Harapan
Senja mulai menampakkan wajahnya, cahaya langit mulai terdengar sebagai pertanda akan turunnya hujan, dan hari yang paling menyedihkan bagi seorang perempuan yang bernama Rara, setiap harinya dia menghabiskan waktunya di tempat dimana dia bisa mengais rejeki. Waktu menunjukkan jam empat lewat beberapa menit, dengan perasaan gelisah, Rara kemudian beranjak pergi meninggalkan tempat dimana dia melakukan rutinitas nya sebagai karyawan disalah satu perusahaan.
Di perjalanan pulang Rara selalu melamun dan memikirkan seseorang yang sangat berjasa dalam hidupnya, seorang kakek yang berusia sekitar 75 tahun yang selalu memberikan semangat serta motivasi dalam setiap sesuatu yang dilakukan oleh anak dan cucunya, termasuk Rara yang saat itu sedang memikirkan sang kakek.
Humoris serta romantis bercampur di jiwa sang kakek yang selalu punya harapan agar cucunya yang sudah beranjak dewasa itu bisa mempunyai seorang imam (suami) yang bertanggung jawab. Setiap pagi Rara selalu menemui sang kakek, kegiatan itu seakan sudah menjadi formalitas Rara sebelum melakukan rutinitas.
Pagi itu kakek sedang duduk di teras rumah ditemani segelas kopi dan tongkat yang selalu bersamanya, yang tak lama kemudian memanggil Rara yang sudah siap pamit untuk mengais rejeki. "Nak Rara, sini duduk di samping kakek" sambil mengacungkan tangannya. "Iya kek", ujar Rara sembari bergegas duduk di samping kakek.
Setelah Rara duduk, tanpa basa basi, sang kakek bertanya, "Nak Rara? Kapan kamu kenalkan kekasihmu kepada kakek? Kakek berharap kamu segera menikah", tanya kakek yang penuh harapan. "Kakek pengen liat kamu duduk di kursi pelaminan dengan busana pengantin bersama pasangan mu", lanjut sang kakek.
Mendengar pertanyaan dan pernyataan sang kakek, Rara pun menjawab, "Iya kek, nanti akan ada saat nya kakek lihat aku duduk di pelaminan dengan busana pengantin yang anggun", jawab Rara dengan perkataan yang gugup. Setiap pagi pertanyaan itu selalu kakek lontarkan, tetapi Rara selalu menjawab nanti sembari mengembalikan semua itu kepada sang pencipta.
*
Selama di perjalanan pulang, Rara yang saat itu bersama saudara kandungnya gelisah dan penasaran dengan keadaan sang kakek yang sedang krisis di kediamannya atas penyakit yang sudah lama di deritanya. Setelah sampai di rumah, Rara pun melangkah menuju masuk kerumah. Rara yang awalnya gelisah dan penasaran itu kemudian terkejut melihat seluruh keluarga berkumpul di samping kakek yang sudah terbaring ditutup dengan kain kafan.
Perasaan yang hancur serta bulir air mata yang menghujani pipi, bahkan semakin deras tak kunjung reda. Perih terasa menghujat hati seorang perempuan yang bernama Rara melihat sang kakek yang sudah terbaring dengan busana terakhir nya sebagai manusia.
Kini harapan sang kakek belum bisa di wujudkan oleh cucunya yang bernama Rara. Namun di balik rasa sedihnya, Rara selalu berdoa agar bisa segera mewujudkan apa yang menjadi sang kakeknya.
Penulis: Wahyudi Nasrul, penulis antologi puisi "Ratapan Sang ibu Pertiwi".