Fri, 19 Apr 2024
Cerpen / Nov 15, 2021

Ingatlah Hari Ini

Sarang laba-laba di sudut ruangan bergoyang diterpa deru napas perpisahan. Debu tertata mengelilingi beberapa gelas kopi di atas meja. Embusan di tiap-tiap isapan kretek semakin lambat. Gales memutar-mutar pick gitar, lantas meremasnya sekuat rasa hatinya saat ini. “Kau tak ingin berubah pikiran?”

Seketika ruangan hening. Hanya suara reot kursi yang mengisi kekosongan. Gitar yang menempel di dinding juga terlihat malas. Angin malam mendayu, kretek semakin cepat mendekati batas. Kiplik hendak membuka mulut, tetapi segera ditutupnya kembali. Seolah suaranya telah tertambat pada sesuatu yang tak bisa dirasakannya.

“Pilihan yang sulit. Aku harus keluar dari zona yang membuat nyaman ini. Lagi pula sudah lama aku memimpikan untuk berada di sana.” Noken memandang jauh.

Arkas merebahkan tubuhnya. Ditatapnya langit-langit ruangan yang seolah gelap. Dua ekor cicak saling berburu mangsa. Satu di antaranya terjatuh di samping Arkas ketika hendak mencapai sasaran. Cicak tersebut menoleh ke arahnya dengan tatapan iba. Kemudian pergi dan merayap kembali.

Gales mengembuskan napas panjang. “Aku pernah berkata jika suatu saat satu per satu di antara kita pasti akan pergi. Kelak kita akan hidup masing-masing. Menyetir sendiri bahtera hidup. Sauh yang selama ini ditancapkan perlahan diangkat kembali. Tetapi yang aku sesalkan ... mengapa secepat ini?”

“Adalah hal yang paling membencikan.” Kiplik menamatkan kreteknya, membuang sembarang.

Ponsel Noken berdenting, menggetarkan saku kemeja. Bukan nada panggilan atau pesan singkat, melainkan alarm keberangkatan. Ketiga sahabatnya menoleh. Pandangan mereka sedikit sayu seakan menolak peringatan. Noken segera mematikan ponselnya sembari berkata, “Dua jam lagi.”

Tiga tahun sudah Noken memperjuangkan hasratnya untuk bisa melanjutkan sekolah kesenian di salah satu kampus terbaik di Yogyakarta. Selama itu pula, dua kali tes masuk, dia selalu terbentur. Mentok. Keahliannya dalam memainkan gamelan tak cukup membuatnya lolos.

Tetapi dia bukan manusia patah arang. Dia melatih skil keseniannya yang lain: memainkan beragam alat musik, mengasah skil tarik suara, dan mengolah kuas menjadi gambar yang indah. Usaha kerasnya menemui titik terang sewaktu mengikuti tes kembali empat bulan lalu. Tembok yang selama ini menghambatnya akhirnya jebol.

Bagai ombak di pantai yang diam menghanyutkan, bagi sahabat-sahabat Noken, kabar tersebut menandakan dua hal: mereka senang atas keberhasilan dan sekaligus muram akan merasakan perpisahan.

“Kita masih bisa berkomunikasi melalui telepon dan video call,” kata Noken lirih.

Teknologi memang menyederhanakan segala sesuatu termasuk jarak. Tapi teknologi tidak bisa membangun rasa. Enggak ada tujuan yang hendak dibicarakan nanti ketika video call. Berbeda ketika bergurau langsung dengan bertatap di layar. Kau Denting waktu terus melaju.

Meninggalkan detik demi detik hal ramu tak berguna. Noken mengalihkan pandangan ke arah Arkas yang masih terbaring di atas kursi kayu panjang. Arkas tak merespon banyak obrolan sahabat-sahabatnya. Sebagai seorang pemikir, dia selalu mengamati keadaan kemudian melancarkan omongan.

Begitu pun dengan Kiplik, pemuda berambut cepak itu juga banyak diam. Selayaknya sahabat, dia mengerti satu demi satu di antara mereka pada akhirnya melanglang.

“Kas ....” Noken memanggil lirih Arkas.

Arkas masih diam. Dia melihat jam tangan. Waktu keberangkatan sahabatnya sebentar lagi.

“Sejak kecil kita tumbuh bersama, melewati banyak rentang peristiwa. Tak ada alasan atau juga terlalu bodoh jika aku menghambat kepergianmu untuk menjemput mimpi. Aku baru sadar jika kami adalah bagian dari mimpimu. Sudah sepatutnya kami mendukung untuk mewujudkan mimpimu yang lain,” kata Arkas sembari memandang Noken.

“Ini saatnya. Manfaatkan kesempatan yang menghampirimu ini, Kawan,” tambah Kiplik. Dia memang lebih suka berbicara satu dua kalimat.

Selepas itu hening cukup lama. Tak ada yang mereka perbuat banyak di masa perpisahan. Gales yang sedari tadi paling lantang, kini sedikit mereda. Dialah orang yang paling tidak rela jika Noken pergi jauh. Beberapa kali dia selalu mengelak jika Noken membahas tentang keberangkatannya.

Noken kembali melirik jam. Satu jam lagi.

Sebenarnya ini bukan keputusan mudah buat Noken. Dia menggapit dua hal paling penting dalam hidupnya. Sahabat yang selalu menemani kala dia jatuh, gagal, dan berhasil membuatnya bangkit dengan napas baru. Mimpi yang menjadi salah satu titik paling besar di antara titik-titik kecil dalam sebuah garis hidup dan harus dia tuju. Dua hal yang secara bersamaan harus dia rajut menjadi untaian indah dalam mengarungi hidup.

“Aku harus pergi,” ucap Noken.

“Tunggu!”

Arkas beranjak menuju salah satu sudut di ruangan itu. Dia mengambil sebuah pigura yang berisi foto mereka berempat saat sedang duduk menghadap sunset di pinggir pantai. Tampak gambar dari belakang, mereka saling rangkul. Menandakan bahwa hubungan persahabatan saling rekat. Tetapi kini satu di antara mereka harus menjemput sunset itu. Menghadapi kehidupan baru nun jauh dari sahabat-sahabatnya.

“Ini tidak mewah dan hanya dibingkai dengan pigura sederhana. Aku harap, foto ini akan kau pasang di kamar kosmu nanti. Agar kau selalu ingat, jika kau masih memilki sahabat yang akan melindungimu saat kau sedang kesusahan, yang siap berlumur darah membelamu, yang tegar berdiri di depanmu kala kau dalam bahaya.

“Kalau nanti kau punya kawan baru, lalu kau mulai akrab. Lindungi juga kawanmu itu. Dan jika di satu kejadian, kawanmu berbuat salah, kau harus kasih tahu kesalahannya. Jika perlu pukul dia sampai tersuruk ke tanah. Kemudian ulurkan tanganmu untuk membantunya berdiri lagi. Tetapi ingat, jangan pernah meninggalkan dia. Bagaimanapun juga, dialah yang akan berbalik melindungimu di sana,” tandas Arkas seraya menyerahkan foto itu.

Dipandanginya foto itu oleh Noken. Sebuah foto yang seakan berbicara kepadanya bahwa sahabat pasti akan selalu mendukung kesuksesan satu sama lain. Menyatu dalam ikatan keharmonisan. Mata Noken berkaca-kaca. Tanpa disadarinya, Kiplik dan Gales sudah berada di sampingnya.

“Ingatlah hari ini! Ingatlah sewaktu kita tumbuh bersama menjadi anak yang bandel, yang setiap sore dijewer Pak Ustaz karena mengusili teman yang lain sedang mengaji. Saat dulu kita sama-sama berlari dikejar anjing karena saking isengnya kita.”

“Ingatlah kala kita pernah merasakan manisnya kemenangan panjat pinang. Kita berempat yang kata orang-orang tak punya bakat berhasil menepis segala anggapan. Di pucuk tertinggi itu, kau mengibarkan bendera merah putih dan melemparkan hadiah ke arah penonton. Kau memberikan para pengejek kita dengan kemenangan mulia.”

“Ingatlah tepat di ruangan ini, kau berhari-hari mengurung diri. Saat kau ditinggal pacarmu yang brengsek itu. Dia lebih memilih lelaki lain dengan meninggalkan lelaki pintar sepertimu. Sialan. Mengapa aku masih kesal ketika mengingat kejadian itu. Ingatlah saat kau sedang kesepian di tempat jauh nanti, kau masih memiliki sahabat seperti kami yang sudah putus urat malunya. Yang rela melakukan hal bodoh demi membuat satu sama lain senang.”

Kiplik, Gales, dan Arkas bergantian berbicara.

“Dan ingatlah! Kami selamanya akan menjadi sahabatmu.” Kali ini mereka bertiga serentak berujar.

Noken langsung merangkul ketiga sahabatnya tersebut. Kenangannya tentang masa-masa bersama sahabat telah terpatri ke dalam ingatan paling dalam. Tak pernah lupa dia pada setiap peristiwa yang pernah dilalui bersama.

“Selamanya sahabat,” ucap Noken sedikit sedikit terbata.

“Selamanya sahabat,” sahut ketiga sahabatnya yang lain.

Perlahan mereka berempat melepaskan rangkulan. Satu demi satu resah perpisahan mulai gugur dan nanti akan digantikan kepul kerinduan. Noken mengambil tas, melangkah keluar. Dia sejenak berhenti, memalingkan wajah ke belakang. Di sana, ketiga sahabatnya melambaikan tangan.

Noken tersenyum lantas mengembuskan napas panjang nan berat. Lima detik kemudian, Noken telah hilang di balik pintu dan bersiap menuntaskan mimpi yang sudah menunggunya.

 

Penulis: Rizky Hadi lahir di Tulungagung, 1999. Dia sekarang masih aktif sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Tulungagung. Bisa menghubungi lebih lanjut di: rizkikhabibulhadi@gmail.com.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.