Jelita Dalam Kepala
Untuk pertama kalinya aku tidak lagi disilaukan teriknya matahari pagi, untuk pertama kalinya aku tidak lagi bangun tergesa-gesa dari singgasana kasurku, dan untuk pertama kalinya aku tidak bisa lagi menyapa siapapun yang kulihat bukan saja di pagi hari tapi sampai waktu yang tidak ditentukan.
Debu bertebaran mengetuk-ngetuk jendela mengisyaratkan elemen udara yang cukup gembira menari-nari, membuat desir ranting dan daun melambai-lambai, ku selipkan setengah kepalaku di daun jendela menutup mata,merekahkan garis tipis di bibirku sebagai bentuk penghormatanku menyambut hari yang kuharap tidak akan sia-sia. "Selamat pagi Damais.."
Rekahan senyumku semakin melebar mendengar suara nan merdu itu, "Selamat pagi Jelita.. Apakah ada cerita hari ini? aku ingin sekali mendengar bagaimana kisah selanjutnya tentang anak laki-laki bernama camar itu", "Baiklah.. tapi untuk saat ini kau harus membersihkan dirimu dulu", "Oke.. tunggu aku yah". Jelita! aku tidak tahu berapa usianya, aku tidak tahu apakah tingginya sama denganku? dan sedihnya aku tidak bisa melihat rupanya.
Aku hanya seorang Damais yang beruntung mempunyai teman seperti Jelita. Setelah kejadian 7 tahun yang lalu aku kehilangan banyak hal di hidupku mulai dari adikku, mataku, kemudian 3 tahun lalu aku kehilangan ayahku. Tapi ada satu hal yang membuat jiwaku tetap berdiri kokoh, dialah sahabatku Jelita!
Sahabat yang aku tidak tahu dari mana datangnya tapi sejak ayahku pergi ke perjalanan tanpa kepulangan, jelita yang menemaniku, mengusapkan bahuku yang rapuh, dan satu-satunya hal di dunia ini yang begitu nyata tanpa wujud untuk kurasakan. Aku kehilangan kedua retinaku ketika kecelakaan 7 tahun lalu bersama adikku.
Beruntungnya nyawaku masih menetap pada ragaku, tapi adikku tidak akan pernah kembali lagi, hari itu adalah hari terakhir aku melihat semuanya, ibuku, adikku, ayahku, dan semuanya sebelum aku terbangun dan mataku lumpuh tidak berfungsi lagi. Duniaku gelap tanpa apapun, beruntung masih ada ayah dan ibuku yang bisa menopangku.
Mereka membantuku untuk terbiasa dengan kegelapan, tapi itu semua tidak bertahan lama bagiku, 3 tahun yang lalu ayahku meninggal dalam perjalanan tugasnya sebagai reporter. Aku merasa orang tersial di dunia ini, setelah ayahku pergi kondisi ekonomi keluargaku menjadi sangat sulit, ibuku harus menjadi ibu tunggal untuk membiayai hidup kami dan juga pengobatanku dan harus bekerja keras.
Akhirnya rumah kami di jual dan ibu membawaku pindah ke rumah baru yang lebih kecil, semua ini tidak masalah bagiku toh aku juga tidak bisa melihat keadaan apapun yang ada.
Ku ingat sekali di ambang cakrawala yang menyingsing keperaduannya suara perempuan yang merdu menyapaku di balik jendela, aku hanya diam karena tidak tahu itu siapa tapi dia terus berbicara memperkenalkan bahwa namanya adalah Jelita, dia bahkan dengan begitu saja tahu namaku, uniknya dia bersikap seolah aku dan dia adalah teman yang sangat akrab dan seperti itulah sampai hari ini hari-hariku penuh cerita bersama jelita.
"Jelita aku sudah siap, ayo mulailah bercerita" kuperbaiki duduk ku diatas kursi di dekat jendela tempatku selalu bersama dengan jelita. "Baiklah kita mulai, kau masih ingatkan Damais potongan cerita seminggu yang lalu? ".
"Tentu saja.. aku sangat ingat bagaimana si Camar melarikan diri dari kurungan orang jahat itu, sekarang giliranmu.. aku sudah menunggu kelanjutan ceritamu". "Oke.."
Setelah Camar berhasil membuka rantai di kedua kakinya ia mengendap-endap untuk melarikan diri dari ketiga penjahat yang sedang tidur pulas, tapi anjing penjaga mengendus bau si Camar dan menggonggong sangat keras sehingga membangunkan para penjahat, lalu mereka melihat camar yang berlari keluar kemudian mereka mengejar "Hei jangan lari, dasar anak nakal. Cepat kita kejar dia kalau dia hilang kita bisa rugi" pekik si penjahat.
Kemudian camar terus berlari dan memasuki hutan tetapi tidak bisa menghindar dari kejaran penjahat itu, hingga akhirnya sore menyingsing menjadi malam yang menggelap.. Camar mulai merasa takut karena berada di tengah hutan.. samar-samar masih terdengar suara si penjahat yang memanggilnya sambil mengumpat, tapi kegelapan membuat Camar tidak bisa melihat jalan dan merasa ketakutan.
Tiba-tiba suara auman yang menggelegar terdengar menyusul suara teriakan minta tolong dari si penjahat, camar sangat ketakutan dan ia tahu kalau suara itu pasti adalah binatang buas dan telah memakan penjahat itu. Ia pun terduduk sendiri di tengah hutan yang sangat gelap dan lembab, ia menangis memeluk lututnya karena sangat kedinginan, tiba-tiba dia ingat yang pernah dikatakan sahabatnya bahwa jika kau ketakutan dan sangat takut maka ucapkanlah
'Temanku ada dimanapun, dan dia akan menolongku' sambil menutup mata, camar mengucapkan kalimat itu dengan gemetar berulang kali sambil menutup mata.. Tiba-tiba muncul lah bulan dan bintang bertaburan terang di langit, membuat jalan di tengah hutan menjadi terlihat dengan jelas.
Camar berlari menyusuri jalan yang disinari rembulan terang dan akhirnya menemukan jalan keluar hutan.. ". "Wah beruntung sekali si camar, aku penasaran siapa yang menolongnya yah? ". "Mau aku beritahu damais? bagaimana memunculkan bulan yang bercahaya terang itu?". "Tentu saja.. beritahu aku.. ".
"Bulan itu muncul karena keyakinan dan keberanian camar di dalam hatinya, ia percaya bahka dimanapun berada akan ada seorang teman yang menolongnya". "Kau benar Jelita, sama seperti Camar, aku juga punya cahaya dalam gelapku, itu kau jelita.. Terimakasih selalu menemaniku". "Tentu saja damais.."
Hari ini aku merasa cemas-cemas harap menunggu ibuku pulang dari rumah sakit, kemarin dokter yang dari rumah sakit menelfon bahwa daftar tunggu calon donor retina sudah ada untuk ku, aku ingin sekali kegirangan tapi takut kalau-kalau semua ini hanya harapan palsu yang sudah berulang kali terjadi.
Untuk mengurangi rasa gugupku menunggu kabar itu aku duduk di tepi jendela dan berharap Jelita akan datang, dan diapaun selalu datang setiap aku memikirkannya.. entahlah ini mungkin sedikit aneh. "Ada apa damais? kenapa kau sangat gelisa?".
"Aku sedang menunggu kabar dari ibuku, semoga saja kali ini aku benar-benar bisa menjalani operasi, aku sangat ingin kembali melihat Jelita, aku sangat ingin melihatmu dan berlarian keluar bersamamu" entah kenapa Jelita terdiam dan kurasa dia tidak senang mendengar apa yang ku ucapkan.
"Kenapa Jelita? kenapa kau diam?". "Aku senang mendengarnya Damais, dan aku selalu berdoa untukmu agar kau segera bisa melihat kembali, jangan pernah menyerah Damais, tetaplah tersenyum". "terimakasih.. Aku tahu kau adalah satu-satunya sahabatku.
Dan kabar yang kutunggu akhirnya datang, ibuku pulang membawa dokumen-dokumen dari dokter dan 2 hari lagi aku akan segera menjalani operasi, entah siapa yang begitu berbesar hati dan berjiwa malaikat bersedia memberi retina matanya untuk ku, aku berharap setelah melihat kembali keluarga pendonor adalah orang kedua yang ingin kutemui setelah Jelita.
Saat ini aku sudah berbaring di ranjang rumah sakit dan sebentar lagi jadwal operasiku hampir tiba, ibuku dan dokter selalu berpesan untuk tidak usah takut dan menenangkan diri, tapi yang menggelisakanku adalah dimana jelita? 2 hari yang lalu adalah hari terakhir aku bercerita dengannya, setelah itu sekeras apapun aku memikirkannya dia tidak pernah datang.
Aku sempat bertanya pada ibuku apakah ada teman yang mencariku? Tapi ibuku bilang tidak pernah ada yang mencariku, tapi aku baru ingat Jelita pernah berpesan jangan katakan apapun tentangku pada orang lain dan biarkan kita menjadi teman rahasia, selama ini memang aku tidak pernah memberi tahu siapapun tentang Jelita karena aku tidak punya siapapun setelah ibuku berangkat pagi untuk bekerja dan pulang di malam hari hanya Jelita temanku berbicara.
Akhirnya operasiku berjalan lancar, setelah beberapa hari akhirnya hari ini perban mataku akan dibuka, jantungku deg-degan bukan main, aku takut banyak hal, tapi aku selalu ingat besar keinginanku melihat wajah jelita dan rasa takutku hilang. Perlahan kubuka kelopak mataku dan kukernyitkan dahi karena silau yang begitu kuat, tapi akhirnya kulihat dunia yang begitu berwarna.
Kulihat ibuku yang sedang menitikkan air mata bahagia, ada dokter dan perawat yang menyapa dan tersenyum padaku tapi yang terus kuharapkan dalam benakku adalah kehadiran Jelita dengan senyumnya, aku sangat bahagia bisa melihat tapi kecewa karena Jelita tidak pernah lagi datang menemuiku.
Setelah beberapa hari pemulihan akhirnya aku bisa pulang ke rumah, sepanjang perjalanan aku terus memikirkan suara Jelita, di dalam kepalaku terngiang-ngiang gelak tawanya, suaranya saat menyapaku, tapi aneh sekali bagiku kenapa dia tidak pernah lagi datang padaku? Bahkan setelah aku melihat.
Sekarang aku sudah ada di rumah, ibuku langsung menyuruhku untuk minum obat dan beristirahat di kamar, awalnya aku enggan untuk masuk kekamar, karena merasa sangat marah pada jelita yang tidak menemuiku, tapi aku berfikir jikalau saja jelita membuat sebuah kejutan untuk ku di dalam kamar?
Aku melangkah membuka pintu namun tidak ada siapapun yang kutemui, entah kenapa aku merasa sangat di rundung sedih, aku terus berteriak memanggil nama Jelita, hingga membuat ibuku kaget "Damais, kamu kenapa? Siapa yang kamu cari?".
"ibu.. coba ibu ingat apakah selama aku di rumah sakit benar tidak ada yang mencariku? Apakah tidak ada seorang anak perempuan seperti aku yang duduk di jendela kamarku? coba ibu ingat, mungkin saja ibu lupa". "ibu tidak mengerti apa yang kamu katakan, Damais!"
"Mungkin kau yang lupa bahwa semenjak kebutaanmu kau tidak pernah mau bertemu siapapun, bahkan setelah kita pindah kesini kapan kau punya teman? Dan bagaimana temanmu itu menemukanmu sementara kau sibuk mengurung diri di kamar yang gelap, bagaimana ada seorang teman di sekitarmu sementara yang kau lakukan hanya duduk di tepian jendela sambil tertawa dan berbicara entah pada siapa.. Ibu bahkan sering merasa takut melihatmu".
Yang diucapkan ibuku membuatku terpukul, aku merasa isi kepalaku jungkir balik, aku hanya diam dan berusaha mencerna, seperti apa sebenarnya keadaanku selama ini?. Aku berdiri menggapai tepi jendela, kulihat sebuah buku bertulisan braille yah aku ingat sejak aku tidak bisa melihat ayahku memberi buku ini dan setiap malam selalu membacakannya untukku.
Aku ingat betapa bahagianya aku ketika bersama buku ini, aku ingat bagaimana aku selalu menanti ayahku untuk membacanya bersamaku. Tapi waktu itu karena ayahku harus melakukan perjalanan untuk pekerjaannya dia berjanji akan membacakan akhir ceritanya bersamaku saat dia sudah kembali.
Tapi sampai hari ini aku tidak pernah tahu akhir dari buku itu karena ayahku yang tidak pernah kembali. Kesedihanku yang mendalam membuatku lupa pada buku itu, dan akhirnya hari ini kubaca buku-buku itu dengan memejamkan mata dan meraba kata perkata.
Ternyata disanalah khayalanku berada, ceritaku tentang kehadiran Jelita di kehidupanku yang gelap ternyata adalah cerita dari seorang anak laki-laki bernama Camar yang mempunyai sahabat seorang puteri bulan bernama Jelita. Saat itu suara-suara Jelita terus menggema dalam kepalaku, kisah camar yang ia ceritakan padaku adalah akhir dari buku itu, buku yang menjadi kenanganku bersama ayahku.
Buku yang berjudul Jelita si Puteri Bulan, buku yang tenggelam dalam lorong gelap bersamaan dengan kepergian ayahku, aku faham sekarang! Bahkan Jelita adalah suara sunyi dalam kepalaku, cahaya di gelapan dalam kepalaku. Aku selalu mengenangmu jelita! dan untuk bertemu denganmu aku hanya perlu memejamkan mata dan tersenyum, karena kau ada dalam kepalaku, suaramu terekam baik dalam benakku, Jelita dalam Kepala.
Penulis: Nur Asisah, mahasiswa Teknik Pertanian Universitas Negeri Makassar, aktif di Green Youth Movement.