Hujan, Yang Kuingat Ustadku! Bukan Kasihku
Berbeda dengan kebanyakan orang yang ketika melihat atau memandang hujan ,yang terlintas di benak mereka adalah kesedihan akibat di hianati yang terkasih. Saya malah mengingat uztad saya di pondok dulu.
Kala itu waktu menunjukkan pukul 04:10 subuh. Waktu yang menandakan bahwa sebentar lagi akan dilaksanakan sholat subuh secara berjamaah. Derasnya hujan yang menghamtan seng asrama, membangunkan saya dan para santri yang lain dari tidur yang begitu lelap.
Saya bangun, tapi tak beranjak dari kasur. Sepertihalnya insan pada umumnya, Suhu dingin yang menyertai hujan turun membuat kita menjadi malas. Begitupun saya. Seolah kasur yang saya gunakan adalah magnet yang menarik seluruh tubuh untuk tetap tertidur lelap.
Selang beberapa menit kemudian, akhirnya adzan berkumandang. Namun Bukannya bergegas untuk ke masjid, saya dan beberapa teman kamar tetap putuskan untuk bermanja dengan kasur.
Karena saat itu kami dalam keadaan was was akibat takut ketahuan oleh uztad karena tak shalat subuh. Seorang teman punya ide. Ia mengusulkan untuk mengunci pintu kamar, dan menutupi seluruh jendela dengan kain agar tidak ada yang mengetahui bahwa kami tak sholat subuh. Seketika kami pun melaksanakan usulan yang sangat brilian ini.
(Saya yakin bahwa rasa malas dan kecerdasan mengelabui uztad yang kami alami saat itu, tidak lepas dari Hasyutan syaiton.)
Dengan penuh keyakinan yang tinggi bahwa ide dari si teman ini akan sukses dan tidak akan membawa kami kepada masalah, Kami pun akhirnya tertidur dengan lelap tanpa memikirkan konsekwensi yang akan kami terima jika terbukti tak salat subuh dan pondokan.
Waktu menunjukan pukul 06 : 40, waktu itu para santri kembali ke asrama untuk mandi dan siap-siap untuk ke sekolah. Saat itu kami semua sudah terbangun. Terbangun dengan mata yang begitu melek karena kelebihan tidur. Terdengar dari luar kamar suara santri yang lalu lalang di lorong asrama.
Karena sadar bahwa kami akan sekolah, akhirnya kami semua yang tidak sholat subuh ini bergegas untuk mandi. Peralatan mandi siap, handuk ok. Kami bertujuh bersama sama ke kamar mandi.
Pintu yang terkunci akhirnya kami buka.
Betapa terkejutnya kami melihat salah satu uztad dengan predikat paling galak berdiri di depan kamar kami lengkap dengan rotan berukuran jumbo di tangannya.
"Mate maki"
Tanpa neko-neko, tanpa bacot, tanpa melawan, dan tanpa banyak alasan. Kami ikhlaskan betis mulus kami untuk dijadikan sandaran bagi rotan jumbo yang kesepian.
"Perepak" bunyi rotan...
"aaarkk, ampun ustad. Sudah uztad,kami tak akan ulangi lagi" Suara salah satu teman.
Tiba giliran saya. !
Dalam hati saya ucapkan seluruh doa yang telah saya hafal saat itu. Mulai dari doa setelah sholat, doa wudhu, doa makan, bahkan doa tidur sekalipun saya baca semua. Saya berharap setelah membaca doa tersebut sakit yang akan saya terima setelah dipukul ustad yang galak itu akan sedikit berkurang.
"perepak"........Suara rotan.
"aaaaa...... ???? ampun uztad wallahi tak akan terulang lagi" ujar saya.
Pukulan yang saya terima saat itu adalah pukulan yang menurut saya paling sakit di dunia. Jika di bandingkan dengan beribu ribu pukulan yang saya pernah terima. Pukulan ini yang paling sakit. Entah ustad tersebut pakai baca-baca atau bagaimana. Sakitnya pukulan uztad itu sampai ke ubun-ubun.
Doa yang saya baca tidak mempan. Ini mungkin akibat dari berdoa dikala berbuat dosa. (tak sholat subuh)
Yang lain sholat kami mensiasati kotor, yang lain pondokan kami tidur. Dasar...aku. (cuma sekali loh).
Momen itu sangat historis, sampai sekarang masih teringat jelas di memory kepala saya. Dan alhamdulillah, berkat pukulan yang sakit tersebut, saya bisa menjadi seperti sekarang ini.
Penulis: Alfian Alghifari, mahasiswa STAIN Majene.