Hiraeth
Ada diam yang hanya ingin diperhatikan, bukan didiamkan
Ada luka yang hanya ingin didengar, bukan dinilai
Ada tangis yang hanya ingin dipeluk dan disandarkan, bukan ditinggalkan
Di Minggu sore ini, awan terlihat menutup separuh Bumi, ditemani hembusan angin yang bertiup dari arah barat yang membawa daun yang berguguran. Aku yang duduk terdiam menatap hujan di atas sebuah kursi kayu, dengan suguhan teh hangat dan alunan musik yang mendayu-dayu.
Oh, betapa tenangnya suasana seperti ini. Perlahan kusandarkan tubuhku sambil menghela nafas penuh ketenangan. Hingga selang beberapa menit, mataku mulai terasa berat dan perlahan tertutup rapat.
Ketika kubuka kedua mataku, tiba-tiba aku berada disebuah taman, duduk seperti seakan menunggu seseorang. Tak lama kemudian, datanglah seorang wanita muda menghampiriku, ternyata dia adalah kekasihku. Ia kian dekat dan kemudian menyapaku.
“Hai.”sapanya sambil tersenyum hangat
“Hai.” ujarku membalas sapanya dengan senyuman.
Dia duduk disampingku dan menyimpan tasnya diatas pangkuannya. Lalu menengok ke arah ku “Sudah lama nunggunya?”
“Hmm… belum lama kok.” jawabku sembari menatap wajahnya.
Kami memulai percakapan, aku menikmati waktu bersamanya dengan tenang dan hangat. Hal sederhana yang dilakukan dengan orang yang dicintai memang menyenangkan, sering aku merasa waktu berlalu cepat saat kami sudah harus kembali ke rumah masing-masing.
***
Hari-hari berlanjut seperti biasanya, aku yang melakukan rutinitasku sebagai seorang mahasiswa, dan ia pun juga begitu. Universitas tempat kami belajar berbeda namun kami selalu menyempatkan waktu untuk bertemu.
Yah, semuanya berjalan seperti biasanya sampai suatu hari ia tiba-tiba tidak lagi membalas pesanku, ia juga tidak mengangkat telponku. Saat itu aku bingung, ada banyak pertanyaan muncul begitu saja, aku berusaha mencari alasan kenapa ia menghindar. Semakin lama, aku semakin khawatir akhirnya kuputuskan pergi ke rumahnya.
Sampai di rumahnya aku mengetuk pintu sembari memanggil namanya. Tapi tak ada respon, ku mencoba sekali lagi namun hasilnya nihil. Kuputuskan untuk duduk menunggunya di kursi teras. Sekitar satu jam duduk, akhirnya seseorang membuka pintu rumah dan kulihat kekasih ku berdiri dibalik pintu, ia nampak kacau dengan mata merah seperti baru saja menangis.
Dia kemudian duduk sedikit berjarak dariku, aku pun terdiam mematung tak tau harus bagaimana. Tiba-tiba dia menangis aku semakin bingung tak tahu sebenarnya apa yang terjadi. Aku ingin menenangkannya tapi takut salah dan malah semakin melukainya jadi aku hanya menepuk-nepuk pelan bahu kirinya.
Sesaat kemudian tangisnya mulai mereda tapi tetap tak kunjung berbicara. Dia yang terus terdiam bukan berarti harus aku diamkan saja, tapi dia hanya ingin diberi perhatian yang lebih, Aku Pun memutuskan untuk duduk lebih dekat disampingnya, menepuk-nepuk pelan bahunya dan memutuskan untuk tidak berbicara duluan, biarlah ia yang memulai.
Aku tau dia masih butuh waktu dengan pikirannya sendiri. Ingin rasanya ku beri tahu lukamu itu hanya ingin didengar, bukan untuk dinilai jadi bicaralah tapi ku urungkan.
Tak lama setelah itu, dia pun mulai berbicara dan menjelaskannya kepadaku. Ternyata dia salah paham mengira aku berselingkuh dengan orang lain, dia melihatku begitu dekat dengan seorang perempuan yang ternyata sepupuku, ia bru pindah ke dekat rumahku dan kebetulan ia masuk di universitas yang sama denganku.
Meskipun begitu, aku tetap meminta maaf kepadanya karena tak memberi tau sebelumnya. Akhirnya aku pun memeluknya dan menyandarkan kepalanya di bahuku untuk menenangkan perasaannya, mengisyaratkan bahwa aku tetap ada disini, dan masih bersamanya. Dia Pun ikut meminta maaf kepadaku, disertai dengan tangis kecil dan senyum sedikit lega.
Mencintailah dengan secukupnya, tidak perlu berlebihan dan tidak juga kekurangan
Agar tak ada rasa kecewa saat melihat kelemahannya
Agar tak ada harapan untuk melihatnya terus-terusan sempurna
Agar tak ada tuntutan yang memberatkannya
Selang beberapa hari setelah kejadian itu, semuanya berjalan normal kembali, aku melakukan kegiatanku seperti biasa, begitupun dengannya. Meskipun kita disibukkan oleh kegiatan masing-masing, kita selalu menyempatkan untuk bertemu setiap pekannya untuk menghabiskan waktu bersama.
Semakin lama hubungan kita semakin dekat, percakapan kita pun kian menghangat. Rasanya seperti tak ada lagi sekat, sebab emosi kita pun kian erat. Aku yang kini menjadikanmu tempatku untuk berpulang dan kau selalu menyambutku dengan senyum yang hangat. Tak ada lagi yang lebih mengkhawatirkan diriku dari pada kehilangan sosokmu ini.
Semakin kesini semakin aku memahami akan dirimu, tak ada lagi tuntutan maupun harapan, juga tak ada lagi rasa kecewa bila melihat kekuranganmu. Semua tentang dirimu aku terima seutuhnya dan aku tetap ingin menjadi seperti ini, mencintai dengan secukupnya saja, tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan. Begitu juga dengan diriku, kau yang telah menerimaku seutuhnya, dan menerima segala apapun yang ada pada diriku
***
Aku ingin mencintaimu dengan jarak yang terjauh
Meskipun kita tak pernah dipertemukan disuatu waktu
Hingga suatu hari, aku yang menemaninya menjemput ayahnya di bandara. Ia sudah bertahun-tahun tak bertemu dengan beliau karena bekerja di luar kota. Ini pertemuan pertama ku dengannya, pastinya aku ingin memberi kesan yang baik, saat bersalaman dengan ayahnya, kekasih ku langsung memperkenalkan ku padanya.
Bukan maksud hati untuk berprasangka buruk tapi aku merasa aku tidak begitu disukai oleh ayahnya. Aku pun berusaha untuk bersikap biasa saja, dan terus melanjutkan percakapan lalu mengantar ia dan ayahnya pulang ke rumah.
Aku yang baru saja sampai dirumah, melihat notifikasi pesan yang baru saja masuk dari kekasihku. Dia meminta maaf karena ia melihat perlakuan ayahnya yang acuh padaku. Aku yang membaca pesannya ini sedikit tidak enak hati, karena ternyata kekasih ku pun sadar akan perlakuan ayahnya sewaktu di bandara tadi.
Tapi aku mencoba mencairkan suasana dengan mengatakan padanya mungkin ayahnya seperti itu karena kami baru saja bertemu.
Di saat aku akan beranjak tidur terlintas di pikiranku bagaimana caranya agar aku bisa mendapat empati dari ayahnya. Keesokan harinya aku berencana untuk datang kerumahnya yah sekedar silaturahmi dan agar bisa lebih mengenal ayahnya. Biasanya orang tidak suka hanya karena belum kenal.
Sesampaiku di rumah nya aku melihat ayahnya yang sedang duduk di teras, aku terburu-buru memarkirkan motor dan langsung masuk ke halaman kemudian mengucapkan salam. Beliau mempersilahkanku duduk lalu ia sendiri langsung masuk kedalam rumah. Selang beberapa saat, kekasih ku keluar dan merangkul ku berjalan ke pekarangan rumahnya. “Aduh, kok kamu tidak bilang mau kesini.”
“Aku cuma mau silaturahmi dengan ayahmu saja hitung-hitung supaya aku bisa akrablah dengan beliau.”
“Aduh jangan sekarang yah kita jalan saja bagaimana? Nanti aku jelaskan di jalan.”
Aku mengangguk saja.
Diperjalanan kekasihku bercerita bahwa ayahnya hanya mau anaknya menjalin hubungan dengan orang yang ia pilih. Semalam ia menceritakan hubungan kami namun ayahnya terlihat tak setuju dan menyuruhnya untuk fokus belajar. Aku yang mendengar hal itu sedikit down tapi kekasihku mengatakan aku tak perlu memikirkan hal itu “Kamu jangan terlalu kepikiran yah,ayah ku memang seperti itu.”
Aku sedikit lega tapi masih ada yang menjanggal. Sesaat setelah aku mengantarkannya kembali ke rumah, ia melarangku untuk datang ke rumahnya selama beberapa hari kedepan “Kamu jangan main kerumah dulu yah aku agak tidak enak dengan ayahku.”
Aku yang mendengar hal itu hanya mengangguk kemudian pamit pulang. Di perjalanan pikirin ku terasa kacau, sepertinya hubungan kami tak akan berhasil. Tapi yah sudahlah aku jalani dulu, kekasihku juga meminta untuk tidak terlalu memikirkan itu.
Aku tak menyangka semenjak ada ayahnya, kami jadi jarang bertemu karena ia tidak diperbolehkan untuk terlalu sering keluar. Percakapan pesan kami pun kian menyingkat. Aku yang sadar akan hal ini tak tau harus berbuat apa, hingga suatu hari ia akhirnya mengajakku untuk bertemu.
Kami bertemu di sebuah taman tempat kami sering duduk bersama disana. Entah mengapa selama perjalanan perasaan ku tidak enak.
Setelah sampai aku langsung menyusul ke tempat dimana kami biasa duduk bersama. Kulihat dari jauh ia duduk dengan kepala menunduk. Aku menyapanya dengan bersemangat untuk memecah suasana. Dia membalas sapa ku dengan senyum, kami duduk bersebelahan dan memulai pembicaraan dengan menanyakan kabar. Setelah kujawab ia diam jadi kutanya kabar ayahnya.
Ia kemudian menghela nafas “Ayahku akan kembali keluar kota untuk bekerja.” Kupikir ia sedih karena ayahnya akan pergi jadi kurangkul dan mengelus lengannya. Tapi ia melanjutkan kalimatnya “Aku akan dan keluargaku akan ikut dengan ayah pindah kesana.”
Aku yang mendengar hal itu kaget dan melepas rangkulan ku. Ia menatap kearah ku dengan mata berkaca kaca sambari tersenyum “Aku tau kau pasti pernah berpikir hubungan kita tak kan berhasil dan aku pikir juga begitu, jika kita jarak jauh pasti segalanya akan berat.” ia menarik nafas sejenak.
“Besok aku dan keluarga ku akan berangkat mungkin setelah ini kita tak akan pernah bertemu lagi. Jaga dirimu baik-baik.” kemudian ia berdiri dan melangkah pergi begitu saja meninggalkan ku yang masih duduk terdiam masih sulit mencerna apa yang baru saja terjadi.
***
Tiba-tiba, hujan turun begitu deras dan gemuruh guntur membangunkanku dari tidur. Ternyata aku telah terlelap dalam mimpi, memimpikan sebuah memori yang sudah lama terjadi. Sambil menghela nafas, aku kemudian meminum suguhan teh yang sudah dingin.
Kini, aku menyadari bahwa mencintai tak harus bersama, walaupun sudah kita berusaha sebaik mungkin, telah melewati kisah-kasih bersama, bila memang takdir kita untuk tak bersama, setidaknya rasaku ini tak berubah. Aku hanya ingin mencintaimu dengan jarak yang terjauh, meskipun kenyataan tak akan mempertemukan kita.
Penulis: Agung Sesar, akrab disapa Agung/Agun. Sekarang sebagai mahasiswa Psikologi, yang juga suka membaca, bertanya, dan menuangkan hasil pemikiran ke dalam bentuk tulisan.