Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Nurinas Dzakiyah / Dec 23, 2020

Dinosaurus

Selama ini, kupikir dinosaurus menyisakan hanya tulang belulangnya di bawah tanah, dan di museum-museum megah di tengah kota. Ternyata, dinosaurus masih ada. Dinosaurus menghampiri rumah kami hari ini.

***

Rumah kami adalah sepetak ruang yang terlalu sesak untuk dibagi oleh empat orang. Langit-langitnya rendah. Kami tidak punya terlalu banyak barang–tapi tetap saja terasa sempit di mana-mana. Meja makan kami adalah meja yang sama yang kami gunakan untuk menjamu tamu yang seringnya tak pernah betah duduk di sana lebih dari tiga puluh menit.

Jendela kami hanya berupa sebentuk persegi panjang di salah satu sisi tembok menjadi satu-satunya sumber cahaya dan penghubung dengan dunia luar; aku selalu menyaksikan matahari terbit melalui jendela itu, juga deras hujan, para pria yang selalu pulang tengah malam dalam keadaan mabuk, seorang tetangga yang melintas di pagi hari dengan mobil yang berganti-ganti setiap tiga bulan, dan macam-macam.

Pagi ini aku membuat nasi goreng di atas kompor yang menyala dengan api sedang. Udara terasa panas sekali hari ini. Adikku beringsut menghampiri sofa kecil di sisi jendela kami. Jendela itu tidak dibuka. Ia hanya menyibak gordennya sedikit untuk melihat Ayah dan Ibu yang tengah berjalan dengan punggung mereka yang tertekuk. Dari balik jendela, ia bisa melihat Ayah melangkah sambil tersuruk-suruk karena tapak sepatunya yang nyaris terlepas.

Kompor yang menyala membuat udara semakin panas. Dari balik jendela, ia bisa melihat sepasang ibu dan anak mampir di toko kelontong di sudut jalan untuk membeli es krim semangka.

“Kau mau es krim?”
Adikku menoleh sekilas, lalu kembali menatap jalan yang mulai ramai. “Memangnya kau punya uang?”
Aku mengingat-ingat sebelum menjawab. “Tentu. Aku masih punya uang untuk satu bungkus es krim.”
“Lalu kau?”

Aku mematikan kompor dan menyurukkan nasi goreng ke atas piring besar lalu mengambil sepasang sendok. “Tidak usah. Aku tidak terlalu suka es krim.”

Ia menghampiri meja makan masih dengan selimut yang membalut tubuhnya. Kami belum menghabiskan setengah dari isi piring kami ketika sebuah ketukan yang keras terdengar di balik pintu rumah.

“Hei, keluar kau sekarang!”
Ketukan itu disusul oleh satu ketukan lainnya.
Kami melepaskan sendok-sendok dari tangan kami dan berpandangan.
“Keluar dan bayar hutangmu!”

Aku buru-buru mendekap adikku yang ketakutan. Sebelah tanganku membekap mulutnya yang mulai mengeluarkan isak tangis– berharap orang-orang itu tidak mendengarkan apa-apa dan mengira tidak ada seorang pun di rumah ini.

Ketukan itu datang terus-menerus. Bertubi-tubi. Keras sekali.

Kami bergegas meringkuk di bawah meja, melindungi diri di balik kursi-kursi yang dirapatkan, sementara orang-orang itu terus menghantam pintu dengan kepalan tangan dan tendangan mereka yang kuat dan menakutkan.

“Siapa mereka?” Adikku bertanya dengan suara bergetar di antara tangisnya.

Ayah selama ini hanya bekerja serabutan. Tidak ada penghasilan tetap. Ibu bekerja di restoran kecil di mana ia harus mencuci bertumpuk-tumpuk piring kotor hingga tangannya menjadi sangat kasar. Untuk kebutuhan hidup, mereka berhutang sana-sini dengan nominal yang tidak terlalu besar tapi tetap tak sanggup dilunasi, terutama sejak aku masuk sekolah menengah dan ibu menjadi satu-satunya orang di rumah kami yang bekerja setelah Ayah menganggur beberapa pekan.

Sudah beberapa pekan ini, Ayah berangkat lebih pagi untuk mencari kerja di tempat baru. Ini pertama kalinya orang-orang itu datang. Mereka pasti orang-orang yang dibayar untuk menagih hutang-hutang Ayah dan Ibu, aku tahu– adikku masih menatapku dengan matanya yang berair, dan aku segera menggeleng. “Aku juga tidak tahu siapa mereka.”

Orang-orang itu dan ketukan keras mereka terus mendesak masuk hingga bermenit-menit kemudian. Lalu, tiba-tiba, tak ada suara. Mereka akhirnya benar-benar mengira tidak ada orang di rumah ini. Mereka akhirnya pergi. Aku hendak beranjak keluar dari balik kursi-kursi yang mengelilingi meja makan untuk mengintipi mereka dari balik jendela saat sebuah benda melesat masuk disertai bunyi yang keras.

Sebelum pergi, mereka melempari jendela kami dengan batu. Kaca-kacanya yang pecah berserakan di lantai. Air mata pecah di wajah adikku.

***

Aku bermimpi tentang mereka, dan suara-suaranya yang menakutkan. Pagi masih jauh saat aku tiba-tiba terbangun. Tenggorokanku kering. Aku merangkak keluar dari selimut tipis yang kubagi dengan adikku. Aku berjinjit pelan, berusaha tidak menimbulkan suara apapun. Di meja makan, aku mengisi gelas dengan air. Aku duduk dan minum.

Aku ingin melihat bulan dari balik jendela, tapi Ayah mengganti kaca jendela kami yang pecah dengan sebilah papan– kubilang pada Ayah, anak tetangga bermain bola sepak di depan rumah dan bolanya meluncur mengenai jendela kami. Entah dari mana Ayah mendapatkannya, tapi papan itu sangat tebal dan kuat.

Sebelum beranjak tidur kembali, kudapati adikku menggumam kecil dengan gelisah dalam tidurnya. Seluruh tubuhnya berkeringat. Mungkin, ia juga bermimpi yang sama sepertiku.

***

Dinosaurus menghampiri rumah kami hari ini. Badannya terlalu besar untuk masuk melalui pintu. Ia memutuskan memecahkan satu-satunya jendela di rumah kami, tapi bahkan kepalanya pun tidak muat. Hanya sepasang mata dan hidungnya yang berhasil masuk melalui celah jendela.

Dinosaurus itu selalu memekik. Keras sekali. Ribut sekali.

***

Semalam, Ayah pulang dengan membawa dua berita penting; ia diterima kerja sebagai tukang kebun di sebuah rumah besar di tengah kota, dan pemilik rumah itu memberi Ayah kami buku-buku cerita bekas untuk dibawa pulang.

Pagi ini, Ayah bersiul-siul riang sekali. Ia bersiul sambil mandi. Ia bersiul sambil mengenakan pakaian. Ia bersiul sambil menyisir rambut. Ia bersiul sambil menjemur kaos kaki yang basah. Sementara itu, Ibu sudah berangkat lebih dulu sejak sejam lalu.

Sembari memakai sepatu, Ayah menengokku yang sibuk memasak. “Kau tidak berangkat sekolah?”

Orang-orang itu mungkin akan datang lagi, dan adikku selalu sendirian di rumah. “Aku akan berangkat setelah ini.” bohongku.

Di sofa, adikku sedang membaca buku yang dibawa pulang Ayah semalam. Suaranya mengejakan setiap kata dengan lambat.

Aku diam-diam mendengarkan– cerita tentang anak kecil dan dinosaurus.

***

Ada sebuah cerita tentang sepasang anak dan dinosaurus. Kedua anak itu tinggal di sebuah rumah yang amat kecil. Suatu hari, dinosaurus datang dan memecahkan jendela rumah mereka agar sepasang mata dan hidungnya bisa masuk. Dinosaurus itu memekik, keras sekali. Si anak kecil ketakutan. Ia ingin menangis keras-keras hingga dinosaurus itu iba dan pergi, tapi anak yang lebih tua melarangnya.

Keesokan harinya, mereka membuka peta kota. Di peta itu, ada sebuah laut di pinggir kota yang dikelilingi bebatuan tinggi. Konon, di sanalah dinosaurus itu tinggal.

Pada malam hari, ketika kedua orangtua mereka tertidur, mereka bersepeda menuju laut yang jauh. Bebatuan di sana benar-benar tinggi. Mereka meninggalkan sepeda mereka di pinggir jalan, lalu mulai memanjati bebatuan itu ditemani cahaya bulan. Mereka benar-benar kelelahan begitu tiba di puncak bebatuan.

Tidak ada apa-apa di sana.

Mereka memutuskan duduk dan menunggu sedikit lebih lama.

Sebelum fajar menyingsing, sebentuk dinosaurus muncul dari dalam laut. Air yang semula tenang beriak. Gelombang air yang sangat besar menyapa bebatuan di bawah kaki mereka. Dinosaurus itu melihat mereka. Dinosaurus itu memekik, keras sekali.

Si anak kecil berdiri, membalas pekikan itu dengan teriakan sekeras yang ia bisa. Anak yang lebih tua mengikutinya.

Mereka menutup mata dan berteriak, jauh lebih keras dari pekikan dinosaurus itu.

Begitu membuka mata, mereka tidak lagi mendapati dinosaurus itu. Di sekeliling mereka, di atas laut dan bebatuan– serpihan-serpihan kecil melayang-layang. Kedua anak itu bersorak.

Dinosaurus itu sudah tiada. Dinosaurus itu menjelma menjadi debu di udara.

***

Kami menikmati sarapan kami di meja makan bersama udara yang panas.

“Kau takut pada mereka?”
Aku mengernyit. “Siapa?”
“Orang-orang itu. Orang-orang yang datang kemarin.”

Aku bermimpi tentang mereka yang datang menggedor pintu dan memecahkan jendela. Hari ini, mereka mungkin akan datang lagi, dan esok hari, dan lusa, dan seterusnya. Mereka akan terus datang dan mengetuk pintu dengan keras. Suatu hari, pintu kami pasti akan jebol. Suatu hari, mereka akan berhasil masuk dan menemukan kami.

“Tidak.”
“Aku takut.”
Aku mengelus helai rambutnya yang pendek. “Aku tahu. Aku akan melindungimu.”

Adikku menggeser piring kami, memberi ruang untuk buku cerita lusuh di genggamannya. Ia membuka sebuah halaman. Ilustrasi buku itu bagus sekali –di sana, kulihat dua anak kecil di atas bebatuan tinggi, dan sebentuk dinosaurus di tengah-tengah laut yang luas.

Adikku menelusuri gambar dinosaurus berwarna hijau. “Dinosaurus ini terus mendatangi rumah mereka dan menakuti mereka dengan pekikannya yang keras.” Telunjuknya lalu bergeser pada kedua anak yang tampak sangat kecil di atas bebatuan yang amat tinggi. “Maka, mereka memutuskan untuk mencari dinosaurus itu. Begitu menemukannya, mereka berteriak. Mereka berteriak sangat keras untuk mengalahkan pekikan dinosaurus itu.”

“Lalu, apa yang terjadi?”
“Dinosaurus itu berubah menjadi debu.” jawab adikku sambil menutup buku tersebut.

Ia memandangku, “Ketika mereka datang, aku akan berteriak keras hingga mereka pergi.”

Aku menggeser buku itu dan menempatkan kembali piring kami di tengah meja makan. Kuselipkan sebentuk sendok di genggaman adikku agar ia melanjutkan sarapannya.

“Sebenarnya, aku juga takut.” kataku sambil menengok jendela kami yang ditutupi papan. “Tapi, aku akan berteriak bersamamu. Aku akan menyuruh mereka pergi dengan suaraku yang paling keras. Aku akan berteriak meski tenggorokanku sakit.”

Adikku tersenyum lebar. “Kau tahu, semalam aku bermimpi tentang dinosaurus muncul di jendela rumah kita. Jika mimpi itu datang lagi, aku akan berteriak hingga tenggorokanku sakit.”

 

Makassar, 2020
Terinspirasi dari video musik Akdong Musician, “Dinosaur

 

*kadang-kadang, yang harus kau lakukan adalah mengalahkan ketakutanmu sendiri.

 

Penulis: Nurinas Dzakiyah, akrab disapa Inas, saat ini sedang berada di rumah, iyalah, kan #dirumahaja

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.