Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / May 25, 2020

Kupu-Kupu di Kamar 45

Duduk di kursi rapuh dengan mata tertutup kertas warna-warni. Tangan kecil dan halus memegang rokok yang di bagian ujungnya sudah terbakar. Kepulan asap keluar dari mulutnya yang tipis. Di meja, berserakan kulit kacang dan sebotol minuman keras yang sudah habis setengah.

Sebenarnya ia sudah tidak ingin berada di sini, tapi kondisi ibunya sekarang sangat mengkhawatirkan. Ibunya tidak pernah membaik sejak pria itu pergi bersama wanita lain yang lebih berada. Kata yang terus bersemayam di kepala Anggun untuk pria itu adalah: berengsek.

Malam semakin larut. Bintang-bintang begitu indah dalam kedipannya. Angin bertiup halus, sesekali membuat rambutnya yang panjang sebahu sedikit berantakan. Entah sudah berapa puntung rokok yang ia buang. Teman-temannya yang lain sudah beberapa kali masuk dan beberapa kali pula keluar membawa kertas berharga dengan berbagai warna. Tapi ia masih duduk di kursi rapuhnya, menanti sebuah jawaban yang entah datang dari mana.

“Woy, belum ada yang ngajak lo, Gun?” tanya Aurel yang baru saja keluar dari salah satu kamar.

Anggun tersennyum tipis, “Belum, Rel. Padahal gue lagi butuh banget,” Anggun mengisap habis rokok di tangannya.

“Ibu lo harus cuci darah lagi?”

Anggun menggangguk, “Sebenernya gue capek, tapi ini,” Anggun menepuk-nepuk lehernya yang tergambar kupu-kupu kecil berwarna merah. “Ngiket gue, dan gue enggak bisa berbuat apa-apa,” lanjutnya.

Aurel mencoba untuk menenangkan teman baiknya, yang sama-sama terjebak oleh keadaan. Di rumah susun ini, bukan hanya mereka berdua. Banyak juga dari kalangan pelajar yang umurnya jauh di bawah Anggun dan Aurel pun ikut melayani laki-laki hidung belang yang datang ke sini.

Semuanya terjebak. Semuanya terjebak karena keadaan yang mendesak. Gambar kupu-kupu kecil berwarna merah yang tergambar pada setiap leher wanita yang berada di sini, merupakan sebuah tanda bahwa mereka terikat dalam sisi gelap ini. Jika saja ayahnya tidak pergi bergitu saja, dan masih bersamanya, mungkin gambar kupu-kupu itu tidak akan ada di leher Anggun.

Bagi Anggun, mati pun tidak ada gunanya jika semasa hidup tidak berguna. Ibunya—yang mengidap kanker darah—alasan Anggun untuk tetap berguna, walau dalam sisi gelap.

Karena sejak tadi tidak ada yang memanggilnya untuk masuk ke kamar, Anggun memutuskan untuk pulang lebih awal. Ia terlalu khawatir pada ibunya yang terbaring lemas di rumah. Langkah Anggun percaya diri menuju ruang pengelola sisi gelap dunia ini.

Anggun mengetuk pintu yang bertuliskan ‘pemilik gedung’. Tidak lama, seorang wanita yang masih berseragam sekolah keluar dari ruangan itu. Ia sangat berkeringat sampai-sampai baju pendek yang dikenakan di dalam seragam sekolah basah. Dengan cepat Anggun masuk setelah wanita berseragam sekolah itu keluar.

“Papi, saya izin untuk pulang duluan,” ujar Anggun dengan pandangan menghadap ke bawah.
“Hah? Apa lo bilang? Baru jam berapa ini? Gila lo, ya?” jawab pria itu setengah teriak.
“Tapi, Papi, ibu saya sedang sakit di rumah. Saya harus menemaninya,” Anggun mencoba menjelaskan alasannya.

Pria itu perlahan menghampiri Anggun, “Gue enggak peduli sama keadaan lo atau pun ibu lo. Yang harus lo lakuin sekarang adalah melayani semua orang yang dateng ke sini. Lo lupa sama sumpah di balik tato kupu-kupu merah di leher lo?” pria itu tertawa kecang. “Lo enggak bisa lepas dari itu, Anggun,” sambungnya sambil memegang pipi Anggun.

Anggun masih menundukkan wajahnya. Tidak terasa air matanya mengalir saat terbayang wajah ibunya yang sedang sakit keras. Tidak banyak yang bisa Anggun lakukan saat ini. Jika saja ia memaksa untuk pulang tanpa sepengatahuan pria yang sedang di hadapannya, mungkin esok hari jika ia datang kembali, hukuman sudah menanti.

Kebenciannya terhadap sosok ayah bertambah besar saat ingatan-ingatan dahulu tergali lagi. Luka lama yang sudah mengering kini kembali mengeluarkan darah segar.

“Iya, halo,” pria itu mengangkat telepon. Ia terlihat patuh, terdengar dari cara bicara yang sangat sopan terhadap lawan bicaranya di seberang sana.

Pria itu menutup teleponnya. Menarik napas panjang dan terlihat sangat bingung apa yang harus dilakukan. Matanya menatap lekat Anggun yang masih tertunduk. Senyuman pria itu adalah sebuah tanda akan ada sesuatu yang harus dilakukan oleh Anggun.

“Oke gini,” pria itu memegang kepalanya. “Lo boleh pulang setelah ngelayanin orang yang tadi telepon. Dia udah ada di kamar nomor 45. Dia pengusaha, lo boleh minta berapa aja sama dia. Lumayan buat bawa ibu lo ke rumah sakit,”

Anggun berbalik dan meninggalkan pria itu. Pikirannya sudah sedikit tenang. Ia hanya harus melayani satu orang saja, lalu cepat pulang untuk membawa ibunya ke rumah sakit. Anak tangga dilewati Anggun dengan begitu cepat, akhirnya ia sampai di lantai ketiga dari rumah susun ini. Tepat di pintu kamar nomor 45, ia mengetuk sebanyak tiga kali.

“Masuk,” terdengar suara pria yang mungkin berumur empat puluh tahun ke atas.

Anggun membuka pintu itu. Matanya melihat tubuh seorang pria berbadan tegap sedang duduk di kasur membelakanginya. Potongan rambut rapi menggambarkan bahwa pria itu memang orang berada. Pria itu bangkit dari duduknya, dan berbalik menghadap Anggun. Seketika, langkah Anggun terhenti saat melihat wajah pria itu. Wajah yang tidak asing dilihat Anggun. Pria itu pun diam menatap Anggun.

“Anggun?” tanya pria itu.
Mata Anggun mulai berkaca-kaca. Kembali, luka yang sebelumnya sudah berdarah, kini harus tertancap pisau lebih dalam lagi. Tubuh Anggun bergetar hebat. Jantungnya seakan-akan berhenti. Ia mundur perlahan sampai menyentuh dinding.

“Ayah?” air mata Anggun akihrnya jatuh membasahi pipi.

Emosi Anggun sudah tidak terkendali. Rasa ingin melenyapkan pria tidak bertanggung jawab itu muncul tiba-tiba. Danu—ayah Anggun—datang menghampiri, berusaha memeluk Anggun sebagai seorang anak yang sudah lama tidak bertemu.

Namun Anggun menolak, ia mengambil botol minuman keras di atas meja, dan memecahkannya di kepala Danu. Danu tersungkur lemas ke lantai. Kepalanya mengeluarkan darah segar. Merasa belum puas, Anggun menusukkan sisa pecahan botol yang masih ada di tangannya pada punggung Danu.

Teriakan kencang dari Danu menggema di kamar itu. Sampai-sampai sebagian orang yang berada di kamar lain keluar dan memeriksa kamar nomor 45 yang lantainya tidak lagi berwarna putih.

*

“…Anggun baik-baik saja. Ibu jaga kesehatan, ya. Anggun sudah terbang bebas di angkasa. Yang terpenting, Anggun sayang Ibu sampai kapan pun.” Sepenggal kalimat di dalam surat yang Anggun tulis untuk ibunya sebelum ia masuk dalam jeruji besi. Anggun dipenjara atas tuduhan pembunuhan.

 

Penulis: Iqbal Fikriawan, suka dengan dunia tulis-menulis berawal dari kegagalannya mencapai sesuatu pada sekolah menengah atas. Selain itu, ia juga suka memotret untuk mengabadikan momen penting. Tulisan dan hasil fotonya merupakan perpaduan yang sangat indah. Ia sedang menimba ilmu di Unversitas Banten Jaya.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.