Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Mar 24, 2021

Di Sebuah Kedai

Seorang pemuda dengan membawa seberkas lamaran kerja berjalan di sekitar ruko. Dia menatap  atap-atap ruko yang berkerlap-kerlip bagai bintang. Jalannya sempoyongan. Wajahnya mulai lemes dan akhirnya dia menjatuhkan pantatnya di sebuah emperan ruko yang kosong.

Dia bersandar pada sebuah tiang. Tangannya membuka sebuah amplop besar. Dari amplop itu terbukalah beberapa lembaran kertas putih berisi tulisan-tulisan tentang daftar riwayat hidup dan pengalaman yang dia jalani.

Sudah dua bulan pemuda tersebut berkelana di jalan sendirian. Tentu tujuan utamanya untuk mencari kerja. Sudah banyak lowongan kerja yang dia isi, tetapi belum ada panggilan sama sekali. Dia mulai gundah. Matanya menuju ke arah seorang pemulung yang sedang mencari kardus dan botol bekas di depannya.

Pemulung itu tidak menghiraukan pandangan orang lain padanya. Yang dia tahu hanyalah kardus dan nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam hati pemuda itu, memunculkan perasaan simpati. Tapi, dia sendiri tidak mau seperti pemulung itu.

Dia ingin menunjukkan pada dunia, bahwa dia bisa melakukan sesuatu yang berharga. Semangatnya bangkit seketika. Wajahnya yang pucat lemes sudah mulai sedikit sumringah kembali. Dia kembali berjalan.

Dia membayangkan dulu waktu masih duduk di bangku kuliah. Saat mulai menjalankan tanggungjawab sebagai mahasiswa akhir semester. Tugas akhir tentang penelitian yang dia kerjakan ternyata belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan beban tanggungjawab untuk hidup mandiri dalam dunia nyata.

Dulu, dia masih bersantai meminta uang untuk kebutuhan hidup. Sekarang, sudah bukan saatnya lagi untuk membuka telapak tangan dan menggantungkan hidup sebagai benalu. Dia ingin menjadi lelaki sejati yang memiliki tanggung jawab dan kemandirian. Sia sia buku-buku tebal yang dia baca jika pekerjaan tak satu pun belum berpihak padanya.

Pemuda itu termasuk karakteristik introvert, pemalu dna tidak mau banyak omong. Daripada berdebat dengan sesuatu hal yang dia sendiri sudah muak mendengarnya, dia hanya menertawakan saja dengan terkekeh-kekeh.

Kini, setiap pulang ke rumah setelah berkeliling menaruh lapangan kerja di setiap perusahaan, dia selalu menambah wawasan dengan membaca buku-buku. Daripada berdebat dengan omong kosong, dia memilih menyampaikan ilmu dan wawasannya melalui tulisan. Dia memang tipe yang sangat cuek terhadap segala sesuatu hal.

Kakinya yang dibalut celana hitam dan sepatu kulit itu sudah merasakan lelah. Dia mulai berpaling dari perjalanannya menuju ke sebuah kedai. Dia masih teringat dahulu saat masih menjadi mahasiswa. Berkunjung ke kedai tersebut setiap malam adalah kegiatan rutinitasnya.

Minuman yang selalu dia pesan adalah teh tarik. Minuman itu yang dengan konsisten dia minum di kedai tersebut. Baginya, kedai tersebut adalah rumah ke dua setelah rumah orang tuanya. Tas yang terasa berat itu dia letakkan di kursi sebelahnya. Kakinya diluruskan sekedar untuk menghilangkan rasa pegal-pegal pada otot kaki.

Seorang wanita membawakan teh tarik untuknya, meletakkannya di atas meja yang kini dia sedang duduk. Tanpa pesan terlebih dahulu, pelayan tersebut sudah tahu menu yang diinginkan pemuda tersebut. Sebuah HP dia keluarkan dari saku bajunya. Layarnya sangat terang sekali. Tangannya mulai mencari kontak telpon yang akan dia panggil.

“Halo, kamu di mana?”

“Aku di rumah. Ada apa?”

“Ke sini sebentar dong. Temani aku ngobrol.”

“Oke. Aku mandi dulu. Tunggu sebentar ya.”

“Oke.”

Dia segera menutup telpon kembali. Seseorang yang dia telpon tadi adalah teman wanitanya yang sudah sangat dekat dengannya. Bagi pemuda tersebut, wanita tersebutlah tempatnya bercerita tentang segala pengalaman dan keluh kesahnya. Dia mulai meminum teh yang terpampang di meja tersebut. Hilang sudah rasa panas dan dahaga setelah berjalan seharian. Tetapi, lelahnya masih terasa di tubuhnya.

Dia buka sebuah buku cerita yang telah dia tulis sendiri selama kuliah. Dia menyisihkan waktu selain kuliah hanya untuk menulis. Sebuah kegiatan yang cocok untuk pendiam sepertinya. Dia mulai membaca cerita yang kemarin belum selesai dia tamatkan dalam buku itu. Sambil menunggu wanita itu datang, pemuda tersebut makin menikmati cerita yang dia baca. Dari belakang, segerombolan pemuda-pemudi menepuk bahunya.

“Sedang ngapain, bang? Sendirian saja.”

“Aku habis pulang dari mencari pekerjaan.”

“Pekerjaan tak usah dicari. Nanti juga datang dengan sendirinya.”

“Kalau kita tak berusaha mana bisa begitu.”

“Nulis aja, kan enjoy.”

Mereka terkekeh-kekeh. Salah satu dari lelaki yang bergerombol itu mengambil teh di meja tersebut dan meminumnya sampai habis.

“Lohhhh… aku minum apa, kok di habiskan semua.”

“Beli lagi saja bang.”

“Kerja saja belum.”

“Aku yang traktir,” ucap pemilik kedai yang duduk di kursi kasir.

“Kenapa tak lagi membacakan sajak-sajakmu di dalam ruang ini? Lihatlah, lukisan dan lampuku mulai redup di segala lini ruang ini. Ingin mendengar sajak-sajakmu kembali. Bersuaralah kembali. Mana pemuda yang dulu idealis itu, aku ingin melihatnya kembali,” tambah pemilik kedai tersebut.

“Sekarang aku bukan lagi yang berdikari. Aku telah dikoyak oleh sistem yang pongah dan omong kosong. Semua orang membicarakan opini dan asumsi masing-masing, lupa pada kebenaran dan kenyataan. Apa yang mereka bicarakan adalah kepalsuan. Sehingga di dunia ini berdiri di tiang-tiang kepalsuan,” jawab pemuda tersebut.

“Lihatlah dirimu. Kamu yang kukenal garang dan ganas mengkritik ketidakadilan, sekarang bertekut lutut juga pada kepalsuan? Lihatlah, dirimu yang dulu ganas dan dipenuhi sanjungan, sekarang hanya berdiam diri serta acuh? Aku sedih melihat hal seperti itu,” kata pemilik kedai.

Pemuda itu terdiam. Dia tak bisa mengutarakan pendapatnya lagi. Dia telah disindir habis-habisan. Dia terdiam melamun. Memang, pada kenyataannya idealis butuh untuk merubah dunia yang rapuh. Seorang idealis bisa melakukan perubahan di dunia. Tetapi, manusia akan kalah dengan kebutuhan dan kepentingan ekonomi.

Banyak orang di luar sana yang berpegang teguh pada prinsip, tetapi kemudian menjual prinsip itu pada zaman. Mau bagaimanapun, manusia adalah hasil zaman. Dia akan mengikuti arus pergerakan pembangunan dunia ini yang bertumpu dan mengacu pada materi semata. Secara nyata, materi memang hal utama untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia. Tetapi, kini telah menjadi hal yang dijadikan untuk bergengsi kepada dirinya sendiri.

Wanita yang sedari tadi telah ditunggu oleh pemuda tersebut membuka pintu kedai dan  menghampirinya, duduk di sebuah kursi yang masih kosong. Meletakkan tasnya yang cantik bersulam permanik di pangkuannya. Air matanya mengalir perlahan dari kantong matanya yang sedikit berkantong warna gelap, tandanya dia kurang tidur.

Semua orang yang sedari tadi duduk menyapa pemuda tersebut beranjak pergi dari situ. Mereka tak mau terlibat dengan urusan orang lain. 

“Kenapa kamu menangis, ayah berulah lagi?”

“Dia kini meninggalkan ibuku. Pergi bersama wanita itu jauh dari rumah.”

“Lalu…, adikmu tak melarangnya pergi?”

“Aku dan adik sudah melarangnya pergi. Tetapi tetap saja sia-sia. Aku kasihan melihat ibuku. Kini dia sedang bersama adikku menenangkan diri. Pintu rumahku ditendang ayahku sampai terbelah dua. Aku tak kuat menahan kenyataan tersebut.”

Air mata yang mengalir dari matanya yang sayu, dia usap dengah tisu yang entah sudah habis berapa lembar untuk menghapus air mata kesedihan itu. Pemuda itu memeluknya. Mencoba menenangkan wanita yang sedang merasakan radang kesedihan itu.

Wanita itu berasal dari keluarga yang broken home. Ayahnya selalu pulang larut malam dan suka minum minuman keras. Bahkan kerap mengingkari istrinya. Kini, ayahnya telah pergi meninggalkan dia bersama kekasih gelapnya entah kemana rimbanya. Wanita itu sudah tak mau lagi berat-berat memikirkan hal yang menambah beban jiwanya itu.

Di lain pihak, pemuda itu merasa bersyukur tidak mengalami hal pahit di dunia seperti temannya itu. Dia memiliki keluarga yang sangat menyayanginya. Memang benar kata pepatah, keluarga adalah harta paling berharga.

Ketika keluarga tercerai berai, tak ada tujuan hidup yang jelas dalam keluarga tersebut. Atau mungkin secercah dendam dan kepahitan yang tersimpan dalam keluarga broken home tersebut. Seperti yang dialami wanita tersebut.

Pemuda tersebut mencoba menasihatinya, “Sudahlah, biarlah angin kemarau berlalu. Akan datang musim hujan mengguyur hatimu yang layu dan kering itu. Tidak ada gunanya menyesali hal tersebut. Jangan pernah mencoba untuk memiliki dendam dan penyesalan yang dalam. Atau hal yang aneh-aneh, seperti mencoba untuk bunuh diri. Jangan pernah lakukan itu!”

“Aku memang rapuh, tapi aku juga bukan manusia yang mudah untuk menyia-nyiakan hidup seperti itu. Kini, hanya tujuan untuk menutup rapat-rapat cerita pahit itu.”

Pemuda tersebut masih memegang pundak wanita itu. Tangannya menepuk-nepuk punggung wanita itu dengan perlahan dan halus, untuk menentramkan gejolak hatinya yang sedang menderu. Tiba-tiba, HP-nya berbunyi. Ada sebuah panggilan masuk, dia segera mengangkatnya.

“Dimana kamu? Ini sudah malam, segera pulang. Kami menunggumu.”

“Iya.”

Setelah menerima panggilan tersebut, tanpa basa-basi, dia segera pulang ke rumah. Beranjak dari tempat duduknya dan meninggalkan uang untuk membayar teh tarik di meja tersebut sambil menyapa wanita tersebut dan semua orang yang berada di ruang tersebut.

 

Penulis: Muhammad Lutfisastrawan dan penyair dari Pati, Jawa Tengah. 

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.