Keluarga Adopsi
"Bu, lihat besok hari kelulusanku!"
"Bu, Ayah tadi menelpon dan menanyakan kabar Ibu. Ayah bilang akan segera pulang."
"Aku menyayangi Ibu"
"Bu, aku beli teh hijau. Ayah bilang Ibu suka teh hijau."
"Bu, aku diterima di SMA yang aku dambakan."
"Bu, aku besok ke perpustakaan umum untuk mencari referensi laporan hasil pengamatanku. Aku besok pergi sendiri, jadi aku gak pulang terlalu siang."
Aku mengetuk pintu dan membuka pintu. Setiap aku berbicara, Ibu selalu mendesakku keluar kamar lalu membanting pintu. Selalu seperti itu.
Namun, aku tetap menemani Ibu dari balik pintu kamarnya. Belajar, makan, bahkan aku membeli kasur lipat agar bisa tidur di depan kamar Ibu.
Aku mencoba tak kesepian di dalam keremangan.
?????
Akankah berubah? Tuhan, ku mohon.
Krek…
Aku meletakkan senampan sarapan pagi di meja samping Ibu yang berdiri memunggungiku.
"Selamat pagi, Bu," ujarku.
Sunyi.
"Ayah akan segera pulang. Ibu pasti gak sabar, kan?"
Sunyi.
"Ibu akan berubah setelah Ayah datang, kan?" Aku menggegar pelan badan Ibu.
Ibu menepis kasar tanganku.
"Kenapa Ibu selalu begini? Berubahlah. Ada apa dengan Ibu? Sudah tiga tahun Ibu tidak berbicara dan hanya mengurung di kamar."
Ibu mendesakku keluar kamar hingga aku terduduk di ambang pintu. Aku bangkit.
"Bu, ingat, aku gak akan pernah meninggalkan Ibu. Aku akan menunggu Ibu sampai Ibu mau berbicara dan...Aku pengen lihat Ibu tersenyum. Aku pengen Ibu berubah...Aku peng"
"Kamu dan Ayahmu bukan siapa-siapa Ibu, kita bukan siapa-siapa," jerit Ibu.
Suara yang sudah lama tak terdengar.
"Akhirnya Ibu bicara. Aku gak peduli Ibu membentakku, tapi aku senang bisa mendengar suara Ibu."
"Ibu tidak peduli dengan kamu dan Ayahmu."
Brak…
Ibu membanting pintu.
"Bu, nanti aku pulang terlambat karena ada kegiatan klub dan belanja kebutuhan rumah," kataku dari luar kamar, "Aku selalu menyayangi Ibu dan tidak ingin kehilangan Ibu."
Hanya diam yang menjawab.
"Aku berangkat, Bu"
Sudah tiga tahun, sejak kejadian itu, Ibu mendekam di kamar dan membisu. Sejak Ayah kerja di luar kota dan aku hadir di rumah ini, Ibu menjadi seperti ini. Aku menunggu mereka kembali seperti dulu. Dan aku ingin mendengar suara Ibu lagi, lagi, dan lagi. Selamanya.
Semburat mentari pagi sungguh gemerlap. Kepermaian kota yang memanjakan mata. Deretan pohon hijau yang menghidupkan. Meskipun begitu, pandanganku gulita. Aku merasa hidupku hambar. Aku merasa ingin pupus dari dunia ini. Namun, aku berusaha tegar karena selamanya tak akan seperti ini, akan ada hak ku untuk bahagia kan datang.
Dua orang siswa junior datang ke ruang klub kami.
"Rio dan Gavin, selamat atas juara 2 video editing."
"Selamat juga buat Ocha dan Reina atas juara 1 lomba cerpennya, ya."
Mereka rela datang ke ruang klub kami hanya untuk mengucapkan selamat, lalu berpamitan pulang.
"Selamat juga untuk Ayumi, nilai teorimu sempurna di olimpiade kimia kemarin lusa," ucap Gery.
"Sama-sama, aku bakal berusaha lagi."
Semua lebih mengenal mereka dibanding aku.
"Gak dikenal bukan berati gak pantas. Daripada pusing mikirin itu mending kamu berusaha terus. Terkadang orang memang lebih bangga dengan nilai dibanding proses." Gavin, ketua klub menepuk pundakku.
"Yap, semua ini berkat usaha kita bersama membangun klub ini. Ingat, semua tanpa terkecuali." Ocha bersilih ganti memandangi mereka semua.
Mataku berbinar, seakan mereka tahu apa yang aku pikirkan. Di sini kami saling menguatkan.
"Waktunya pulang, besok jangan lupa bersih-bersih ruang klub," teriak Gavin.
"Oke!" sahut kami.
Klub prestasi. Dibentuk sejak aku kelas 10. Klub yang tidak populer di sekolah kami, tapi tetap berkiprah untuk membanggakan nama sekolah tercinta. Klub ini beranggotakan lima orang. Gavin lah yang berkeinginan keras menyatukan murid-murid yang berminat mengikuti kompetisi di bidang akademik maupun non akademik, tapi tidak dipilih oleh guru. Hanya Reina anggota dari kelas 10, sisanya kelas 11. Kami memang golongan murid biasa yang tidak sepopuler kelas paralel, tapi kami pantas untuk mengikuti berbagai lomba.
Krek…
"Akhirnya sampai di rumahmu." Ocha melendeh di atas sofa.
"Aku gak nyangka kalau Mamamu…." Aku duduk di samping Ocha dengan kata-kata yang tertahan.
"Sejak aku SMP, Mamaku bekerja sebagai karyawan tetap di salah satu perusahaan. Akhir-akhir ini Mama jarang tidur, dia sering mengeluh dadanya sakit. Pagi harinya Mama sudah….'' Ocha merunduk. "Padahal pagi itu, aku mau periksain Mama. Pagi itu kami berencana membuat teh mint bersama setelah periksa."
"Sabar, Cha. Aku tahu gimana kehilangan sosok Ibu, aku tahu gimana gak bisa mendengar suara Ibu lagi, gak bisa memeluk lagi, gak bisa merasakan masakannya, gak bisa melihatnya tersenyum..." Mataku nanap.
"Karena Ibumu masih ada, selalu sayangi dan segera layani Ibumu kalau dia butuh sesuatu." Ocha tersenyum lebar menepis suasana lara.
"Aku selalu menyayangi Ibu selamanya," batinku. Aku melirik ke arah pintu kamar Ibu yang selalu tertutup rapat.
Aku merasa pintu itu memancarkan awan kelabu dan rintihan.
"Pasti kamu gak ikut penelitian kelas di luar kota karena Ibumu, ya?" tebak Ocha.
"Em, iya. Aku kasihan kalau Ibuku sendirian apalagi Ayahku kerja di luar kota."
"Oh ya, Ibumu di mana?" Ocha mengerling sekeliling rumah.
"Oh, Ibuku ada di kamar mungkin nonton TV, suara TV nya keras sekali sampai kedengeran dari sini," jawabku.
"Kirain tidur, soalnya tadi gak denger suara TV," ucap Ocha, "Kalo gitu, aku pamit pulang dulu, Ayumi."
"Terima kasih sudah antar order ku, Cha."
Ocha menganggut.
Tiba-tiba perasaanku menjadi buncah. Aku ingin melihatnya dan segera mengantarkan makan malam di kamarnya.
Krek…
"Bu, ini aku masakkan sup jagung. Aku juga beli teh hijau kesukaan Ibu dari toko milik Ocha." Aku meletakkan mampan di meja depan tv.
Ibu hanya tercatuk di sofa dengan tangannya meremas tisu.
Seandainya Ibu mau membuka mulutnya lagi. Meskipun hanya mengungkapkan sepatah dua patah kalimat, aku sangat berlega hati dan tak akan pernah melupakan detik ini. Andaikata.
Aku mengangkat kaki dari kamar Ibu.
"Aku…." Terdengar lirihan.
Sebuah asa yang mekar. Aku terpinga-pinga.
Aku memutar badanku dan langkahku sigap mendekati Ibu.
"Aku...ingin hidup ber...sama." Suara itu terdengar tersendat-sendat. Bergetar, tapi terdengar jelas. Nada yang kurindukan. Ibu tidak membentak lagi dan tidak mendesakku keluar, suaranya sangat lembut dan tulus.
Seketika air mataku meluap deras, tubuhku menggeliat, tanganku bergetar meraih tangan Ibu.
"Ibu, aku merindukanmu. Jangan pergi lagi."
Ibu menyikapku erat. Kehangatan yang sempat membeku kini meluluhkanku.
"Kenapa Ibu bisa seperti ini?"
"Terima kasih tidak meninggalkan Ibu." Senyuman Ibu merekah. Pelukan yang berselang beberapa detik itu sungguhlah sakral.
"Aku gak ingin Ibu kesepian, selamanya. Ibu janji ya, jangan pergi lagi."
Aku mematikan televisi.
"Kalau Ibu mau menangis gak papa, aku ada disini. Ibu gak perlu menangis di balik suara televisi."
"Ibu tadi sudah menangis." Ibu tersenyum, lesung pipitnya sengatlah cantik.
"Aku pulang." Sosok yang tak asing berdiri di ambang pintu dengan tas punggung ukuran besar.
Tubuh dengan perawakan tegap yang seakan siap bertemu dengan orang yang dirindunya. Setelah empat tahun tanpa beradu dahi, kini Ia datang dengan tanggung jawabnya. Aku sangat menantikan momen ini, momen ketika tiga orang bercengkerama di bawah langit rumah primitif ini.
"Selamat datang, Ayah," sambutku.
"Aku tidak mau, tidak mau, berhenti!" Ibu memekau histeris. Dia memojok di sudut ruangan.
"Maria, jangan seperti ini. Aku suamimu." Ayah menghampiri Ibu yang badannya meringkuk ketakutan.
Aku terpelengak melihatnya. Baru saja aku mendapatkan kebahagian dan sekarang seperti ini. Ada apa dengan mereka? Pertanyaan itu terus menampar mulutku untuk bertanya.
"Kita memang tidak ada ikatan darah, tapi kita tetap keluarga," ujar Ayah.
"Aku tahu kalau aku hanyalah anak jalanan yang mereka adopsi," batinku.
"Aku menikahimu bukan karena perintah atasanku. Sejak dulu aku tidak bisa mengungkapkan niat baikku. Akhirnya atasanku memberiku tantangan, kalau aku tidak berhasil, jabatanku turun. Semua itu mendorongku maju untuk menikahimu. Atasanku membantu bukan menjebakku." Ayah menjelaskan dengan segamblangnya.
"Semua hanya karena jabatan dan rasa kasihan. Orang lain pun juga kasihan melihatku hidup di kolong jembatan," maki Ibu.
"Itu salah. Aku menikahimu karena cinta, bukan kasihan atau jabatan. Karena cinta, titik." Ayah terus berkelit.
"Lalu, kenapa kamu mengadopsi anak dan meninggalkan aku setelah satu bulan menikah? Karena aku gak bisa punya anak, kan? Lebih baik aku tinggal di bawah kolong jembatan lagi. Jangan memanfaatkan orang jalanan!" pekik Ibu.
"Bukan, agar kamu memiliki teman di rumah selama aku ditugaskan di luar kota. Aku ingin kita bahagia dan biar aku saja yang mencari nafkah. Hanya itu yang aku inginkan. Aku gak pernah melupakan kalian, aku transfer uang tepat waktu, aku juga selalu menelpon Ayumi, tapi kau selalu mengusir Ayumi dari kamar ini. Tentu saja aku tidak bisa menelepon mu juga."
Ibu menangis tersedu. "Aku tidak tahu lagi, aku tidak punya jalan lagi. Apa yang harus kulakukan sekarang?"
Ayah menggapai lengan kecil Ibu yang penuh peluh.
"Lepas! Apa yang kau inginkan? Pergi sana!" Ibu mengiprat tangan Ayah. Ibu terus menggerumut di sudut kamar.
"Ayolah, Maria! Aku sangat mencintaimu dan merindukanmu. Mari kita habiskan waktu bersama seperti dulu lagi. Aku akan mengajakmu besok ke taman bunga kesukaanmu. Aku tidak akan kemana lagi, ini adalah tugas terakhirku di luar kota." Ayah berusaha merangkul Ibu, tapi Ibu terus melawan belaian hangant tangan Ayah.
"Ibu, Ayah, aku ada disini!" pekikku.
Mereka menoleh. Mereka lupa akan keberadaanku yang menjadi saksi pertemuan panas. Aku menghampiri mereka.
"Awalnya kita memang sendirian dan bukan siapa-siapa, tapi ikatan keluarga menarik erat kita. Kini kita tidak sendirian lagi, semua saling berbagi," ujarku.
"Masa lalu kita jadikan pelajaran, semua kesalahpahaman kita perbaiki bersama. Di depan kita ada cahaya yang menunggu. Mari kita bangkit bersama," lanjutku.
"Kita semua ada disini." Aku meraih tangan mereka keluar dari muramnya kamar ini.
"Lihat, sangat terang, kan!" seruku.
Mereka tercengang sesaat menatap netraku yang penuh kelabu. Lalu, mereka mendekapku.
"Maaf, selama ini kamu yang kesepian. Kamu tersenyum lebar saat foto bersama teman-temanmu, tetapi sebenarnya kamu merasa kesepian." Ayah mengelus pucuk kepalaku.
"Benar, kita ada di sini. Seharusnya Ibu bersamamu di hari kelulusan, mengantarkan ke sekolah barumu, membuat camilan saat kamu belajar untuk ujian."
"Maafkan kami." Ibu dan Ayah terus mendekap erat.
"Selama ini aku menunggu kalian yang membelakangiku, padahal aku ada di balik Ayah dan Ibu. Aku selalu siap dan menunggu kalian berbalik."
Malam ini, tepat jam makan malam, kami menumpahkan kerinduan yang terkubur. Kami berkumpul di meja makan menikmati hidangan hangat buatan Ibu dan camilan manis buah tangan dari Ayah.
Aku yakin, selama hidup pasti akan ada harapan baru yang lahir. Harapan yang selalu dipertahankan. Harapan yang membawa pengorbanan. Dan kebahagiaan adalah hasilnya. Terima kasih, Tuhan.
Penulis: Felita Sukanti, aktif di KOSALAMA (Komunitas Aksara Dalam Rasa) dan dapat dihubungi melalui Instagram @felita__ski.