Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 27, 2020

Dunia Dibalik Horizon

Masalahnya terlampau besar waktu itu, dentuman keras antara selongsong besi dengan semesta mendobrak paksa pintu dunia paralel. Suara dentuman yang menandakan telah berakhirnya era lama menuju sebuah era baru. Sebagian berpendapat bahwa era baru adalah era dunia mengalami kesejajaran dalam semua aspek kehidupan. Sebagian yang lain beranggapan bahwa itu hanyalah omong kosong dari mulut-mulut khayal penguasa-penguasa bengis.

Mereka beranggapan bahwa kedamaian di dunia khayal dalam imajinasi ini harus berjalan sejajar dengan dunia realitas. Akan tetapi meniadakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi diantara keduanya amatlah mustahil dilakukan. Seperti ketika memasuki sebuah dunia cermin, apa yang nampak adalah apa yang nyata.

Layaknya sebuah dunia yang tampak di seberang sana, sebuah peradaban maju dengan pancang-pancang besi menghujam tanah membumbung tinggi menusuk ke langit. Hampir seluruh luas wilayahnya tertanami benda-benda mati. Beterbangan objek-objek putih di langit-langitnya. Kepulan kabut yang sering disertai suara dentuman nyaring. Peradaban yang terlihat seperti berjalan sangat cepat, bahkan suasana yang tak pernah sepi apalagi tertidur barang sejenak.

Kami adalah penduduk asli, wilayah kami berseberangan diantara lautan dengan dunia itu. Wilayah kami memiliki pemandangan menarik dibagian hutannya, dengan sebuah sungai mengalir tenang membelah ditengah-tengahnya. Setiap pagi dan sore hari, banyak rusa mengambil air di sungai ini, berbagi dengan hewan-hewan lain di tempat yang tidak jauh.

Tempat kami terletak di kaki gunung purba tepian pantai. Daerah yang berpenduduk kurang dari lima ratus jiwa. Terlalu sedikit jika dibandingkan dengan luas wilayah yang dikelilingi hutan, sungai, dan bukit-bukit yang terhampar. Rumah-rumah disini dibangun secara gotong royong oleh semua laki-laki dengan menggunakan bambu-bambu hasil mengambil di hutan.

Tidak ada toilet di rumah kami, karena itulah rumah-rumah kami didirikan di dekat sungai. Keadaan kami tidak pernah mengalami perubahan sedari dulu hingga sekarang ini. Sangat berbeda sekali dengan apa yang terjadi di seberang sana yang terlihat menyala siang dan malam.

Suatu ketika terdamparlah sebuah sampan kecil dibibir pantai wilayah kami. Terlihat seorang laki-laki terkapar tak berdaya oleh luka di dalam sampan itu. Laki-laki dengan pakaian kain sutera dari dunia seberang. Lantas segera kami bawa ke tempat balai pertemuan. Di balai pertemuan laki-laki itu bisa beristirahat sekaligus dirawat oleh mamak-mamak kami.

Dua jam kemudian mamak-mamak kami mendapati laki-laki itu masih hidup. Laki-laki itu tampak telah mengalami hari-hari yang berat, dehidrasi, kelaparan, dan kedinginan. Terombang-ambing di lautan luas dengan sampan kecil yang dapat dengan mudah terguling terbalik.

Malam ini langit terlihat begitu bersih. Awan hitam tipis melintas di depan hadapan bulan bergeser menuju ke arah selatan mengikuti arah angin. Angin laut sepoi-sepoi menyapu dedaunan kelapa di pinggir pantai. Keluar menuju bibir pantai duduk dibawah pohon kelapa, laki-laki itu telah sadar sedari tadi. Jeggers, salah satu dari kami mendekati laki-laki itu.

“Bagaimana keadaan anda tuan?”
“Lebih baik dari sebelumnya.”

Jeggers dan laki-laki itu berbincang-bincang banyak hal. Terkadang tertawa, terkadang serius, dan terkadang saling sama-sama diam. Di bawah cahaya remang-remang bulan. Diantara suara-suara alam. Jeggers bertanya satu hal yang membuatnya penasaran dari pertama ditemukannya dalam keadaan hampir mati.

“Maaf tuan kalau saya lancang, sebenarnya apa yang sedang terjadi dengan anda dan dunia di seberang sana?”
“Kamu ingin mengetahuinya?”
“Tentu.”
“Kekacauan.”

Jegggers mengernyitkan dahi mencoba menerka untuk sekadar memahami apa maksud dari kekacauan yang laki-laki itu ucapkan. Selama ini yang kami ketahui bahwa dunia itulah tempat tujuan kami memperbaiki hidup. Jeggers pun bertanya apa maksud dari kekacauan yang dimaksudkan tadi.

“Dunia dibalik horizon adalah kekacauan.” Ucapnya dengan ekspresi datar.

Jeggers mendengarkan dengan seksama dari setiap kata-kata yang laki-laki itu ucapkan.

“Dunia yang selama ini diimpikan oleh banyak orang adalah dunia dimana dimulainya sebuah kehancuran. Dimasa yang akan datang kita akan mengetahui bahwa manusialah makhluk paling mengerikan bahkan melebihi semua makhluk di alam semesta ini. Impian dan hasrat menggebu-gebu seringkali meluruhkan rasa kemanusiaan demi terpuaskannya rasa dahaga mata.”

“Lantas bagaimana cara menghentikan kehancuran itu?”
“Berlindung, pertahankan wilayah, dan jangan mudah percaya dengan orang lain.”

Seperti itulah manusia dengan hasrat keserakahannya. Pada akhirnya kami pun membangun pertahanan sebaik mungkin menghalau perampasan wilayah asli kami. Mempertahankan diri dari invasi kaum kami sendiri, sangat konyol.

 

Penulis: Muhammad Muzaqqi, menyukai dunia sastra merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.