Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 27, 2020

Kita Kalah

Katanya, kalau tidak ingin mati, harus menyelesaikan permainan dengan baik. Tapi masalahnya, dengan baik itu yang seperti apa?!

“Mati! Mati! Mati! Mati! Mati! Aww....”

Aku mendelik pada mereka. “Sst, diam! Kita bisa ketahuan!” ucapku dengan suara sekecil mungkin.
“Sifa mencubitku!”
“Reza sendiri yang salah terus-terusan bilang, Mati! Mati! Kau pikir, itu tidak mengganggu?”
“Tapi kita memang benar akan mati, kan?”
“Berhentilah! Kau semakin membuatku ingin menangis,” kesal Sifa.

Aku menghela nafas sambil menatap keduanya. Karena bingung harus berucap apa, aku memilih diam dan terus berdoa semoga ada orang yang bisa menolong kami.

Sekarang kami berada di dalam lemari di salah satu kelas. Entah kelas yang mana, kami tidak tahu. Kami hanya asal memasukinya untuk bersembunyi dan melindungi diri dari sesuatu yang entah apa. Bahkan teman-teman yang lain pun, kami tidak bisa tahu bagaimana kabarnya.

“Sarah, kita harus bagaimana?” tanya Reza padaku. “Kita Cuma bertiga. Apa yang lain masih hidup?” lanjutnya.

Aku menggeleng sambil menahan tangis. Sejak kami semua berpencar, teriakan dan rintihan kerap terdengar berulang-ulang.

Meski begitu, kami tidak berani untuk mencari tahu apa yang terjadi. Kami tetap bersembunyi di dalam lemari tempat penyimpanan barang-barang kelas.

“Kalau kita nggak memainkan permainan terkutuk ini, saat ini kita pasti berada di rumah, kan? Saat ini, mungkin saja aku sedang bermain game sama Papa.”

Benar yang dikatakan Reza. Kalau saja kita tidak memainkan permainan ini, mungkin kita masih bisa hidup lebih lama lagi. Kalau saja waktu bisa kembali pada saat itu, kita tidak akan menangis ketakutan begini. Kalau saja....

*

Hari sudah gelap. Sekolah Menengah Pertama manapun, pasti sudah tidak ada siswanya jika sudah malam. Tapi anak-anak nakal memang tidak akan mengenal waktu kapan mereka harus bertindak.

Sarah, Reza, Sifa, Reyhan, Angga, Mita, Laras, Fahmi, Rita dan Kenan. 10 siswa kelas 1 itu malah dengan sengaja datang diam-diam ke sekolah dan membentuk sebuah lingkaran di tengah-tengah lapangan utama.

Cara mereka masuk yaitu dengan menaiki gerbang yang sudah di kunci. Dengan dalih ‘akan melakukan kerja kelompok di rumah teman sambil menginap’ kesepuluh anak itu bisa bebas pantaun dari orang tua.

Meski lampu sekolah dinyalakan, suasana tetap terasa mencekam, membuat bergidik. Tapi hal itu tidak mematahkan semangat mereka untuk berkumpul.

Mita, gadis berambut sedikit bergelombang itu yang mengusulkan. Ia membaca sebuah buku yang berisi tentang permainan petak umpet terkutuk, Histori Kakurenbo. Setelah bercerita ke teman-temannya, mereka semua sepakat untuk memainkannya.

Ada tata cara untuk melakukan permainan ini. Sebuah boneka yang diisi beras, rambut atau darah para pemain sebagai bukti keikutsertaan dalam permainan, dan sebuah mantra pemanggil. Awalnya mereka semua tidak akan melanjutkan karena merasa ngeri, tapi rasa penasaran mengalahkan ketakutan mereka.

Mereka melanjutkan dengan darah sebagai bukti keikutsertaan. Jari telunjuk mereka digigit oleh masing-masing agar bisa mengeluarkan darah yang diteteskan pada beras dalam boneka. Lalu boneka dijahit untuk di sempurnakan kembali. Dengan bantuan sobekan kertas, Mita mengucapkan mantra secara berulang-ulang sesuai dengan ketentuan dan yang lainnya saling berpegangan tangan, mengukuhkan lingkaran.

Namun sebelum itu, Mita memperingatkan teman-temannya untuk melakukan permainan ini dengan baik agar mereka bisa selamat.

Setelah semuanya selesai, hening menjalari mereka. Tidak ada yang terjadi.

“Apa kita melakukan kesalahan?” tanya Angga.
“Mantranya bener, nggak?” Kenan mengambil kertas di depan Mita.
“Udah, kok,” jawab Mita.
Fahmi mendesah lalu berdiri. “Bohong kali itu. Tipuan!”
“Jadi kita melakukan hal bodoh, nih? Buang-buang waktu, dong.” Laras ikut berdiri dan diikuti yang lainnya.

Sepakat, semuanya memilih pulang saja karena ‘ritual’ itu tidak membuahkan hasil. Tapi baru saja mereka melangkah, sebuah teriakan nyaring mengejutkan semuanya.

Saat mereka menoleh, mareka disuguhi pemandangan yang begitu mengerikan. Sesuatu yang entah apa, berwana hitam, tengah mencekik Mita dari belakang, mengangkatnya tinggi-tinggi. Cekikan itu begitu kencang hingga membuat mulut, mata, dan hidung Mita mengeluarkan darah.

Angga terduduk saking terkejutnya. Sarah segera menarik tangan Sifa untuk berlari. Kenan menarik Rita dan Fahmi. Laras membantu Angga bangun, lalu mereka semua lari serentak.

“Huaaaaa!!! Tolongggg...!”

Sarah berhenti dan menoleh untuk melihat siapa yang berteriak di belakang sana. Yang lainnya hanya fokus berlari untuk menyelamatkan diri. Sarah melihat Mita yang sudah tergeletak lemas tak bernyawa, dan Reyhan yang telungkup karena kakinya ditahan oleh sesuatu itu, menatap dengan ketakutan padanya.

“Sarah, tolong,” cicit Reyhan dengan lemah.
“Sarah, Ayo lari!” Reza datang bersama Sifa dan menariknya untuk segera pergi meninggalkan tempat itu.

Semuanya kumpul di gerbang utama—kecuali Mita dan Reyhan—bersiap untuk memanjat. Tapi mereka hanya bisa menelan ludah dengan susah payah. Gerbangnya hilang, hanya ada tembok beton yang menghalangi mereka. Dengan kata lain, mereka terkurung di sekolah bersama makhluk yang telah membunuh kedua teman mereka.

“Ba-bagaimana...,” Rita menatap Kenan. “Kita nggak bisa keluar!”
“Permainannya dimulai. Kita berhasil.” Laras bergidik memeluk tubuhnya.
“Peraturannya, Mita bilang kita harus melakukan permainannya dengan baik.” Rintih Sifa.
“Sembunyi! Kita harus cepat sembunyi!” Saat Fahmi baru saja berucap, Laras menjerit begitu kencang mengagetkan yang lainnya.

Mereka menatap Laras yang sudah menegang sambil menangis. Sesuatu menjalari tubuhnya dari bawah naik ke atas. Lalu sesuatu itu menancap masuk ketubuhnya di berbagai tempat dengan perlahan menyebabkan darah keluar dengan deras. Rintihan serta tangisan Laras semakin kencang.

Tanpa pikir panjang, semuanya segera berlari menyelamatkan diri. Karena begitu terkejut, mereka berlari berpencar ke berbagai arah. Sarah, Sifa dan Reza yang kebetulan lari bersama segera masuk ke sebuah kelas yang untungnya tidak dikunci. Mereka bertiga langsung masuk ke lemari yang berada di pojok ruangan belakang kelas.

Entah sudah berapa lama mereka ada di dalam lemari. Awalnya hanya keheningan menjalari mereka, lalu tiba-tiba suara teriakan, rintihan, tangisan, hentakan atau pukulan menggema secara bergantian. Yang lainnya tertangkap, pikir Sarah, Sifa dan Reza.

Ketiganya menangis sambil menutup mulutnya agar tidak ada suara yang keluar. Mereka harus sembunyi, itu peraturan utama. Jangan sampai ditemukan. Harus melakukan permainan dengan baik. Dengan baik. Dengan baik. Dengan baik. Tapi dengan baik itu, hanya Mita yang tahu.

“Mati! Mati! Mati! Mati! Mati!”

Reza yang sadar akan kondisi mereka yang kehilangan Mita, sumber utama penyelamat dari permainan terkutuk ini yang lebih dulu meninggal, terus menggumamkan kata ‘Mati’. Satu-satunya orang yang tahu mengenai seluk-beluk permainan ini, malah tergeletak tanpa nyawa di tengah lapangan. Kalau seperti ini, mereka harus bagaimana?

Setelah Reza berbicara tentang dirinya yang mungkin saja saat ini sedang bermain game dengan Papa-nya, Sarah melihat sesuatu bergerak di luar kelas dari celah pintu lemari. Sarah memberi kode pada Sifa dan Reza untuk tidak bersuara dengan meletakan telunjuknya di depan bibir. Mereka semakin menempelkan badannya pada lemari.

Suara pintu terbuka. Sarah, Reza dan Sifa membelalakkan matanya. Ketiganya saling pandang dengan air mata yang mulai keluar. Mereka menutup masing-masing mulutnya dengan telapak tangan. Tenang, mereka harus tenang. Jangan sampai ketahuan. Jangan bergerak atau menimbulkan suara. Jangan sampai mereka tertangkap. Jangan sampai!

Hening. Tidak ada yang terjadi. Juga tidak ada suara gerakan dari luar lemari. Ketiganya melepaskan tangan dari mulut. Sarah bergerak dengan perlahan untuk melihat apa yang terjadi dari celah pintu lemari.

Matanya membelalak terkejut ketika yang dilihatnya bukanlah ruangan kelas melainkan sesuatu yang merah dan gelap seperti bola mata tengah mengintip ke dalam lemari, ke arahnya dan ke arah teman-temannya. Sarah membeku, napasnya begitu sesak. Ia tidak bisa bergerak atau berucap untuk memberitahukan pada Reza dan Sifa.

Tiba-tiba saja sesuatu dari balik pintu menusuk perut Sarah dengan cepat. Reza dan Sifa berteriak karena kaget. Darah keluar dari mulut Sarah.

Sarah menoleh pada Reza dan Sifa. “Kita semua... kalah!” lalu tubuh sarah ditarik hingga kedua pintu lemari terbuka dan Sarah dibantingkan ke papan tulis dengan beringas.

Setelah Sarah tak bergerak sedikit pun, sesuatu itu menghampiri Reza dan Sifa.

*

Keesokan harinya, televisi ramai memberitakan penemuan 10 mayat siswa kelas 1 SMP yang mengenaskan. Hasil investigasi menyatakan kesepuluh anak itu melakukan aksi saling bunuh-membunuh terhadap temannya. Hingga salah seorang yang terakhir hidup, ia melakukan bunuh diri.

Meski aneh dan tidak masuk akal, televisi tetap menayangkan hal itu sesuai dengan data dari kepolisian. Hal ini diperkuat dengan temuan sidik jari pada setiap jasad yang ditemukan berpencar di setiap sudut sekolah. Meski begitu, investigasi masih akan dilakukan untuk memperjelas motif kesepuluh siswa ini.

 

Penulis: Hesti Lestari, akrab disapa Hesti merupakan perempuan asal Pandeglang yang senang sekali membaca novel fiksi daripada buku-buku pelajaran.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.