Thu, 25 Apr 2024
Cerpen / Dec 01, 2021

Dunia Pilihanmu

“Tidak! Sudah berulang kali Ayah bilang, tidak! Ya, tidak.” Tekan Ayah begitu mendengar penuturan Elvin anak semata wayangnya, “Ayah sudah bilang, kamu harus menjadi seorang dokter. Karna keluarga kita ini, keluarga dokter. Kamu jangan memutus aliran keluarga kita!” Jelas Pak Syarif, raut wajahnya berubah menjadi mendatar. 

Elvin Chantrawijaya. Anak laki-laki yang mempunyai mimpi menjadi seniman patung. Namun mimpinya perlu dikubur dalam-dalam karena sang Ayah memaksanya untuk menjadi dokter, meneruskan garis keturunan dokter yang sudah melekat di keluarga kami. 

Deretan buku-buku tebal di tatapnya dengan nanar. Suara decit pintu membuat Elvin mengalihkan pandangannya. “Beo!” serunya, “Kenapa diem aja?” lanjut Ghazi sepupu Elvin. 

“Kenapa mereka begitu?” kata Elvin dengan suara parau. Ghazi melangkahkan kakinya mendekati tumpukan buku kedokteran milik Elvin, “Pinjem ya.” Ucap Ghazi sembari mengangkat satu buku kedokteran yang berada di tangannya. Elvin tidak menjawab, dia tidak peduli pada buku itu. Mau dibuang juga tidak masalah baginya. 

“Biar gua tebak. Pasti mereka masih memaksa buat masuk kedokteran, betulkan?” 

“Iya... Mereka kenapa sih? Kan ada lu yang jadi dokter, kenapa harus gua?” jawab Elvin ketus. 

“Mungkin bagi mereka kedokteran adalah jalan terbaik buat masa depan lu.” Elvin mendengus jengah, “Tahu apa mereka tentang masa depan gua? Selama gua hadir di dunia mereka hanya menuntut gua, harus ini, harus itu, nggak boleh begini, nggak boleh begitu. Dari gua kecil mereka selalu sibuk sama pasien-pasiennya sampai gua terlupakan. Mereka mana sempat dampingin gua belajar pas kecil, tanya kabar aja jarang.” 

“Mereka begitu karena mereka sayang sama lu, mereka banting tulang juga demi hidup lu. Bukan nikmat namanya kalau mendapatkannya tanpa ujian terlebih dahulu. Ujian yang panjang membuat diri kita lebih tangguh dan kuat ketika terombang-ombing. Kalau lu mau jadi seniman patung, lu buktiin ke mereka bukan cuman lewat omongan tapi lewat pembuktian nyata. Lu tunjukin ke mereka kalau patung buatan lu itu bisa mengalahkan semuanya.” Usai mengatakan hal tersebut Ghazi menepuk pundak Elvin memberikan semangat kepada sepupunya bahwa hidup memang penuh lika-liku dan tidak selamanya hidup berjalan mulus."

***

Di depan bukan kegelapan malam melain siang yang hangat. tidak panas, tidak juga dingin, tapi hangat. Sejauh mata memandang terlihat rumput-rumput hijau serta bunga beraneka warna yang tumbuh mekar, bergoyang sesuai irama angin. Elvin mengerjapkan matanya berkali-kali memastikan bahwa saat ini dirinya tidak sedang bermimpi. Tempat ini, tempat ini sangat indah sekali. Ada gunung yang menghiasi langit cerah, pohon-pohon besar yang tumbuh subur, serta suara kicauan burung yang membuat tempat ini sangat damai. 

“Hai...” suara seorang pria membuat Elvin membalikkan tubuhnya, Elvin mengerutkan keningnya. Dia tidak mengenal pria tersebut. “kamu tidak perlu mengenal saya,” kata pria itu seolah mengerti isi pikiran Elvin. “Saya hanya ingin memberikan ini.” Tangan pria itu terbuka menampakkan peralatan mematung yang sangat bersinar. 

“Mematunglah disini, sampai kamu merasa yakin dan puas atas apa yang sudah kamu buat. Tunjukan bahwa kamu adalah pematung yang handal.” Elvin mengambil barang itu dengan tangan bergetar, dia masih tidak mengerti dengan semua yang terjadi saat ini. Baru saja Elvin ingin bertanya pria itu sudah menghilang dari hadapannya. Elvin menatap peralatan yang berada di genggamannya dengan perasaan tidak menentu, “Apakah aku bisa melakukannya?”  

“Bisa, kamu pasti bisa. Ayo, kamu harus mencobanya sekarang.” Elvin pikir pria itu kembali datang, tapi bukan. Itu bukan suara pria tadi melainkan itu suara pohon yang sedari tadi bergoyang bersamaan dengan datangnya alunan angin. Pohon bisa berbicara! Benar-benar bisa berbicara. Sungguh tidak masuk akal, yang Elvin tahu pohon memang bisa berbicara tapi di dalam kartun. Elvin melihatnya di dalam kartun. Bukan nyata. Itu berarti saat ini Elvin sedang tertidur dan bermimpi. Karena pohon tidak mungkin bisa berbicara di dunia nyata. “Hentikan pemikiranmu itu. Ayo mematunglah. Katanya kamu ingin menjadi pematung, kenapa hingga saat ini kamu masih berdiam diri tanpa melakukan pergerakan apapun?” 

Elvin duduk dibawah pohon rindang, namun bukan pohon yang tadi berbicara bersamanya. Elvin mengambil palu, sudip dan alat memahat lainnya. Dengan susah payah Elvin mencoba untuk membuat karyanya. Waktu terus berlalu, awan cerah sudah berubah menjadi awan gelap, matahari yang tampak bersinar sudah berganti dengan rembulan yang menyinari gelapnya malam.

Semakin lama Elvin bekerja, semakin terlihat juga hasilnya. Patung pertama yang Elvin buat sudah hampir selesai hanya perlu ditambahkan beberapa detail agar patung ini menjadi terlihat lebih hidup. 

Untuk kali ini Elvin membuat sebuah patung wanita yang sangat terkenal, dia adalah pemain badminton yang menjuarai banyak perlombaan di mancanegara. Perlombaan terakhir yang beliau ikuti adalah piala Tokyo 2020 dan memperoleh medali emas.

Elvin membuat patung Greysia Polii yang sedang mengangkat tinggi-tinggi medali, dengan tubuh yang di selempangin bendera negara yaitu merah putih. Pada patung itu terlihat jelas wajah Greysia yang tersenyum penuh kebanggaan karena telah berhasil mengharumkan nama Indonesia. Begitu pun dengan Elvin, dia tersenyum puas dengan hasil yang dia lakukan saat ini. Ditatapnya patung itu dengan perasaan senang. 

“Kerja bagus! Sekarang tunjukan pada kedua orang tuamu.” Ucap Pohon kepada Elvin. 

“Gimana, Gimana caranya? Aku saja tidak mengetahui keberadaanku saat ini sedang dimana.” Pohon itu terkekeh menyaksikan wajah Elvin yang kebingungan. “Tutup matamu, aku akan membawamu kembali ke dunia asalmu.” Elvin menurut, dia menutup matanya rapat-rapat. Hingga dia merasakan ada sebuah cahaya yang menembus masuk.

***

Elvin tersentak begitu kepalanya tertimpa robot mainan, Elvin menatap sekelilingnya, dia baru sadar kalau sekarang dia sudah berada di dalam kamarnya. Tapi tunggu, kemana patung Greysia yang dia bikin dengan susah payah? 

“Cuman mampi, nih.” Kata Elvin kepada dirinya sendiri, “Tuhkan, lagian aneh, mana ada pohon bisa bicara.” Terdengar suara ketukan pintu berulang kali, Elvin bangkit dari ranjang, menarik gagang pintu. “Ayah mau bicara,” bisik ibu. 

Elvin turun ke lantai bawah menemui Ayahnya yang sedang menyantap pisang goreng serta teh hangat. Cuaca yang saat ini sedang mendung memang paling tepat untuk duduk santai ditemani teh hangat. “Ayah tidak akan memaksamu untuk menjadi dokter lagi. Ayah bebaskan kamu memilih pilihan kamu sendiri.” Ucap Ayah. Elvin mencubit tangannya sendiri, lalu dia meringis, “Bukan mimpi.” Kesempatan ini tidak bisa dilewatkan begitu saja, Elvin harus bisa membuktikannya bahwa menjadi pematung adalah pilihan yang tepat. 

“Ayah ada kerabat, katanya beliau ingin melihat patung buatanmu. Kalau beliau tertarik, patung mu akan dibeli untuk dijadikan sebuah pameran di gallery miliknya.” 

“Terima kasih, Yah. Elvin janji tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.” Elvin yakin tidak akan salah dengan impiannya. Karena menjadi seorang pematung bukanlah hal sepele, perlu banyak hal yang harus diperhatikan. Tidak ada hasil tanpa perjuangan dan tidak ada perjuangan tanpa hasil. Cepat atau lambat, besar atau kecil, pasti akan ada hasil yang menantikan. Elvin yakin bisa membuat kedua orang tuanya bangga dengan mimpinya sendiri.

 
 
Penulis: Nabila Sulistianingrum, pelajar SMA yang berdomisili di Bekasi.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.