Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Jan 03, 2021

Kepulangan Riana Berhadiah Suka dan Duka

Notif pesan disalah satu group WhatsApp berisikan undangan untuk turut berpartisipasi galang dana saudara(i) kita yang terkena musibah bencana banjir silahkan merapat di lokasi yang di tentukan. Iya, seperti itulah rutinitas mahasiswa(i) dimasa pandemi, aksi kemanusiaan tetap berjalan.

Jelas, masalah kendaraan bisa teratasi olehku sebagai perempuan yang notabenenya tidak bisa mengendarai kendaraan beroda dua, semua bisa aku atasi karena banyak angkutan umum warna biru muda. Di tempat tinggal ku. Setelah aksi galang dana di pasar dan beberapa toko bangunan besar yang sangat dermawan, memberi kepercayaan kepada kami dan 'alhamdulillah' hasilnya uang yang terkumpul juga cukup banyak

Tidak srek rasanya jika bukan rombongan kami yang melakukan serah terima terhadap korban bencana. Komunitas di kota ku sebut saja aksi sosial. Agar lebih maksimal, akan baiknya kami kolaborasi dengan komunitas lainnya, semuanya terasa ringan jika dipikul bersama bukan? .

Tidak sampai disitu saja, komunitas yang kami temani kolab, mereka juga berniat turun lansung juga di lapangan, iya di lokasi korban. Akupun tidak ingin melewatkan kesempatan itu.Selain karena terlalu lama rebahan dengan hastag di rumah saja. Ala kekinian, sebagai anak yang sangat mematuhi aturan Ibu.

Saatnya minta izin, setelah perasaan Ibu dalam keadaan bahagia, bisa sangat membantu isi jawaban Ibu nantinya, kata temen sih gitu. "Bu. lbu kenal tidak artis yang kotanya tertimpa musibah?" Tanyaku memulai basa-basi."Iya, tapi beliau sudah tidak di desanya bukan?" dijawab dengan wajah kebingungan, ah sudah-lah kayaknya semesta masih menunda takdirnya.

Riana tidak kehabisan akal. Aku seperti mencari mangsa, membujuk kakak laki-laki ku namanya Ardi. Sebab semenjak beliau menikah, membuatnya lebih dewasa. Itu pendapatku ketika seorang kakak memahami adiknya itu bentuk kebijaksanaan,mungkin pembelaan ku saja.

"Kak kasihan yah, melihat mereka tertimpa musibah di sana bla-bla, setelah panjang lebar membual akupun tiba di ujung kereta eh maksudnya cerita," Kak sepertinya aku pengen ke lokasi, izinkan sama Ibu dulu yah". Gumamku memohon, "ia pergi saja, siapa tau ada sertifikat relawannya, sama siapa pergi? Naik apa?," Jawabnya.

Aduh kok ditembak pertanyaan gini. "Ia ia aman, tinggal tunggu izin Ibu, izinin dong kak", jawabku seadanya. Setelah masuk ke dapur dan terdengar perbincangan yang cukup lama. Tiba-tiba Ibu keluar dari dapur dengan mimik wajah yang membingungkan, dia melangkah menghampiri.

Hentakan kaki cukup jelas, bukan karena sepatu kacanya namun, rumahku panggung' tak taak taak' bunyinya seperti detak jantung ini. " Berangkatnya kapan nak'?" Tanyanya dengan kedua telapak tangan bersandar di pinggulnya. Suara paru yang terdengar serak, yang tak rela anaknya pergi. Ada rasa khawatir terlihat di ujung pupilnya namun, di sisi lain Ibu mana yang ingin mengecewakan permintaan anaknya.

Apalagi untuk membantu sesama. Sebab tak ingin di katain pergi tanpa tujuan, segera aku komunikasikan dengan ketua komunitasku dan semuanya aman terkendali. "Ia Ia buk besok" Jawabku dengan melemparkan senyum. "Ibu nda mau tau, sekarang kamu lipat semua pakaian dan atur sekarang. Jangan tunda-tunda", " iyya nanti buk". "sekarang!". Karena gertakan Ibu, aku lansung kalang kabut, bereskan ini itu, Ibu mengawasiku bak CCTV bedanya pake ditunjukin segala. Wajar lah huhu pakaianku berserakan dimana-mana.

Keesokan harinya..

Akhirnya menyambut pagi ini berbeda dengan sebelumnya, kali ini aku seperti dilahirkan kembali kedunia, saking lamanya tidak keluar dari penjara ini. Iya, hampir miriplah aku dikurung diberi makan, bedanya aku nda ngapa-ngapain. Disitulah letak kejenuhannya, semua yang sudah Riana kerjakan dianggapnya sebuah kegagalan untuk menuju kegagalan yang lebih menarik lagi.

Riana pun segera beranjak dari tempat lamunannya karena angkutan umum yang ditunggunya sedari pagi sudah nongol, setelah sampai dititik lokasi perkumpulan dan semua donasi sudah dibelanjakan untuk keperluan korban, rombongan Riana pun berangkat ke lokasi menggunakkan angkutan umum segi panjang yang disapa akrab di kotanya buss.

Tiba di lokasi peristirahatan..

Riana dan rombongannya dengan muka yang masih kucel, disambut hangat oleh masyarakat dan teman yang sudah tiba di lokasi sebelum mereka. Teman laki-laki Riana, seperti kebanyakan laki-laki lainnya begitu pula sopirnya, sejenak meluruskan pinggang dan yang lain membakar coklat bakarnya, hembusan asap terhempaskan berharap kelelahan mereka pun demikian.

Berbeda dengan Riana, Ana dan Nur, tidak membuang waktu. Langsung bersih-bersih, karena kaum kami paling benci masuk dalam antrian. Jadi bergerak lebih awal adalah solusi.

Tiba di lokasi kota duka..

Riana dan rombongan di sela-sela perjalanan sebelum tiba di lokasi, beberapa teman seperti Andre, Dido dan lainnya selalu berhasil membuat cangkang bibir ini menyalahi kodratnya, sampe perut kami kena imbasnya. Mereka selalu ada cerita yang membuat kami terhibur.

Sebenarnya tak banyak yang bisa Riana ceritakan, dan Riana tidak tau bagaimana caranya menggambarkan kesedihan masyarakatnya, apa yang di rasakan di sini tidak bisa terwakilkan oleh hanya sekedar aksara. Tujuan Riana kesini salah satunya itu, bentuk kepedulian yang terlihat atau terwakilkan di sosial media, rasanya kurang.

Seperti kata seorang sahabat karib Riana sebut saja Eca. "Berbicara masalah kemiskinan, kepedulian, empati dan lainnya, tapi di hotel bintang lima. Sekiranya tidak cocok". Tidak menunggu lama, Riana dan rombongan terjun lansung di lapangan yaitu lokasi banjir bandang yang hiruk pikuknya lumpur di rumah beberapa warga masih cukup parah.

Tapi sebelumnya rombongan Andre, Dido dan lainnya sudah di isi perutnya sama relawan dapur .Iya,ibu-ibu setempat. Dibantu dikit oleh Riana dan Ana maupun Nur. Soalnya 'tak ada logika tanpa logistik ' "Eh eh kucing" Nur, histeris.

Ibu Nina yang menyadari itu mengejar kucingnya, dan langsung mengambil ikan mentah yang dibawa kabur si kucing "eh Ceky, mau sakit perutnya makan ikan mentah, nanti digoreng kan yah" Ujarnya. Riana dan Ana bertukar pandangan. Sepertinya pikiran mereka sama "saya di rumah, kucing belum bawa kabur ikan, sudah dikejar apalagi aakkkkh".

"Dek dek" tanya Bu Nina. Riana yang melamun atas kejadian itu melanjutkan mengupas bawang. Persiapan makan malam.

Masyarakat di kota duka ini sangatlah hebat, makanya banyak orang menyebutkan kota kuat mungkin ini salah satu penyebabnya. Di atas kesulitan yang menimpa mereka, rasa berbagi mereka tidak pudar.

Di perjalanan rombongan Riana melihat-lihat tumpukan lumpur di beberapa bangunan, ada warga yang meminta bantuan, rombongan Andre, Dido dan lainnya segera ke sana. Riana dan Ana, Nurr. Apalah aku yang sedari tadi mengabadikan momen karena bagi Riana banyak yang ingin datang ke sini tapi tak dapat izin ataupun hatinya belum tergetak, jadi mereka bisa menyaksikan lewat instastory WhatsApp atau lainnya.

Setelah beberapa hari di kota duka ini, dan mengabadikan beberapa momen bersama, tapi kami jarang memotret pekerjaan yang sedang berlangsung kami menikmatinya diselingi canda tawa yang tiada henti untuk melepas keletihan. Kami pasti mengabadikan sebelum dan sesudah bekerja. Yang bakal Riana dan rombongan jadikan cendramata kepulangan.

Matahari masih bersembunyi dibalik awan, bahkan main empet-empetan sebenarnya yang nyambut kami duluan apa nih huhu, Riana dan rombongan pun pamit dengan warga setempat.

'Paaakk paaakk taakk taakk'

Jari ini mengucak mata tuannya, setelah mencoba memaksa membuka kelopak mata karena kepala sudah mau pecah karena suara yang tak berhenti saling mengadu. Paku dan palu saling bercumbu dengan mesrah yang membuat Riana sangat terganggu. Terdengar semacam bisikan yang dibesar-besarkan. Saudara perempuan ku berhasil membuat dua perempuan paruh baya menangis haru, atas bualannya yang meratapi nasib masyarakat di sana.

'Uhuuk uhuuuk, achiimmm achiimmm. '

Mereka semua kaget mendengar suara itu, pemiliknya pun sedang merasa ketakutan, dan melanjutkan tidurnya sebelum diponis bersalah. Iya Riana demam, semua makanan terasa pahit dan penciumannya kurang berfungsi. Hanya telinga yang melakukan fungsinya dengan baik.

Di sisi lain, hasil kemesraan paku dan palu tadi, rumah ku sudah punya 3 pintu kamar. Nanti jika ada yang bertanya." Riana sekarang sudah dimana? ". Tinggal jawab" Aku demam, sedang terbaring lemah di kamarku".

 

Penulis: Supriana, mahasiswa Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Alauddin Makassar.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.