Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Rizky Hadi / Nov 15, 2021

Caping Bolong

Matahari mulai melongok ketika Warsito berangkat ke sawah. Hari ini panen jagung. Dia memakai caping yang di salah satu sisinya bolong sebesar jari kelingking. Udara masih dingin. Cahaya lembut matahari menerpa tubuh Warsito. Warsito hanya dibantu Joko, anaknya.

Ukuran sawah yang yang tak terlalu luas membuat pekerjaan ini tak membutuhkan banyak tenaga. Dia dan anaknya lekas bergerak, memetik jagung, dan memasukkannya ke dalam karung. Sembari tangannya terus bekerja, matanya juga awas memperhatikan sekeliling. Boleh jadi terdapat jagung yang terlewat.

“Hilang banyak nih, Pak,” seru Joko kepada bapaknya.

Warsito tersenyum tipis. Pemandangan biasa baginya melihat beberapa jagung yang lenyap.

Kala memasuki musim panen, yang ditakutkan petani bukanlah hama, melainkan para pencuri. Pasti, jagung yang berbuah besar akan menjadi sasaran utama. Sebenarnya setiap lahan sawah, para pencuri ini hanya menggondol tujuh atau delapan jagung.

Sedikit jika mereka hanya mengambil di satu lahan sawah saja. Menjadi sangat banyak karena mereka juga menyasar hampir setiap sawah. Hal ini yang terkadang membuat petani geram.

“Pasti orang-orang sini pelakunya,” gerutu Joko.

Memang, orang-orang yang tinggal di sekitar sawah lebih banyak tak mempunyai sawah. Beberapa di antara mereka hidupnya kekurangan. Pekerjaan yang semakin susah ditambah kebutuhan yang kian merambah, membuat mereka seolah menghalalkan segala cara untuk dapat menambah perbendaharaan rupiah.

Warsito terus melanjutkan pekerjaannya. Dia tak menggubris perihal beberapa jagungnya yang raib. Sudah separuh dia memanen. Matahari merangkak naik. Sinar ganasnya masuk ke celah capingnya yang bolong. Walau terlihat kurang prima, caping ini yang biasa melindungi Warsito dari terik. Selama masih nyaman dipakai, dia enggan menggantinya dengan yang baru.

Dua wanita tua datang. Mereka menggendong bakul yang diikat dengan kain jarik. Caping yang dikenakannya pun baru. Kedatangan mereka berdua ialah untuk ngasak.

“Hati-hati, Pak. Mereka mulai datang,” bisik Joko. Dia selalu waspada terhadap setiap kemungkinan.

“Biarkan saja. Asal enggak mengganggu pekerjaan kita,” jawab Warsito kalem.

Seraya terus memanen, mata Joko juga menyelidik ke arah dua wanita tua itu. Berdasar berita yang santer dia dengar, orang ngasak tidak sepenuhnya mencari jagung yang tertinggal. Terkadang kalau sang empunya sawah tak melihat, mereka akan mengambil jagung yang sudah berada di dalam karung.

Tak tanggung-tanggung, mereka sekaligus bisa membawa satu karung penuh. Badannya memang terlihat ringkih tetapi tenaganya jauh dari kata letih.

Lima menit ... Sepuluh menit ..., hal yang ditakutkan Joko pun tiba. Saat dua wanita tua itu merasa Warsito dan Joko lalai, mereka melancarkan aksi. Cepat situasi tersebut terjadi. Dengan empat gerakan, lima jagung telah nyaman berganti tempat. Biasa saja mereka berdua melakukannya.

Namun, Warsito dan Joko melihat kejadian tersebut. Joko langsung berang. Ketika hendak menghampiri dua wanita tua, langkah Joko dihentikan Warsito. “Biar bapak saja,” katanya.

Muka dua wanita tua itu terlihat panik, tetapi berusaha ditutupinya. Warsito yang sudah sampai di depan dua wanita tua, menatap tajam, melirik bakul yang digendong. Sejumlah jagung berukuran bongohkentara jelas di sana.

“Tidak banyak tapi semoga berkah,” ujar Warsito sembari menyerahkan sepuluh jagung ke masing-masing wanita tua itu.

Dua wanita tua itu terkejut, lamat-lamat menerima jagung pemberian Warsito. Dari kejauhan, Joko juga terlampau kaget. Dia mengerutkan kening. Tak percaya mengapa bapaknya malah memberikan jagung kepada orang yang secara terang benderang mengambil hasil panennya tanpa izin.

Dia hendak menyusul bapaknya, bertanya, tapi diurungkannya. Dua wanita tua itu bergegas pergi, sementara Warsito balik melanjutkan memanen.

“Mengapa bapak enggak menegurnya, justru malah memberikan jagung kita? Mereka sangat jelas mencuri, Pak,” protes Joko saat Warsito kembali.

“Beberapa menit lalu mereka mengambil barang haram. Beberapa menit yang lalu juga bapak memberikan barang halal kepada mereka. Terang sudah perbandingannya. Supaya mereka merasakan bagaimana nikmatnya kehalalan sebuah makanan,” ucap Warsito tenang, setenang gurat wajahnya seakan tak terjadi apa-apa.

“Tapi mengapa, Pak? Atau jangan-jangan mereka juga yang mencuri jagung yang hilang tadi.”

“Jangan berburuk sangka, Jok. Lagian hitung-hitung bersedekah. Bukankah dalam Islam kita diajarkan memberikan sebagian hak kita kepada yang kurang mampu. Apakah kamu sudah lupa?”

“Pencuri tidak pantas diberi sedekah.”

Joko yang masih kesal langsung meninggalkan Warsito. Dia beralih ke sisi yang belum dipanen asalkan menjauh dari bapaknya. Matahari yang kian bersinar ditambah lelah yang mengakar membuat emosinya semakin terbakar. Tak terima jika jagung yang susah payah ditanam dari bibit hingga panen dengan sukarela diberikan bapaknya kepada pencuri. 

Panen selesai. Karung berisi jagung telah ditumpuk, tinggal dibawa pulang. Warsito dan Joko sejenak mengistirahatkan badan. Bersandar di tumpukan karung jagung. Angin bertiup kencang. Langit biru cerah memesona.

“Maafkan bapak jika keputusan bapak tadi tidak menyenangkanmu,” ucap Warsito.

Joko diam, memandang jauh, mencopot capingnya.

“Jagung yang hilang dan beberapa yang dicuri mungkin teguran dari Tuhan untuk bapak. Mungkin Tuhan menilai selama ini bapak kurang bersedekah. Jadi Tuhan mengambil sebagian kecil hasil panen kita melalui perantara dua wanita tua tadi.”

“Ya sudahlah, Pak. Lupakan.”

Walau terlihat sudah bisa mengontrol emosi, Joko nampaknya masih menyisakan kekesalan di hatinya. Warsito menghembuskan napas pelan.

Salah satu kenikmatan dalam panen adalah membagi hasil panen kita kepada seseorang yang membutuhkan, khususnya orang yang tak mempunyai sawah untuk digarap. Bukan maksud bapak membela kedua wanita tua tadi. Bukan. Mencuri sangat dilarang dalam setiap agama dan sepatutnya harus diberi teguran. Salah satu wanita tua itu tinggal di sekitar sini. Kasihan dia, tak punya suami yang menafkahi. Anak pun pergi entah ke mana. Barangkali dia mencuri karena perutnya sedang terlilit sehingga pilihannya menjadi sulit.

“Berbicara mengenai mencuri ...” Warsito melepas capingnya, menunjukkan capingnya yang bolong kepada Joko. “Caping ini sengaja bapak bolong karena tahun kemarin hasil panen kita juga dicuri oleh orang. Rugi besar. Banting tulang bapak merawatnya hingga siap untuk dipanen, dengan mudahnya diambil orang yang tak tahu betapa susahnya menanam.

“Bapak tak tahu siapa pelakunya, bapak juga sempat marah. Tapi bapak tak tahu harus marah kepada siapa. Kekesalan tersebut akhirnya bapak tumpahkan dengan melubangi salah sisi caping sebagai pengingat bahwa di kepala bapak tidak boleh terbersit satu kata: mencuri. Tercela sekali perbuatan tersebut.”

Joko diam. Memandang bapaknya. Aku sekarang belum bisa bijak sepertimu, Pak. Kau memang ikhlas memberikan jagung itu. Tetapi aku ... Melihat usahamu yang jatuh bangun menanam jagung hingga panen ... Aku belum bisa, gumamnya dalam hati.

“Eh, Jok, sekarang kamu hitung dapat berapa karung lalu kita bawa pulang,” ucap Warsito membangunkan lamunan Joko.

Joko mulai menghitung. Sekejap dia berkata, “51 karung, Pak.”

Warsito mengangguk. Dia dan Joko mulai mengangkat satu demi satu karung. Meminggirkan ke dekat jalan lantas diangkut pulang. Cukup memakan waktu karena letak sawah Warsito yang harus melewati satu petak sawah milik orang untuk menuju jalan yang membelah hamparan sawah. 

Setelah semua selesai, karung dinaikkan ke mobil pick up yang disewa Warsito kemudian menuju ke rumah.

Sesampai di rumah dan semua karung telah diturunkan, Warsito membayar upah angkut mobil. Dia merebahkan tubuhnya di teras. Joko menghitung karung jagung kembali. Dia menelan ludah, mendadak bengong, terkejut. “Karungnya hanya 50, Pak. Hilang satu,” teriaknya spontan.

Warsito tergeragap. Emosi Joko kembali mengerubungi tubuhnya. Sementara di rumah lain, di sekitaran sawah, dua wanita tua tengah meluruskan kaki karena lelah menyeret satu karung berisi jagung.

 
 
Penulis: Rizky Hadiaktif sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Tulungagung. Kumpulan cerpennya berjudul “Di Balik Peristiwa” bisa dibaca di aplikasi i-Pusnas. Bisa menghubungi lebih lanjut melalui instagram @rizkihadi_24.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.