Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / May 16, 2020

Kisahku Yang Biasa

Hai…ini aku, iya aku yang seorang biasa. Seorang anak yang mengalami kisah yang biasa. Kini ijinkan aku untuk menceritakan kisah biasa yang aku alami…

Pagi datang ditandai dengan matahari yang menyapa denga malu-malu, pagi itu aku membuka mataku. Mengambil waktu sejenak untuk menyesuaikan diri menyambut pagi. Hm..sepeti biasa aku melihat smartphoneku untuk mengetahui waktu yang ditunjukkan benda cerdas itu. Lalu aku beranjak ke kamar mandi setelah meminum seteguk air mineral.

Aku tak ada kegiatan lagi pagi ini, jadi aku mengecek beberapa berita. Aku mengikuti setiap berita perkembangan virus corona yang saat ini tengah merebak di nusantara, aku merasa semua orang harus waspada karena kita tidak pernah tahu dimana virus ini, apakah lingkungan sekitar kita aman atau tidak. Namun kurasa “aman” adalah kata yang sulit untuk kondisi saat ini.

Aku melakukan kegiatan di dalam ruangan seperti biasa. Ruangan? Ya di ruanganku sendiri karena saat ini aku tidak tinggal dengan orang tua atau keluargaku yang lain. Aku adalah anak perantauan yang baru lulus beberapa waktu lalu dari jenjang perguruan tinggi.

Saat ini aku terjebak di kota perantauanku yang sudah termasuk dalam zona merah, yang artinya aku tidak bisa pulang ke tempat asalku dan aku juga masih harus menunggu panggilan kerja yang saat ini banyak ditunda. Sejujurnya aku juga ingin pulang, aku rindu rumah. Disini aku sendiri, aku kesepian. Tapi aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku ini pada siapa pun, aku juga khawatir pada kondisi disini serta kondisi di kota asalku.

Terkadang aku merasa sedih dan sesak, aku ingin mengungkapkan tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa menambah kekhawatiran orang tuaku disana. Ketika aku menelepon mereka, aku hanya akan tersenyum dan tertawa bertingkah ceria seakan tidak ada masalah. Aku merindukan sesuatu yang disebut “rumah” dan segala sesuatu di dalamnya, masakan mama, ocehan dan diskusi dengan papa, dan bermain dengan adikku. Tapi aku sadar, aku tidak bisa semakin membebani mereka.

Namun adakalanya aku merasa lebih baik aku sendiri disini sebab di tempat ini aku tidak perlu menyembunyikan apa pun, tidak perlu khawatir ada orang yang mengetahui beban pikiranku mapun perasaanku. Aku bebas termenung, berangan, dan bermimpi. Walau sepi kembali terasa ketika aku kembali menapaki realita.

Aku bukanlah orang yang akan membuka semua perasaanku pada orang lain bahkan jika itu adalah keluarga atau temanku. Adakalanya aku merasa lebih baik memendamnya seorang diri, kecewam, ketakutan, sedih, dan resah sebab aku tahu orang lain pun memiliki beban mereka sendiri. Seringkali aku memilih melupakan kekecewaan, kesedihan, dan ketakutanku dengan mengalihkan pikiran meski kadang kurasa hal itu tidak mudah.

Seringkali aku pun merasakan sesuatu yang mengganjal dalam hatiku, tapi aku sendiri pun tak tahu apakah itu. Sekalipun aku memilih cerita, mereka pun tidak mengerti dan menganggap ringan. Tetapi aku bersyukur memiliki orang tua dan adik yang selalu mendukungku dan keputusanku. Memiliki seorang sahabat yang bisa menjadi teman diskusi dalam beberapa hal.

Pada beberapa masa aku akan merasa tidak mengenal diriku, sering ku bertanya sebenarnya sifatku bagaimana, apa yang bisa kulakukan, apa peranku, apa bakatku. Terkadang aku merasa iri pada seseorang yang dengan mudah dapat mengetahui minat dan bakatnya sedari awal, sedang aku merasa aku tidak.

Orang lain memandangku sebagai orang yang cerdas dan pintar, memiliki banyak pengetahuan. Tetapi pada kenyataanya aku merasa aku tidak tahu sebanyak itu. Aku terlalu banyak berpikir untuk mengambil tindakan. Hal yang terjadi baru-baru ini tentunya berhubungan dengan wabah yang menimpa negeri ini.

Tentang virus corona, di satu sisi aku ingin melakukan sesuatu memberi bantuan tapi bahkan aku tidak tau apa yang bisa aku lakukan dan dimana memulainya. Namun di sisi lainnya aku takut tidak mampu karena banyak risiko dan aku tidak kompeten. Aku bukanlah orang yang berlatar belakang medis, aku pun bukan orang yang sangat berani mengambil suatu tindakan.

Maka muncul pertanyaan dalam benakku, adakah yang merasa sama sepertiku? Jika ya, bagaimana mengatasinya? Bangaimana mengambil langkah awal? Bagaimana menyingkirkan keraguan dan memupuk keberanian? Apa yang bisa aku lakukan? Aku mengerti ketika orang lain berkata “Jika kamu tidak berani memulai langkah awal lalu kapan kamu akan maju? Kamu hanya akan diam di tempat.”

Aku tahu, aku paham, tapi bukankah berbicara lebih mudah dibanding melakukan? Ketika aku bertanya kembali maka mereka tidak mencoba mengerti bagaimana diriku.

Sepanjang hari banyak kulakukan untuk merenung dan berpikir. Aku berpikir bagaimana orang seusiaku yang seharusnya sudah dikatakan dewasa masih mengalami hal ini, seakan masih tidak mengenali siapa diriku. Masih meraba-raba apa minatku.

Dan masih banyak hal lain yang kupikirkan. Meskipun aku banyak berpikir tentu aku tidak lupa untuk memenuhi kebutuhan manusia, aku makan dan saat itulah pemikiran-pemikiran itu terlepas sejenak dariku. Menanggalkan sejenak segala pemikiran egoisku.

Hari yang biasa telah berlalu, seperti biasanya bulan menggantikan matahari diiringi bintang-bintang disisinya. Namun bahkan setelah mathari kembali keperaduan, pemikiranku masih berkutat disana. Gelap menyambangi dunia layaknya gelapnya diriku.

Sayangnya, ketika malam menyapa mataku tak bisa terpejam, sesak masih menyambangi hatiku. Justru aku merasa damai dan tenang, saat semua orang terpejam dam mimpi kini aku masih berpikir. Terkadang pemikiran lucu dan ringan mampir dan berlalu secepat datangnya.

Aku hanyalah orang biasa yang memiliki kisah biasa. Maka ketika bibirku bungkam dan kelu menyatakan rasa kuputuskan menuliskan dalam sebuah kisah ini, sebuah kisah tentang sisi terdalam diriku, sebuah kisah biasa yang tersembunyi. Mungkinkah aku berharap bahwa kumpulan huruf yang tertuang ini akan menjadi karyaku?

Mungkinkah pula akan menjadi sahabatku berkeluh kesah? Ketika bibirku terbngkam, maka biarlah tangaku yang bergerah menggoreskan kata demi kata yang membentuk rangkaian kisah dalam selembar kertas dan pena. Sebab mereka akan diam dan menjaga rahasia.

Sebenarnya masih banyak kisahku yang biasa, apakah kamu tertarik untuk mengetahui kisah biasaku namun rahasia yang lain ataukah kamu menyesal membacanya karena terlalu biasa? Tetapi inilah kisahku, apakah kamu memiliki kisah biasa sepertiku ini?

 

Penulis: Mega Agustine Setya Rahayu, freshgraduate.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.