Di Rumah Saja
Tepat Pukul 09:50, Ibu Kinan memanggil muridnya untuk segera berkumpul. “10 menit lagi pukul 10, ayo anak anak kembali ke bangku kalian masing masing, sebentar lagi kita pulang sekolah, sebelum itu ada hal penting yang perlu ibu sampaikan.”
Teriak ibu kinan, mengalahkan keributan di ruang bermain Sekolah Taman kanak kanak yang letaknya di pusat jantung kota Makassar itu. Para murid meninggalkan kegiatan mereka masing masing, kemudian bergegas ke bangku masing masing, sesuai perintah ibu guru yang sangat mereka hormati itu. Ibu kinan memang guru yang sangat dihormati muridnya.
Sosoknya yang lemah lembut, cerdas, namun tegas itu mampu meghipnotis semua orang untuk mengikuti telunjuknya. bagi sebagian murid, ibu kinan bukan hanya guru yang pantas digugui, lebih dari itu, ibu kinan adalah orangtua mereka di sekolah yang mereka jadikan teladan.
“Jadi begini anak anak, mulai besok kita libur, kalian di rumah saja sampai waktu yang belum ditentukan.” Belum selesai dengan apa yang ia ingin sampaikan, ibu kinan menghentikan perkataannya, lalu mengeja wajah muridnya yang murung, kecuali si saudara kembar, guntur dan awan yang berteriak kegirangan.
Bagi guntur dan awan libur artinya dia tidak harus bangun pagi lagi, tidak ke sekolah, dan bisa bermain game atau nonton youtube dengan puas di rumahnya. Namun bagi murid yang lain, libur artinya mereka tidak akan bertemu lagi dengan ibu kinan, guru yang mereka hormati itu.
Tidak ada lagi bermain bersama teman teman mereka, belajar bersama, makan bersama, dan yang paling penting mereka tidak akan menemukan senyuman yang damai lagi di setiap pagi mereka, karena dalam waktu yang lama tidak akan bertemu dengan Ibu Guru yang mereka hormati itu. Melihat situasi itu. Ibu kinan langsung dengan cepat melakukan apa yang harus dia lakukan, dengan senyuman yang penuh dengan kedamaian itu, pelan pelan iya melanjutkan perkataannya
“Tidak usah bersedih anak anak, libur bukan berarti tidak belajar lagi, kalian bisa belajar melalui saluran televisi yang disediakan pemerintah, Ibu juga pasti akan sesekali menelpon orangtua kalian secara bergiliran, menanyakan perkembangan belajar kalian. Libur ini untuk kebaikan kita bersama, supaya diantara kita tidak ada yang terkena virus corona itu, dan ingat untuk saat ini kita tetap di rumah saja, sampaikan juga pada orangtua kalian untuk tetap di rumah saja, tidak perlu keluar keluar rumah, rajin cuci tangan, dan jaga kesehatan kalian.”
Seperti biasanya, Ibu kinan selalu bisa menghipnotis muridnya dengan senyuman dan tuturnya yang lembut itu, para murid tampak tersenyum kembali, beberapa mencoba tersenyum namun tetap tidak bisa menyembunyikan wajah murungnya, sedangkan si guntur dan awan tidak peduli dengan semua yang dikatakan ibu kinan, dikepala mereka, mereka akan libur sekolah dalam waktu yang lama, mereka lebih memilih sibuk memikirkan game apa atau kartun apa yang terlebih dahulu yang akan mereka nonton pada waktu libur itu.
Namun Perhatian Ibu Guru Kinan tertuju pada Angkasa, murid yang duduk di pojok itu. “Kenapa masih murung angkasa? Tidak ada lagi yang perlu disedihkan.” Angkasa tidak menjawab pertanyaan guru yang dihormatinya itu. Ruang kelas hening dalam beberapa saat.
“Dia pasti sedih kalau kita libur ibu guru, karena dia harus membantu bapaknya untuk menjadi tukang parkir di indomaret depan kompleksku, waktu hari minggu kemarin aku melihatnya, hahhh,” teriak Guntur memecah keheningan.
Dalam hitungan detik, Angkasa yang sedari tadi diam dan murung, naik di atas meja, melompat dari meja ke meja, Lalu menghadiahi guntur dengan satu pukulan dengan tangan kanannya. Ruang kelas mendadak riuh, para murid berteriak ketakutan, Guntur meringis kesakitan, awan hanya bisa melihat kakaknya tapi tidak bisa berbuat apa apa, sedangkan Angkasa dengan air mata yang bercucuran, dengan tersendak sendak iya berteriak,
“Kalian tau apa tentang kehidupanku! Bagaimana aku tidak murung, kalian bilang murid bisa belajar di saluran televisi, jangankan televisi, listrik di rumah kami pun tidak ada, sudah dicabut karena tidak bisa bayar. Bagaimana aku tidak murung kalau kita dipaksa di rumah saja, itu artinya kami sekeluarga akan mati kelaparan di rumah! dan kau, jangan coba coba menghina pekerjaan Bapakku!”
Satu pukulan kembali melayang di pipi kanan Guntur. Sementara itu Ibu Guru Kinan tidak bisa apa apa, iya terpaku di tempat duduknya, tidak percaya atas apa yang baru saja terjadi. iya tidak percaya bagaimana anak 6 tahun bisa melompat, dan memukul secepat itu, dan yang membuatnya ternganga, iya tidak percaya bagaimana mungkin anak 6 tahun bisa berpikir sedalam itu.
Ibu Kinan merasa gagal menjadi guru, sementara ruang kelas riuh dengan teriakan murid yang ketakutan, ibu kinan masih terpaku di tempat duduknya, duduk dengan tatapan kosong, tidak berhenti mengetuk dirinya. “Aku telah gagal, aku telah gagal, aku tidak pantas menjadi Guru!”
Penulis: Arya Nur Prianugraha, pemuda yang menghabiskan masa kecilnya dengan bermain kelereng. Saat ini sedang menempuh studi Ilmu Hukum.