Berteman Aksara
Biar kuberitahu, tidak ada yang lebih menarik dari hidup berteman dengan bertumpuk-tumpuk buku, secangkir teh ditambah sesendok madu, atau melodi-melodi sendu yang terjaga hingga pagi setengah satu.
Terlalu membosankan? Tentu saja tidak bagi gadis sepertiku.
Aku tidak suka bising kendaraan yang lantas membuatku bergelut di dalam kamar. Aku tidak suka melihat orang-orang yang dikejar waktu yang setelahnya menimbulkan kekacauan melulu. Namun, lebih dari itu, aku tidak suka segala yang berselimut palsu.
Karena sejatinya sesuatu bernama palsu berhasil menghancurkan aku.
Seperti saat dulu, saat di mana aku terjatuh akibat tersandung batu dan berakhir mencium tanah, pakaianku penuh debu. Aku membutuhkan uluran tangan sahabatku, mereka menerimanya, tentu saja. Namun, yang kudengar setelahnya saat berada di bilik koridor membuatku tersenyum pahit. Mereka membicarakanku, betapa bodoh dan menjijikannya aku atas kecerobohanku.
Ada lagi, saat di mana Bapak dan Ibu selalu mendukungku dalam belajar. Mereka selalu berkata bahwa segalanya akan lebih mudah jika aku terus berusaha. Pun usapan di kepala selalu kudapatkan dari mereka sebelum mereka meninggalkan kamarku. Namun, lagi-lagi senyumku luntur begitu saja setelah mendengar perdebatan Bapak dan Ibu yang saling menyalahkan karena malu memiliki anak yang bodoh dan tidak bisa dibanggakan seperti aku.
Lalu, ada satu lagi, saat di mana ada seorang laki-laki yang mendekatiku. Kuakui dia berhasil membuat kupu-kupu beterbangan dalam perutku silih berganti. Sikap dan bicaranya pun bak pangeran kepada sang putri. Namun, kembali lagi aku menyapa pilu. Segala yang aku terima ternyata palsu. Dia hanya menjadikanku batu loncatan untuk mendekati teman sebangkuku.
Lihat! Betapa menyedihkannya aku waktu itu. Semesta seolah berkonspirasi untuk menghancurkanku.
Belajar dari semua itu, akhirnya aku menciptakan dunia baru. Hanya ada aku dan segelintir hal yang jauh dari kata palsu. Hingga akhirnya semesta mempertemukanku dengan seseorang yang mengenalkanku pada aksara berbalut buku.
“Aku pernah membaca satu buku yang mengatakan bahwa hidup ini seperti balon. Semakin tinggi kita terbang, semakin kencang pula angin yang menerpa kita. Ketahuilah bahwa segala apa yang telah kamu alami, semata-mata karena Tuhan tahu yang terbaik untukmu dan ingin menjadikanmu manusia yang jauh lebih kuat,” kata dia yang entah siapa namanya.
Aku menatap dia yang tengah duduk meluruskan kakiknya di sampingku—kami duduk tepat di bawah pohon akasia dan dua puluh meter di depan kami ada rel kereta. Di pangkuannya terdapat beberapa buah buku yang tidak aku ketahui apa judulnya.
“Bahkan Ernest Hemingway pernah berkata, ‘There is no friend as loyal as a book’,” sambungnya yang membuat dahiku mengerut tanda tak paham.
“Artinya apa?” tanyaku.
Dia menoleh, tersenyum sekilas, lantas mengulurkan satu buku yang ditulis oleh orang yang baru saja dia sebutkan itu padaku. “Bacalah dan kamu akan tahu segalanya.”
Sejak saat itulah aku lebih banyak mengahabiskan waktuku untuk berteman dengan buku-buku. Tak lupa secangkir teh madu lengkap dengan lagu sendu sebagai pengiringnya.
Kini, tidak ada yang lebih kupercaya selain Tuhan dan aksara dalam buku. Bahkan saat semesta kembali menghancurkanku, aku akan menilik aksara dan ia selalu bercerita tentang segalanya.
Aksara punya cara sendiri untuk menenangkanku. Yang paling penting, ia selalu tulus dan tidak bermain-main dengan kata palsu.
Aksara benar-benar mengerti aku.
Selesai.
Penulis: Hanum Bella, Seorang mahasiswi Sastra Inggris semester empat yang masih aktif mengikuti organisasi Jurnalistik dan menjabat sebagai editor.