Fri, 29 Mar 2024
Cerpen / Jan 11, 2021

Kita Menyatu dalam Cerita

Tepat tanggal 11 April 2018, aku pulang ke kampung halaman-Nya. Sebagian besar yang menyaksikan kepulanganku, menangis tersedu. Sejumlah laki-laki yang pernah mempersaksikan keperkasaan, kesombongan dan kebiadaban terhadapku, tergeletak bersama air matanya. Aku pulang di pangkuan-Nya.

....

Dulu, aku mahasiswa dari salah satu universitas terkemuka di Sulawesi Selatan. Lahir dari keluarga sederhana namun memperihatinkan secara ekonomi. Memaksaku bertekad merubah nasib di tanah rantau.

Sebagai seorang petani dan selaku tulang punggung keluarga, penghasilan Ayahku sebenarnya cukup untuk sekedar benyambung napas. Meski kadang kami mengalami sesak napas ketika musim panen gagal. Kondisi ekonomi keluarga kami sangat dipengaruhi dari kemurahan alam.

Sebagian besar tanah yang kami kelola, adalah milik orang lain. Pembagian hasilnya sangat sederhana. Semua hasil panen dibagi tiga, dua untuk penggaraap tanah (Ayahku) dan satu untuk pemilik tanah. Keistimewaan memiliki tanah di kampungku salah satunya dapat hidup walau tidak bekerja. Sebaliknya, bekerja bukan jaminan untuk hidup di sini.

Ayahku dan sebagian masyarakat yang lain hidup dan bergantung dari pengelolahan tanah orang lain. Modal untuk bibit, pupuk, racun dan tenaga merupakan tanggungan dari pihak pekerja, bukan pemilik tanah. Dengan kondisi seperti ini, kadang keluarga dan masyarakat yang bernasib sama dengan kami, mengalami kebuntuan ekonomi ketika tiba masa alam pacekik.

Oiya, saya tumbuh dalam asuhan seorang Ibu yang hebat. Ia pemegang kendali penuh urusan dapur. Semenjak ayahku sakit disertai batuk-batuk, sesak nafas mengakibatkan kekuatan fisiknya mulai melemah. Sekarang Ibu memiliki profesi baru, yakni sebagai teman kerja ayah mengelolah tanah. Alasannya, tentu sudah bisa ditebak.  

Untuk sementara dan tidak tahu sampai kapan, dapur diambil alih oleh adik perempuanku. Sebenarnya sejak usia dini, saya dan kedua saudaraku sudah terlatih dengan ragam pekerjaan. Kalau tidak bersama ayah dengan membajak tanah, pasti kami akan didapati bersama dengan kesibukan ibu di dapur. Kodisi hidup seperti ini lumrah di kampungku, yaitu kampung pedalaman, dengan beribu kesederhanaan serta sejuta pengalaman.

Tibalah musim yang ditunggu-tunggu. Apalagi kalau bukan musim panen, tepatnya panen Jagung. Masyarakat menyambut dengan bahagia dan rasa haru. Setelah mengalami gagal panen 4 bulan yang lalu, kini kondisi perekonomian masyarakat kampung perlahan memulih. Utamanya para pekerja yang mengelola tanah orang lain.

Keluargaku tidak lagi dililit bayangan hutang pupuk dan racun yang tempo hari digunakan dalam merawat jagung. Kebiasaan orang borjuis di kampung, berbaik hati meminjamkan pupuk dan racun kepada petani untuk perawatan tanamanya. Pembayarannya setelah masa panen tiba, tentu harganya tidak lagi sama. Bantuan ini menjadi aroma segar bagi sebagian petani yang optimis, namun sekaligus menjadi tombak beracun bagi petani yang pesimis yang dihantui kegagalan panen.

“Ma, apa lagi mau dibantukanki setelah ini?” gumamku disela istirahat memanen jagung. Matahari mulai menciut, merapatkan sinarnya dipenghujung Timur. Secara geografis, aku tinggal di daerah pedalaman. Butuh 30-50 menit perjalanan dari jalan poros ke kampungku. Rumah kami bersebelahan dengan sungai, tempat segala perenunganku mengalir.

“Kumpulkan batang jagung ini Nak, untuk labolong dan labalo (sebutan khusus untuk sapi yang berwarna berbeda atau unik)” pinta ibuku. Pandangannya lurus, menyorot tetesan-tetesan keringatku yang duduk dalam pangkuan baronjong sungai (beton pinggiran sungai/taluk sungai sebutan warga lokal) sambil bertelanjang dada. Ia perhatikan detail perubahan bentuk fisik anak tertuanya ini.

“Ajun, kau nampak makin kurusan Na’. Jarang makan di Makassar yah?” cuitan yang menerobos lamunanku yang sedang menyusuri sungai dengan potret indrawiku. Aku khidmat melihat bungkusan mie, plastik kerupuk, sandal dan botol minuman beradu kecepatan menuju ujung muara sungai. “Seringji Ma’ tapi kadang lupa makan karena jadwal kuliah yang padat. Gorenganji biasanya saya beli di kantin kampus yang menjadi penjanggal perut kalau laparka” jawabku gugup.

Aku sebenarnya tidak betul-betul memiliki jadwal makan yang mapan. Jika merasa belum lapar sekali, yah tentu menghindari makan. Tujuannya, untuk hidup hemat sekaligus berkualitas, menurutku. Karena aku alihkan uang jajan sebagian untuk membeli buku bacaan.

Bungkusan plastik mie instan tidak lagi aku dapatkan dalam sorotan mata. Dengan begitu, dialah pemenangnya dalam lomba lari marathon dari kelas sampah rumah tangga disungai ini.

Kakekku dari jalur ibuku pernah menceritakan peran sungai ini yang begitu dahsyat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat. Jika aku hidup sesaman dengan kakekku, jelas bukan lagi sampah yang akan aku pelototi beradu cepat menyusuri sungai. Melainkan baskom-baskom besar yang berisikan sokko (sebutan warga lokal) atau nasi dari beras ketan, ayam, pisang, telur, dan seambruk bahan-bahan dapur diatasnya.

Tidak ketinggalan kamenyan dengan asapnya yang akan membelah sungai yang ditancap pada pisang. Mirip-mirip kendaraan UFO dalam berbagai film. Kakekku sering kedapatan menarik sesajen itu ketika seumuran denganku menggunakan sebilah bambu yang diambil tergantung di pohon kelapa. Persis bersebelahan dengan pohon beringin yang dulu juga dikeramatkan oleh masyarakat lokal.

Jika kedapatan mengambil sesajen, kakek sering di pukul dan kecipratan nasehat dari keluarga-keluarganya. Katanya, akan membuat marah dewa sungai atau penghuni sungai (panganroang salo sebutan warga lokal) lantaran makanannya tidak datang atau porsinya berkurang kalau datang.

Dewa sungai atau Panganroang salo di zaman kakekku ini dipercaya sebagai dewa yang memiliki kekuasaan penuh terhadap sungai itu. Keberhasilan atau kegagalan panen jagung dan tanaman lainnya di pinggiran sungai tersebut dipercaya oleh masyarakat bersumber dari kebaikan dan kemurkaan dewa ini.

Dari pengetahuan turun temurun, hampir seluruh masyarakat setempat memahami hal demikian. Sehingga mereka hanya butuh membahagiakan sang dewa agar tidak mengganggunya. Kakek sering bertanya kepada ayahnya dan tokoh-tokoh masyarakat di masanya. Kurang lebih seperti ini “kenapa bisa dewa dikirimkan makanan dari kampung, bukankah sungai tempatnya makanan? Kalau dewa tidak suka makanan sungai, untuk apa ia tinggal disana?”

Aku diceritakan oleh kakek bahwa awal mula keraguannya terhadap penghuni sungai atau dewa sungai ketika keluarganya tidak satupun mampu menjawab pertanyaannya itu dengan lugas. “Kau masih kecil, kamu belum paham ini Nak. Kalau besar kamu akan paham dengan sendirinya” tutur keluarga-keluarganya yang berulang-ulang. Seakan tidak punya pilihan jawaban lain. Hingga tua, dan sudah menikah kakekku masih tetap gagal paham dengan pemberian sesajen ini. Ia menganggap, kebiasaan ini sebagai suatu penyimpangan.

Semenjak aku belajar sejarah di SMA, aku mulai perlahan mencintai tempat tinggalku yang berdekatan dengan sungai. Jika ditanya oleh teman-teman mengapa keluarga dan aku tidak pindah dari sungai, aku jawab saja sesuai hasil bacaanku bahwa sungai itu menempati posisi mulia dalam peradaban manusia. “Sungai itu sangat berarti bagi peradaban manusia. Tempat manusia pertama kali mengelola alam dengan rapi melalui teknik bertani. Orang tua dulu kan mengelola tanaman membutuhkan air, ternak-ternak mereka juga butuh minum. Sehingga mereka bermukim di pinggiran sungai untuk mengelola ini semua” timpalku.

“Aku pernah membaca buku, bahwa sungai Eufrat dan sungai Tigris yang terletak di Mesopotamia dan sungai Nil di Mesir merupakan basis kemajuan peradaban dunia. Disitu masyarakat mengelola gandum, anggur, jagung dan tanaman-tanaman lainnya. Intiya, aktifitas mereka adalah bercocok tanam. Untuk itu mereka tidak jauh-jauh dari sungai kan. Ini adalah bukti nyata bahwa sungai adalah awal kemunculan kehidupan yang begitu maju ini” sambungku meyakinkan.

Kalau aku sudah mengutip dengan buku, teman-temanku langsung kejang-kejang. Seperti kemasukan syetan gitu. Tak membantah, namun memeperlihatkan eksperesi kesal.

Aku masih termenung dalam singgasanaku, keringatku mulai mengering. Aku spontan berpikir, kalau dulu sungai menjadi awal peradaban dunia, lalu mengapa sungai yang kakek temui malahan sebaliknya?.

Sekilas jawaban itu seakan aku raba ditengah sungai. Gumamku dalam hati “orang dulu kan belum paham proses kinerja alam. Jika musim hujan dan air sungai ini naik menggenang tanaman atau pemukimannya, mereka selalu kaitkan dengan pengaruh makhluk gaib. Karena itu, orang-orang mulai mencoba berbagai cara untuk menenangkan amukan makhluk gaib ini. Barangkali ada yang berpikir bahwa dewa mengamuk karena sedang lapar. Logika ini kan berhubungan dengan sebagaimana anak yang kelaparan, pasti mengamuk”.

“Singkatnya, masing-masing keluarga kemudian mengalirkan makanan favouritnya di sungai. Selang beberapa bulan, banjir itu kemudian tidak kembali lagi. Mungkin disinilah awal mula penegasan dan kepercayaan tehadap keberadaan mahkluk gaib ini” sambungku dalam hati dengan penuh kehati-hatian.

Padahal dalam bacaanku dalam buku IPA, mengatakan fenomena ini adalah siklus alam. Dan siklus ini akan berjalan tiap tahun. Banjir akan selalu ada di pinggiran sungai ketika musim hujan datang, karena sungai akan meluap. Banjir akan menghilang jika musim berganti. Jadi meski tidak menyodorkan sesajen kan banjir juga akan surut dengan sendirinya.

Itulah mengapa sungai ini sekarang sudah di kerup dan dibuatkan dinding beton agar air tidak masuk di lahan pertanian dan pemukiman warga. Sekarang sungai ini tidak lagi menjadi momok menakutkan sebagaimana dahulu. Aku telah menemukan penjelasan yang dibutuhkan kakek. Namun ajal telah menjemputnya sebelum pengatahuanku ada.

“Juun, Na. Jagung ini nanti disimpan di teras (rumah). Besok mama mau jemur” kembali membuyarkan perenunganku. “Iye Ma” pungkasku singkat.

BERSAMBUNG…

 

Penulis: Arisnawawi, mahasiswa Universitas Negeri Makassar

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.