Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 31, 2020

Kamu Butuh Kasih Sayang

Bunyi gesekan jendela mulai terdengar satu persatu digiringi terpaan sentakan, sepasang tangan coklat, yang kulitnya sedikit mengering karena mulai menuai ditelan usia, terlihat mahir mengerjakan kebiasan menutup jendela sebelum senja benar-benar hilang dilahap malam. Dari balik sentakan jendela terdengar suara perempuan “ Ah sialnya aku.”

Tangan perempuan itu ancang-ancang terlihat akan melempar semua benda yang dapat digapai tangan kecil itu, tetapi tangan pendek berbaju kuning menekan tangan perempuan itu.

“Berhenti.”

Perempuan itu berusaha melepaskan tangannya dari tindihan. Ranjang bergoyang. Di atas ranjang terjadi pergumulan.

“Bah, kau mau memukul aku!” kata perempuan itu.
“Brengsek! Diamlah” kala si perempuan itu ditahan dengan perempuan lainnya. Lalu terdengar suara mulut yang terdekap,”Ihhhh...”

Tetapi, “Ihhhh” itu terputus, diganti suara perempuan pertama yang sedari awal memberontak dalam napas tersengal,”Sudah. Aku capek. Minggir dari depanku, Aku mau pergi.”

“Uhhh,sssshh tunggu dulu, kau kenapa?”. Paksa perempuan ini, yang sering disapa Nina.

Nina adalah keponakan dari Sari. Tapi, umur mereka hanya selisih 2 Tahun. Dia tinggal bersama Sari semenjak ayahnya meninggal. Kata ibunya Sari, ayah Nani meninggal karena sakit jantung, jadi. Sekarang, dia diasuh oleh orang tua Sari.

“Tidak mau, jangan tindih aku. Awas kau!”
“Bah!”
“Hari ini tidak ada nonton,” kata Sari.

Ranjang kembali bergoyang lagi.

“Ah, sudah, aku mau pergi,”Kala Sari mulai emosi.

“Alaaa, beritahu aku setelahnya itu kita nonton.”
“Sudah ku bilang, hari ini tidak ada nonton iflix, kepalaku pusing memikirkan nilai, uang kuliah yang belum selesai perkaranya, lembaga ntah kapan prokernya ( program kerja ) berjalan, dan intervensi dari dosen brengsek...”
“Kau yang brengsek! Sok jadi orang penting!”
“Bah!”
“Bah!” ejek Nani.
“Pokoknya aku mau pergi, membaca didekatmu, hanya mengganggu konsentrasiku”

Semuanya hening tidak ada lagi suara perdebatan, tinggal sisa suara napas yang terengah, Sari masih memikirkan kejadian tadi, disusul penglihatan Nani yang agak bingung melihatnya sesekali meniru raut wajah yang menyedihkan itu.

Sari turun dari ranjang, dan keluar dari areal kamar, kini dia berjalan menuju teras rumah.

“Itu cuman ancaman” Suara tak terdengar berputaran dikepala Sari. “Pasti dia memang mencari-cari celah agar aku diam. Pasti dia sedang bingung. Bajingan, pasti sedang mencari cara agar aku tetap diam. Tapi selain aku siapa sasarannya lagi? Baik, akan kuselidiki.

Jangan dia kira aku akan pasrah saja, jangan dia kira bisa menekanku seenaknya, lalu mengancamku sesuka hati, jangan dia kira aku bisa diberlakukan sebiadab itu, aku akan bertindak sesuai kemampuanku, ah dasar.”

Terkena matahari yang memijar merah, Sari mendekap bukunya didada, dia menekuri ujung kaki yang menendang papan. Sepuasnya matahari menciumi wajah gadis itu, wajah yang lonjong, dengan mata yang redup, bulu mata yang lentik, hidung yang mungil, dan bibir yang mengulum lunak-kering.

Sari mengalihkan tatapannya dari kaki pindah ke buku-bukunya. Lalu ke handphonenya. Dia menghela napas panjang. Mengeluh tanpa bisa didengar. Dia menatap handphonenya yang retak. Lantas, keseringan jatuh dan digunakan tanpa henti.

Sari terkaget lantaran ada suara klakson motor dibawah rumahnya. Dan, gadis itu menyumpahi Jepang yang telah memproduksi motor-motor yang merusuhi ketentramannya itu.

Pembicaraan dengan dirinya terputus. Sari terpaksa membalas panggilan mamanya ”Yahh!” Berusaha agar suaranya terdengar. Tapi, tak apalah. Mamanya tadi tidak bersuara lagi.

“Intropeksi diri. Yah, intropeksi diri. Aku telah mengintropeksi diriku. Apa salahku? Aku berusaha menyenangkan hatinya. Dulu dia sangat cepat membalas chat dariku. Sekarang, jangankan cepat, balas pun tidak sama sekali. Andai laki-laki sudah ku inisiatif mendesaknya tak perlu takut. Apalagi, malu-malu. Sebab, perempuan pun harus menunjukkan dirinya sejajar dengan laki-laki, berawal dari hal sepele gini, apa salahnya aku agresif? Ya, aku harus agresif. Lagipula usia ku memaksa itu.

Tapi, lain halnya dengan ini. Apa maunya ini dosen? Ahhh!”

Sementara itu, di kamar, Nani sedang menarik-narik rambutnya yang kusut sama halnya dengan Sari tidak terurus. Tapi, Sari lebih parah. Gatal, perlu shampo, baru kemarin dikeramas, binatang terkutuk, sejenis kutu pun tidak ada, kemarin juga sudah memakai sisir kutu, nyatanya, tidak ada. Kalau begitu, gatal ini bukan gatal fisik. Ini gatal psikis. Boleh jadi psikosomatis.

Gangguan-gangguan jiwa yang menggejala ke fisik, kalau begitu perlu konsultasi pada psikiater. Ah, kenapa harus konsultasi segala? Kenapa tidak berusaha konsultasi sendiri? Cari cara menyembuhkannya dengan mempelajari psikologi agama, kebetulan semester lalu Sari menekuni itu, biasa tuntutan perkuliahan.

Kegelisahan Sari, sekarang ini, perlu ditanggulangi secepatnya. Gejalanya kian mengganggu, sulit tidur, gelisah, keringatan tanpa adanya gerakan tubuh, dan banyak lagi tanda gangguan psikologis bisa juga psikologi agama. Ingin rasanya pacaran.

Tapi, pacaran tak bakal menolong lagi. Bahkan pacaran hanya menambah masalah. Nah, kalau begitu, gugurlah satu teori. Selama ini ada teori dikalangan mahasiswa: kegelisahan, frustasi, dan semacamnya akan hilang kalau diatasi dengan jalan pacaran. Tetapi, dengan pengalaman kemarin, Sari telah merasakan bahwa pacaran bukan jalan keluarnya, ihh dasar laki-laki.

Sebelum mendapati, dikejar berhari-hari, berminggu-minggu. Dan setelah itu berbalik mengejar, akhirnya kecemburuan meluap-luap, tidak boleh kesana kemari, harus izin dulu, ibarat dalam kelas izin dulu baru, boleh keluar, dan bilang “Karena aku peduli”. Wah, wah, wah, itu baru pacaran. Bagaimana kalau sudah menikah? Barangkali dia akan merantai kaki istrinya.

Membatasi gerak istrinya. Pasti perempuan akan kehilangan kebebasannya. Pasti si suami akan membuat dimensi ruang dan waktu istrinya dengan sangat ketatnya, lembaga pernikahan sungguh sangat rumit jika terlalu larut memikirkannya.

Sari menghirup udara sepenuh dada. Dan, rambutnya yang panjang terasa gatal lagi, dia menggaruk panas. Ah, kulit kepalanya sampai perih. Dia menghentikan garukannya, tetapi titik kepuasan belum tercapai. Rasa gatal masih mengambang.

Dia jengkel. Cuma, kepada siapa kejengkelan itu harus diarahkan?

Dia menatap Nani yang berada didepannya sedang menekuni bacaan, rupa-rupanya sejak tadi mengawasinya.

‘Kau kenapa?” Bentak Sari, risih karena diperhatikan.
‘Apa sihh?" Kata Nani

Nani tak acuh. Dia membalik-balik halaman bukunya yang berjudul 'Bunda' yang ditulis Maxin Gorki dan diterjemahkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Lalu menemukan tulisan yang dicarinya untuk menyinggung. Dan, membacanya dia berkata ”Kami kaum sosialis. Artinya, kami menentang kekayaan perseorangan, yang menyebabkan orang terenggut satu sama lain dan menciptakan adanya pertentangan-pertentangan kepentingan yang tak kenal damai... Akhlak seluruh rakyat menjadi rusak-dirusakkan oleh kebohongan, kepura-puraan, dan kejahatan”

“Ihh apakah, bisa tidak? Kalau baca tidak usah, keras-keras” Bentak lagi Sari.

Lanjut Nani mengabaikan Sari ”Kami berpendirian, masyarakat yang mementingkan kemuliaan perseorangan adalah bertentangan dengan perikemanusiaan dan memusuhi kepentingan kami. Dan, kami tak dapat menerima kepalsuan. Kami pun tak akan menerima sistem moral yang berkepala dua ini. Kami akan lenyappp...kan”

“Ku bilang sudah” Ada nada ancaman dari suara Sari.

Akhirnya suara Nani terhenti serta kaget mendengar bentakan Sari. Tapi, hanya berselang beberapa menit Nani dengan keras kepalanya, tetap melanjutkan bacaannya dengan suara lebih lantang.

“...Kami bermaksud hendak melangkah selangkah lagi ke depan ke arah kemerdekaan-kemerdekaan yang dapat memungkinkan kami mengambil kekuasaan di atas tangan kami sendiri....”

Sebelum meneruskan bacaan benda terbang ke kepala Nina.

“Aduhhh, ahh. Apa?” Sela Nani membalas bentakan Sari.
“Tidak usah membacanya dengan keras, aku sudah menamati buku itu, jadi tidak perlu seolah membaca dengan nada besar agar aku mendengarnya” Tegas Sari, dengan volume suara semakin besar dari sebelumnya.
“Sungguh, kau sudah membacanya?” Sarkas Nina. Raut wajah yang mulai jengkel.
“Bah!”
“Bah!”Ejek Nina.
“Pergi sana!” Kata Sari, mengusir Nina yang sedari tadi membuat rahangnya hampir jatuh.
“Buat apa baca buku, ujung-ujungnya toh tidak sejalan”
“Tau apa kau urusan ku”

“Ntahlah, pikir saja sendiri, berbicara denganmu sama saja berhadapan dengan hewan, masih ingat isi buku ini yang mengingatkan bahwa kita tidaklah bodoh dan kita bukanlah binatang yang hanya menghendaki perut penuh, yang tentukan kau hewan atau manusia, ingat! Akal” Sarkasnya.

Kepalanya mulai pening menerima ocehan seolah peduli itu, mulutnya mengumpat berisi semua jenis hewan. Kemudian muncul notif dilayar handphonenya dari salah satu temannya.

“Lagi sibuk?”
“Tidak?”

Sari mulai menjelaskan kejadian apa yang menimpahnya, dari intervensi dosen, hingga perdebatannya diwilayah kepengurusannya”

“Sari statusmu itu pengurus, ada masyarakat yang dinaungi untuk dapat informasi dan kebijakan, kalau kita tos-tosan dengan pimpinan yang memberikan kebijakan yang tidak sesuai, lantas apa bedanya kita dengan mereka sebagai pejabat kampus, pertegas dirimu, penting itu...”

Hanya dibaca saja tanpa digubris oleh Sari, lantaran Temannya sama saja dengan Nina. Dia pindahkan balas chat yang lain, sama saja topiknya, keburu telah dibaca oleh Sari, tidak ada pilihan, mau tidak mau Sari harus merespon.

“Saya usahakan” Balas Sari.
“Tidak ada yang melarangmu. Tapi ingat tidak ada intervensi dalam ketidakadilan”

Ah, hanya membuatku kaku, berhenti melayani mereka mending ku telusuri grup, bisa saja ada informasi penting.

Akhirnya Sari menemukan kalimat, yang menurutnya sangat keterlaluan, bertuliskan!

“Masa mudah lembaga kali ini, lemah”

Yah, sama saja semua tema pembahasan sama. Niat Sari, tapi percuma dijelaskan, hanya membuat Sari semakin terpuruk toh nyatanya tetap salah. Ralat, disalahkan.

Akhirnya Sari putuskan untuk berselancar di media lain. Ada akun yang lewat diberanda

“SAAT ADA BANYAK SUARA YANG MEMINTAMU UNTUK BERHENTI, COBA CARILAH SATU SUARA YANG MEMINTAMU UNTUK TERUS BERJALAN KARYA PUTRI MARINO”

Sari sejurus berpikir ”Bagaimana jika sebaliknya hanya satu orang yang menyuruhku berhenti dan semua orang menyuruhku tetap berjalan?”

Tak sengaja pertanyaan yang muncul dari hatinya bersuara dan terdengar oleh Nani yang baru saja masuk dibilik kamar.
“Ku pinjam kata pram, jangan bertanya, yang jawabannya sudah kamu ketahui sebelumnya” timpahnya.

Sari tercengang lantaran di depannya Wajah menjengkelkan itu muncul. Dan tak lupa, sindirannya itu.

“Tuhan!” rutuknya. Dan, dia berusaha lagi merenungkan kesulitannya. Memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan kerusuhan hatinya belakangan ini, dia menuliskan:

1. Jangka pembayaran UKT semakin dekat, tapi tidak bisa lakuin apa-apa.
2. Nilai tidak ada kejelasan, padahal pengimputan nilai sudah mepet.
3. Urusan-urusan organisasi mahasiswa intra-universitas.

Sari masih mencari kesulitan lainnya, tetapi cuma itu yang terumus. Cuma ini? Dia tak percaya. Kenapa begini sedikit? Padahal gangguan terhadap pikirannya hampir-hampir tak tertangguhkan.

Kalau memang benar cuma ada tiga persoalan, tentunya tidak terlalu sulit menanggulanginya. Soal pembayaran UKT yang kian dekat, nanti bisa dipikirkan. Jangan sekarang, Dilihat saja nanti kelanjutannya, siapa tau, bisa saja terselesaikan waktu dekat ini. Kalau tidak, ya bagaimana lagi. Tapi, yakinlah!

Lalu, nilai. Apa yang harus dilakukannya? Ah, dosen yang pemarah itu! Perempuan yang sebenarnya baik, tetapi statusnya membuatnya harus seangker itu. Bagaimana harus menghadapinya? Aku telah bosan berhadapan dengan dia. Literatur wajibnya sudah ku lalap, tetapi belum ada tanda kelulusan? Barangkali betul yang dibilangi Dodi, Budi, Tanti, atau siapa lagi.

Ini lagi bukan perkara matapelajaran. Pasti ada dendam tak kenal ampun. Makanya dia tidak memberikan kepastian nilaiku. Apa kesalahanku? Kapan aku menyinggung perasaannya! Ah, ah, ah, sulitnya menghadapi wanita usia empat puluhan. Biar nampak baik, tapi hanya untuk orang tertentu, ya tentulah ada gangguan jiwa juga. Dia tak bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ilmu psikologinya tak bisa dia gunakan.

Akan kuhadapi dosen itu, akan kutanya lagi apa kekuranganku. Kalau perlu, akan kutuntut agar aku dapatkan nilai. Ya, kalau perlu kugerakkan Himpunan Mahasiswa. Ntah, apakah itu, aku tak lagi bisa bersabar. Perlu dihadapi tekat keras.

Tentang urusan organisasi mahasiswa intra? Tentulah belum bisa ditinggalkan. Aku memerlukan posisi yang kuat. Siapa tahu aku harus menghadapi kekuatan-kekuatan yang tidak menyukaiku. Seperti dosen-dosen yang mempersukar nilaiku misalnya.

Bukan hanya untuk kepentingan pribadiku saja. Teman-teman mahasiswa juga membutuhkan pahlawan yang akan memperjuangkan kepentingan mereka. Cukup banyak dosen otoriter di kampus ini.

Jadi, begitulah persoalannya. Tak perlu lagi rusuh. “Kan begitu, Sari? Kau harus menyayangi dirimu. Jangan risih. Jangan gelisah.

Lalu Sari kembali menekuni bukunya. Kembali terbenam dalam keasyikan.

TAMAT

 

Penulis: Anha, mahasiswa Sosiologi Agama UIN Alauddin Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.