” sambil melangkah masuk mencari ibu Farah.
“Eh ayah, tumben pulangnya lebih awal?” ucap ibu Farah tepat ketika ayah berdiri di dekat kulkas
Ayah diam sejenak, enggan menjawab karena matanya menangkap wajah Farah ikut menoleh kearahnya. Hati ayah mulai berbisik, “mungkin ada baiknya Farah juga tahu hal ini.”
“Gini loh bu, mimpi semalam buatku tidak konsentrasi kerja di kantor.”
Ibu yang hendak menyuap makanan ke mulutnya berkata “Mimpi apa, Yah?”
“Semalam Ayah mimpi Farah sedang berada di padang pasir yang luas. Sejauh mata memandang tak ada jalan keluar. Farah yang berlari kesana-kemari karena ingin keluar dari padang pasir itu bertemu dengan sesosok hewan besar mirip biawak…”
“dan endingnya Farah di tolong oleh Farhan, kan, Yah?” ucap ibu.
“kok ibu tahu?”
“iyalah, Yah. Ibu dan Farah juga bermimpi yang sama. Dan terbangun saat Farah keheranan menatap Farhan yang menolongnya”
“di mimpi Ayah, Setelah Farhan menolong Farah, Farhan mengantar Farah ke rumah. Farah yang di papah oleh Farhan, menyerahkan Farah ke Ayah yang sedang duduk santai di ruang tamu. Makanya itu, ayah tadinya mau menyampaikan ke kamu nak untuk menerima lamaran Farhan. Farhan juga terkenal shaleh dan santun, walaupun kamu belum terlalu mengenalnya, kan bisa berta’aruf dulu.”
“terlambat, Yah. Farah sudah sampaikan ke ibu tadi.” Ucap ibu
“sampaikan apa, bu?”
“Farah menerima lamaran Farhan.”
“Alhamdulillah. Baik, setelah makan Ayah akan menelpon Mas Slamet, mengabarkan kabar gembira ini padanya” jawab ayah menatap Farah yang menunduk tersipu malu.
Setelah selesai makan, Ayah Eko menuju ruang tamu. Mencari suasana sunyi untuk berbicara dengan pak Slamet melalui telepon.
Tuuutttt… tuuuttt… “Halo! Assalamu’alaikum… gimana, ko? Apa jawaban Farah?” tanya pak Slamet dengan antusias. Tidak memberi cela untuk eko menyapanya duluan
“kabar gembira kang! Farah menyetujui proses ta’aruf mereka.” Menjawab dengan wajah berseri-seri meski tak nampak oleh pak Slamet yang ada di seberang telpon sana.
“oh ya! Alhamdulillah. Baik akan kuminta Farhan untuk membuat biodata dan sesegera mungkin untuk dikirim ke rumah kamu. Eh jangan lupa minta Farah membuat biodata dirinya juga yah.”
“baik kang mas. Semoga semua berjalan lancar. Berharap kita benar-benar bisa menjadi besan” Lalu mereka berdua tertawa bahagia bersama.
“Baik kang sudah dulu yah, saya tunggu biodata Farhan untuk Farah. Assalamu’alaikum”
“wa’alaikumussalam warahmatullah.” Tuuutttt … tuuttttt…
*
Proses Ta’aruf bermula dengan kedatangan beberapa lembar kertas yang dibawa seorang kurir ojek online terbungkus rapi dalam sebuah map coklat yang biasa di pakai orang-orang melamar kerja. Map terasa berat padahal isinya hanya kertas gumam Farah berusaha menebak. Dengan cekatan Farah membuka. Mendapati beberapa kertas dan sebatang coklat membuatnya tersenyum. “wah banyak sekali ! tidak salah orang ini membuat biodata sebanyak ini?” desah Farah yang kaget menyibak helai demi helai kertas yang ada di tangannya. Jumlahnya sepuluh lembar.
“ini pak, kirim ke alamat tadi lagi yah. Ini ongkosnya, lebihnya untuk bapak” ucap Farah dengan senyum santun setelah memencet-mencet handphonenya
Empat puluh tiga ribu ongkos pengiriman via ojek online itu. Farah memberi selembar uang lima puluh ribu dan menyampaikan ke bapak Ojol (ojek online) untuk tidak usah mengembalikan sisanya. Si bapak Ojol menjawab dengan tersenyum sumringah “makasih neng. Bapak pamit ngantar map ini” ujarnya lalu berlalu pergi.
Tiga lembar jumlah biodata Farah. Ukuran tulisan sengaja di perbesar, di tulis tangan bertinta merah. Sedangkan biodata Farhan di ketik rapi dengan satu jepitan di bagian atas. Hampir saja ia menjilidnya agar kelihatan rapi tapi pak Slamet melarangnya, katanya terlalu berlebihan.
Tiga puluh menit lamanya Farah membaca biodata Farhan. Beberapa kali mengusap peluh yang mengucur dari dahinya. Mungkin faktor cuaca dan udara panas diluar rumah yang memaksa menerobos masuk ke ruang tamu tempatnya membaca. Mungkin juga karena pangling membaca biodata Farhan yang tidak seperti biodata pada umumnya.
Farhan memilih cerita dalam menjelaskan siapa dia. Menorehkan semua prestasi yang ia miliki untuk menjelaskan dirinya. Tidak terbesik sedikitpun di hatinya untuk berbangga diri. Dari gaya tulisannya, Farhan nampaknya seorang yang puitis nan romantis. Bisa terbaca dari permainan diksinya juga dari sebatang coklat di dalam map tadi.
“oh, lahir tahun Sembilan lima. Tua empat tahun dari usiaku” lalu melanjutkan kembali membaca biodata Farhan sambil menikmati coklat pemberian Farhan. Di tempat yang berbeda dan waktu yang sama, bapak ojol tiba di rumah Farhan. Tak perlu meneriakkan salam, juga tak perlu mengetuk pintu, pagar juga terbuka, Farhan sudah setengah jam yang lalu duduk di kursi teras sibuk dengan buku-bukunya.
“Assalamu’alaikum. Permisi dek, betul atas nama Farhan?
“Wa’alaikumussalam. Betul pa, saya sendiri”
“ini ada kiriman dari Farah” sambil menyodorkan kantong plastik berisi map bening. Samar-samar ia melihat di dalam kantong ada kertas bertuliskan tinta merah.
“oh iya pak, sudah dibayar?” tanyanya sekadar basa basi padahal ia tahu tidak bisa mengirim tanpa membayar duluan. Entah apa yang mau Farhan katakan sebab si bapak ojol masih saja mematung menatap kantongan itu dengan penasaran. “masih ada saja yah, anak muda yang bergaya kolot surat-suratan di tengah canggihnya teknologi sekarang” gumam pak ojol dalam hati.
“iya sudah dek” jawab pak ojol tersenyum
Farhan membalas dengan tersenyum. Lalu pak ojol pamit pergi.
Farhan tidak sabar membukanya. Hanya butuh lima menit untuk menyelesaikan tiga lembar yang aslinya hanya tiga halaman itu. Pipinya bersemu, senyumnya mengembang naik sementara suara azan ashar mulai berkumandang.
Segera mungkin ia merapikan buku-bukunya. Membawanya masuk ke kamar. Berwudhu lalu melangkah menuju masjid.
Sejak pak slamet mengabarkan akan menjodohkan dirinya dengan Farah, saat itu pula ia memperbanyak istikharah. Bermunajat kepada Rabbnya. Hari demi hari berlalu. Allah memberikan jawaban istikharahnya dalam bentuk ketenangan hati, keyakinan bahwa memilih yang tepat serta proses yang semakin hari semakin dimudahkan. Cinta mulai bersemi di hati Farhan walau belum pernah bertatap langsung dengan Farah.
Tiga hari kemudian, pak Slamet menghubungi Ayah Eko. Berencana untuk mempertemukan kedua bela pihak. Ayah Eko menyarankan pertemuan berlangsung sebentar malam sekaligus makan malam bersama. Pak Slamet mengiyakan.
Pukul lima lewat tiga puluh menit. Ibu meminta Farah berdandan cantik secukupnya. Farah yang ada di samping ibu hendak membantu menyiapkan makanan, ditolak oleh ibu, di suruh siap-siap untuk pertemuan sebentar malam.
Pukul enam sore bersamaan keluarnya Farah dari kamar mandi, iqamah bergema dari arah pengeras suara masjid. Farah bergegas berpakaian lalu shalat di sudut kamarnya. Setelah shalat, Farah memoles bedak dan lipstik tipis-tipis. Tak perlu make up yang tebal, walau begitu Farah tetap kelihatan cantik dengan mata sipit dan bulunya yang lentik serta bibir kecil di balut lipstik merah muda tipis.
Sudah dua puluh menit Farah duduk di meja riasnya. Menatap dirinya dengan senyum merona. Beberapa kali bertanya pada dirinya sendiri, "kaukah ini Farah? Anak kecilnya Ayah yang sedang berta'aruf dan mungkin tidak lama lagi menjadi seorang istri"
Sasha mengagetkan Farah yang tiba-tiba muncul di belakangnya. "Yaaaaaaaa!!" sambil menepuk bahu Farah.
“Yaa Rabbi...” ucap Farah kaget
"Masuk dari mana kamu?" ucapnya ketus lalu mengelus dadanya
"Tuuhhh" bibirnya menunjuk kearah pintu yang terbuka
"Kan tadi pintunya kututup. Kok ngga kedengaran kamu buka yah?"
"Mba sih ngayal teroooss hahaha"
"Ahh kamu, yang menghayal siapa?" mencoba mengelak
"Ngomong-ngomong cantik bener nih tuan putri. Bentar lagi pangeran datang tuh. Disuruh keluar sama ibu"
"Ihh, apaan sih. Biasa aja" sambil tersipu lalu mereka berdua tertawa
"duluan gih, nanti mba nyusul"
Sasa mengenggam gagang pintu menariknya lalu keluar dari kamar Farah. Baru sepuluh menit keluar dari kamar Farah, Pak Slamet, Istri dan Farhan sudah berdiri memberi salam di depan pintu.
Ayah menyambutnya. Mempersilahkan masuk lalu duduk di ruang tamu. Farhan memainkan tangannya. Dahinya basah, bawah hidungnya juga. “kamu grogi yah nak?” tanya Ayah Eko sambil tersenyum memalingkan pandangannya dari Pak Slamet. Farhan hanya mengangguk tersenyum tipis. Hal tersebut mengundang tawa semua yang ada diruang tamu. Ayah menoleh ke arah Farhan. Menyemangatinya dan refleks menepuk punggung tangannya. “wah dingin sekali” mereka kembali tertawa bersama.
Farah bisa mendengar sayup-sayup percakapan dan gelak tawa mereka. Farah juga tersipu di depan cermin. Diam-diam tangannya juga dingin.
“Ayo, diminum dulu wedang jahenya. Nanti keburu dingin” ucap Ayah Eko
“Tunggu yah kang, ku panggilkan Farah dulu” lalu Ayah melangkah masuk keruang tengah mendapati Sasa duduk sedang menonton film kartun “Sasha, panggil kakakmu gih.” Pinta Ayah
“Siap, laksanakan” ucap Sasha ala seorang tentara hendak memenuhi perintah sang jendral
Ayah tersenyum lalu kembali keruang tengah
Mendengar pintu kamarnya terdorong, Farah menoleh. “Mba...” belum sempat meminta Farah keluar,
Farah membuka suara, “iya bentar lagi”
Sasha bingung, “kok mba bisa tahu yah?” berkata lirih lalu kembali menutup pintu kamar Farah
Farah berdiri, melangkah ke ruang tamu. Pertama kalinya mengangkat kepala selaras dengan Farhan yang kebetulan berada tepat di depannya. Matanya terperangah menatap kosong sepasang mata dibalik kaca dengan bibir terbuka. Farhan juga begitu. Lalu alis Farah berkerut. “Pak dokter?” ucapnya sengan suara lirih namun terdengar oleh telinga semua yang ada di ruang tamu sebab pertemuan itu obrolan mereka terhenti.
“kamu!!”
“yang waktu itu mengantar seorang ibu ke spesialis mata, kan?” ucap Farhan berusaha menyakinkan ingatannya.
“oh sudah saling kenal yah” pak Slamet menyela pembicaraan sambil tersenyum
“Waktu itu dia datang menemani seorang perempuan paru baya berobat, Pah” Farhan menjelaskan
“saya mengantar tante Ratih berobat, Yah” sambil menoleh ke Ayah
“eh duduk dulu nak” ucap pak Slamet
Ibu tiba-tiba muncul di antara horden pembatas ruang tamu dan ruang tengah “makanan sudah siap, mari silahkan masuk”
Belum sempat duduk mereka semua melangkah masuk.
Menyuap makanan sambil bercakap-cakap. Sesekali tertawa, sesekali menyuap makanan ke mulut. Sasha hanya sempat menjawab pertanyaan sudah kelas berapa dan sekolah dimana dari Pak Slamet. Selebihnya hanya tersenyum mendengar pembicaraan Ayah Eko dan pak Slamet yang banyak menceritakan kekonyolan masa lalunya.
Malam itu berlalu, menyisahkan kebahagiaan di hati Farah dan Farhan. Cinta bersemu di hati masing-masing. Sering tersenyum dalam lamunan. Tapi tidak menjadi hal serius yang mengganggu aktivitas mereka masing-masing. Farah tetap semangat berkuliah, Farhan lebih giat lagi bekerja. Teman-teman dokternya di rumah sakit sering sering meledek Farhan yang kepergok tersenyum dengan hayalannya.
Lamaran terlaksana seminggu kemudian. sekaligus penetapan tanggal pernikahan telah di tentukan. Dua minggu kedepan di tanggal cantik, 9-9-2019.
Semua urusan pernikahan mereka berjalan dengan mudah. Dari memilih baju pengantin, urus Gedung, catering, buku nikah sampai maharnya. Mereka tidak pergi berdua mengurus semuanya, tapi membagi semua urusan menjadi dua. Catering dan baju pengantin diurus Farah dan keluarganya sedangkan Gedung, buku nikah dan mahar diurus oleh Farhan. Farah juga sempat ke KUA untuk tanda tangan dan mengisi beberapa persyaratan. Tapi tidak berdampingan dengan Farhan melainkan di temani Ayah Eko.
Proses berjalan dengan lancar. Ijab Kabul juga lancar. Sekali saja mengucap kalimat itu, lalu semua berseru “sah!” lalu tersenyum bahagia. Ibu menyeka sudut matanya. Matanya yang sembab tetap terlihat meski telah tertutup make-up. Semalam ia menangis akan melepas anak sulungnya.
Menjadi Raja dan ratu sehari. Duduk tidak berdampingan terhalau tirai yang membentang panjang. Memisahkan tamu lelaki dan perempuan. Sudah sempat di pertemukan setelah ijab kabul. Farah tersipu malu, lebih banyak menunduk. Raut wajah bahagianya tergambar dari senyumnya.
Acara selesai. Farah sedang duduk di meja riasnya membersikan sisa make up di wajahnya. Jantungnya berdegup kencang melihat Farhan membuka pintu melangkah masuk dengan dua amplop di tangannya. Farhan berdiri tepat di samping Farah menyodorkan kedua surat itu.
“apa ini?” tanya Farah
“buka dulu”
Farah bergetar melihatnya. Dua buah tiket dengan tujuan Jeddah. Senyumnya mengembang. Air matanya mengalir. Pertama kalinya menatap Farhan yang statusnya sekarang menjadi suaminya. “kak… Terima kasih” dan refleks menggenggam tangannya. Ia kaget bercampur bahagia. Tidak ada sama sekali terdengar Farhan akan memberikan hadiah Umroh ke Farah yang menjadi cita-citanya.
“besok akan ku bantu urus paspor ke kantor imigrasi” ucap Farhan
“terima kasih banyak, kak.”
Bulan oktober mereka pun berangkat. Di antar Ayah dan ibu Farah juga Pak Slamet dan Istrinya kebandara. Melangkah berpisah di pintu keberangkatan. Di lepas dengan lambaian mereka.
Penulis: Andi Anugrah, pemuda dengan motto setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah.
Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.
© pronesiata.id. All Rights Reserved.