Kalung Terakhir Pemberian Ibu
Bunga-bunga kamboja mulai berguguran di sebuah tempat pemakaman umum. Aku berjalan membawa sebuket bunga mawar putih kesukaan ibu. Dengan hati yang sedikit pilu, aku mencoba menguatkan diriku untuk tetap tenang.
Sesampainya di makam ibu, aku duduk di sebelah makamnya memegang nisan dan mengelus nisan yang bertuliskan nama ibuku. Ku sandarkan kepalaku di nisan ibu, berharap ini semua adalah mimpi yang nantinya aku terbangun, aku dan ibu sudah ada di rumah. Seperti biasa kami bercanda dan tertawa bersama.
Setelah cukup lama menyandarkan kepalaku di nisan ibu. Ku lihat rumput-rumput liar dan daun-daun kering di makam ibu. Aku mencabutnya dan membersihkan semuanya, aku tidak peduli tanganku kotor yang aku pikirkan hanyalah makam ibu harus terlihat bersih.
Ku taruh buket bunga mawar diatas makam ibu, ku pandangi makam ibu, seketika air mataku sudah berada di ujung, aku sungguh tidak bisa menahannya kini menetes membasahi pipiku. Rasa sakit dan hancur saat aku melihat apa yang sedang terjadi dihadapanku.
“Ibu Sisi kangen ibu. Ibuuu….”
Aku benar-benar hancur. Tangisan yang semula lirih kini menjadi keras, sungguh aku tidak peduli dengan orang-orang di sekitar yang melihatku seperti tidak waras.
Aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Aku rindu. Aku rindu ibu. Kenapa ibu pergi secepat ini? Kenapa? Apa karena aku anak yang nakal hingga akhirnya ibu pergi meninggalkan aku untuk selamanya?
Aku tidak mengerti, kenapa begitu cepat ibu pergi. Aku belum siap jauh dari ibu. Belum siap bu, aku merasa kehilangan teman, tempat aku berkeluh kesah dan sosok ibu yang menyayangiku.
“Ibu.. pulang bu, Sisi kesepian tanpa ibu di rumah. Ayo ibu pulang. Pulang bu”
Aku yang masih berusia 12 tahun. Aku merasa masih dini untuk ditinggal seorang ibu yang selama ini selalu ada bersamaku. Di setiap hari-hariku, ibu yang selalu sabar menghadapi sifatku, ibu yang selalu tersenyum dengan senyuman manisnya ketika aku merengek meminta sesuatu selalu dijawabnya dengan kata-kata yang membuatku luluh untuk tidak merengek lagi. Ibu yang menemani di setiap senang dan sedihku. Kini hanya kenangan.
Ku sandarkan lagi kepalaku di nisan ibu sambil memejamkan mataku berharap ibu datang menemuiku. Ku rasakan tangan yang menepuk bahuku, aku tersenyum dan bangun dari tidurku.
“Ibuuu…”
Ternyata saat aku menengok ke belakang. Bukanlah ibu melainkan temanku, Fera. Aku sedikit kesal dan ingin marah dengannya karena sudah membangunkanku dari mimpiku utnuk bisa bertemu ibu. Tapi ku urungkan niatku untuk marah padanya.
Fera adalah teman dekatku, aku dan Fera selalu kemana-kemana berdua. Fera sangat baik padaku begitupun keluarganya. Aku dan Fera sudah seperti saudara, rumah kami tidak begitu jauh. Aku tahu Fera datang untuk menjemputku. Aku tahu ayah yang menyuruhnya.
“Si, pulang yuk. Sudah sore.”
”Kamu pulang saja. Aku masih mau di sini bersama ibu”
“Ayo pulang Si.. ini sudah sore”
Fera yang berkali-kali membujukku untuk pulang sama sekali tidak aku hiraukan. Aku hanya ingin di sini bersama ibu. Aku rindu ibu. Aku rindu. Air mata yang terus mengalir tiada hentinya, entah seperti apa mukaku saat ini dengan air mata yang terus membasahi wajahku. Aku merasakan sedikit pusing namun ku tahan rasa pusing itu.
“Si.. ayo pulang. Kasian ayahmu mencarimu. Kasihan dia sendirian”
“Tidak Fera, aku tidak mau pulang. Aku mau bersama ibu. Kalau kamu mau pulang, ya sudah pulang saja jangan ajak aku. Aku ingin di sini. “
“Si…ada beberapa hal yang kita tidak pernah bisa tau apa yang akan terjadi di dalam hidup kita. Kita hanya bisa ikhlas menerima dan berdoa yang terbaik. Sisi, mungkin ibumu sudah tiada tapi bukan berarti kamu harus terus-menerus seperti ini.
Apakah kamu tidak kasihan dengan ibumu kalau tahu kamu menangisinya? Ibumu akan ikut sedih kalau kamu seperti ini terus Si. Sisi, ada kebahagiaan yang harus kamu bahagiakan saat ini yaitu ayahmu. Apakah kamu juga tidak kasihan melihat ayahmu sedih karena kesepian? Bukan hanya kamu yang terluka dan sedih tapi ayahmu pun juga.
Sekarang yang hanya kamu lakukan adalah memberikan doa yang terbaik untuk ibumu di sana. Ayo pulang Si, kasihan ayahmu menunggu sendirian.”
Mendengar ucapan Fera, tangisanku yang sudah mereda tadi kini berubah keras. Semakin lama semakin keras hingga rasanya menyesakkan dadaku. Sungguh rasanya aku tidak bisa bernafas dan tiba-tiba kepalaku pusing dan ku lihat sekelilingku mulai meredup.
Aku mulai membuka mataku perlahan, ternyata aku sudah ada di kamarku. Ayah yang berdiri di sampingku terlihat sangat senang ketika aku sudah sadar karena pingsan beberapa jam yang lalu, aku lupa tepatnya jam berapa karena aku tidak melihat jam saat aku pingsan tadi.
Tiba-tiba aku terisak, tangisanku semakin menjadi-jadi. Semakin keras semakin keras. Ayah merangkulku dan terus berusaha menenangkan agar aku tenang. Aku merasa mulai tenang dan ayah menawarkanku untuk makan atau minum, tapi tak kuhiraukan. Aku memeluk ayah dengan sangat erat.
“Ayah maafkan Sisi, maaf sisi belum bisa menjadi anak yang baik buat ayah sama ibu. Maafkan Sisi ayah kalau Sisi nakal. Maafkan Sisi yang selama ini membuat ayah khawatir. Maafkan Sisi ayah.”
Ayah tersenyum dan berkata “putri ayah itu baik, putri ayah itu tidak pernah nakal. Ayah dan ibu sangat menyayangi Sisi, sangat sayang. Ayah mengerti kenapa kamu seperti ini, Nak. Ayah paham apa yang terjadi denganmu karena ayah merasakan apa yang kamu rasakan.
Ayah khawatir karena ayah sayang padamu bahkan melebihi sayang ayah pada diri ayah. Ayah tidak mau putri ayah menjadi pendiam dan pemurung. Ayah tidak mau kamu seperti itu, putri ayah yang dulunya ceria kini berubah menjadi pemurung. Ayah tidak sanggup melihat itu.
"Nak. Ibumu juga sangat menyayangi Sisi, ibu juga pasti tidak mau melihat putri kesayangannya bersedih.Ibumu mau kamu tumbuh dewasa menjadi gadis yang ceria dan tidak pernah terlihat murung dan bersedih. Sisi, putri ayah sekarang dengarkan ayah ya, yang perlu Sisi lakukan adalah mendoakan yang terbaik untuk ibu. Sisi tidak mau kan ibu sedih?.”
Aku semakin memeluk ayah dengan erat, begitu pun ayah yang memelukku dan mencium kepalaku. Setelah cukup lama, ayah memintaku untuk duduk di kasur dan menunggunya kembali dari kamarnya.
Ayah memberikanku sebuah kalung yang cantik, dia berkata ini adalah kalung ibuku, yang ibu berikan kepada ayah untukku sebelum ibu meninggal. Ayah memakaikan kalung itu ke leherku.
“Cantik, putri ayah tambah cantik”
Aku tersenyum dan mengucap terima kasih yang tiada hentinya kepada ayah. Aku bersyukur memiliki ayah seperti dirinya. Aku bersyukur menjadi anak ayah dan ibu yang sangat sayang padaku, selalu memperhatikanku. Seharusnya aku bersyukur masih memiliki ayah di hidupku, yang nantinya akan merawat dan menjagaku dengan sepenuh hatinya.
Aku dan ayah makan malam bersama, kali ini ayah memasak makanan kesukaanku yaitu nasi goreng dengan telur setengah matang. Meskipun rasanya tidak hampir sama dengan masakan ibu.
Tapi aku lahap memakannya karena ayah sudah capek-capek memasakannya untukku, masa iya aku tidak memakannya. Selesai makan, ayah menceritakan cerita-cerita lucu padaku yang membuat perutku sakit saat harus tertawa terus-menerus.
Malam hampir larut, ayah memintaku untuk segera tidur agar tidak kesiangan sekolah besok. Ayah mengantarkanku ke kamarku dan mengucapkan selamat malam untukku juga tidak lupa mencium kepalaku. Ayah berlalu pergi ketika dirinya merasa aku sudah tidur.
Namun aku tidak benar-benar tidur, hanya memejamkan mata saja di depan ayah biar ayah tidak khawatir. Aku tidak mau ayah khawatir lagi, sudah cukup selama ini aku membuatnya khawatir dengan sikap diam dan murungku. Aku ingin bisa membuat ayah tersenyum seperti sedia kala, aku tidak mau jika ayah selalu mengkhawatirkanku. Sudah cukup.
Ku genggam kalung yang tergantung di leherku. Aku pejamkan mataku dan berharap semua akan kembali seperti sedia kala. Bukan untuk meminta ibu kembali hidup. Bukan. Tapi mengembalikan suasana ayah menjadi seperti dulu. Aku tau ayah masih sering sedih, tapi ayah terlalu pintar untuk menutupi kesedihannya dihadapanku.
Semakin lama semakin erat ku genggam kalung ibu, aku berdoa yang terbaik untuk ibu di sana. Dan akan selalu tiada henti nama ibu menjadi isi doaku. Tuhan bolehkah malam ini saja aku merindukan ibu. Sungguh aku merindukannya. Sangat merindukan pelukan ibu.
Aku menyayangi ibu. Ku cium kalung pemberian terakhir dari ibu karena itu satu-satunya barang yang kini ku miliki. Barang berharga yang ibu berikan di saat hari terakhirnya. Aku tahu meskipun ibu sudah tidak ada, ibu akan selalu ada dan akan tetap ada dibenakku, bersamaku kemana pun aku pergi. Aku merindukanmu ibu. Sungguh aku merindukan ibu. Tidak lama aku terlelap dan meneteskan air mataku.
Penulis: Risqy Putri Amalia, suka menulis. Dapat ditemui melalui Intagram @risqyputri_28