Tue, 22 Oct 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 14, 2020

Listen! Love is Supposed to End Nicely

Terkadang aku heran. Bagaimana bisa senyum seseorang membuat kita merasa bahagia. Aku baru tahu setelah mengalaminya. Teman dekatku dengan cepat mengerti. Hanya aku saja yang terlambat menyadarinya. Lalu aku pun tahu. Aku sudah jatuh cinta. Wah, bisakah kalian bayangkan. Aku yang selama 19 tahun ini baru merasakan indahnya jatuh cinta. ‘Terlambat’ bagi sebagian yang sudah memulainya di masa SMA. Siapa yang tahu dimana garis cinta berawal.

Indah sudah pasti. Jika berhadapan dengan Dia, kata bosan pun hilang dari kamus. Bolehkah aku sedikit bercerita tentang orang itu. Tidak banyak, hanya sedikit. Kami bertemu pada saat temu perdana para panitia ospek universitas. Seperti yang kalian tahu, panitia yang dibutuhkan untuk acara ospek sangat banyak. Sekitar dua ratus lebih. Aku mahasiswa baru saat itu. Tapi mudah sekali buatku menemukan dirinya diantara kerumunan. Suara nya benar-benar unik.

Kemudian kami masih bertemu di fakultas. Tidak hanya itu, kami juga satu jurusan. Dia dua tingkat diatasku. Yang lebih sangat klise, aku tidak tahu kalau dia juga anggota voli. Rasanya agak aneh ketika orang yang aku kagumi berada dalam jangkauanku. Untungnya, saat itu aku berada pada tahap mengagumi.

Sebuah kebahagiaan ketika engkau bisa selalu melihat orang yang kau kagumi. Aku pun menjadi sangat bersemangat. Ketika di kampus yang kutunggu adalah momen saat aku berpapasan dengannya. Melihatnya dari jauh juga sudah cukup baik. En,sangat baik. Seperti melihat idola yang tiba-tiba ia adalah kakakmu.

Kakak yang bisa kau pamerkan pada teman-temanmu. Tentu saja itu hanya khayalanku. Ia termasuk senior yang pandai bersosialisasi. Banyak pula teman-temanku yang mengaguminya. Aku hanya sehelai daun diantara bunga-bunga. Menjengkelkan.

Menghabiskan waktu dengan dia sungguh menyenangkan. Karena dia sendiri merupakan pribadi yang sangat down to earth. Beruntung sekali aku bisa berangkat ke kampus dengannya. Makan di kantin berdua. Menemaninya ketika sedang bermain voli. Mengerjakan tugas berdua. Jalan di akhir pekan. Menonton di bioskop. Dia akan tersenyum bila melihatku. Mari kita ganti kata aku pada paragraf ini dengan wanita itu.

Ya, aku yang terlambat menyadari bahwa aku telah jatuh cinta sudah tidak punya celah untuk memulai. Aku bukan tipikal orang ketiga. Yucks, membayangkan bahwa aku menghancurkan hubungan orang lain benar-benar menggelikan. Bahkan aku pun tidak setuju dengan perkataan ‘sebelum janur kuning melengkung’. Lalu, ada pula tipikal yang rela menunggu orang yang disukainya putus.

Siapa yang begitu bodohnya menunggu hubungan orang lain untuk berakhir. Bukan aku. Setidaknya sekarang sudah tidak lagi. Maksudnya, iya aku sempat menunggu. Tapi tidak lama. Setelah ujian akhir semester aku sudah tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Karena semester kedua akan berakhir dan waktu itu aku juga punya target sendiri untuk urusan akademikku.

Kini aku sudah memasuki semester tiga akhir yang berarti tahun kedua ku di kampus sudah setengah jalan. Tidak banyak perbedaan yang kutemui. Hanya saja aku menjadi sedikit lebih sibuk.

Aku mengikuti dua kepanitiaan dan satu organisasi. Selain karena aku ingin mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya di masa kuliah. Aku juga ingin menemukan dan mengembangkan kemampuan-kemampuan dalam diriku.

Tak ketinggalan pula, aku ingin memperluas jaringan pertemanan hingga lintas fakultas bahkan universitas. Selain ya sebenarnya berharap dengan kesibukanku ini, aku bisa sedikit demi sedikit mengikis rasa yang kumiliki padanya.
*

“Dev, tugas dari pak joko sudah selesai? Aku boleh lihat referensi tugasmu?” Tanya Lina padaku yang tengah merampungkan catatan dari mata kuliah yang baru saja selesai. Suara nya mengembalikan fokusku.
“Ah iya boleh, ke perpustakaan aja yuk.” Ajak ku.
“Ayo, tapi makan dulu ya.”
“Makan di kantin atau diluar kampus?”
“Kantin aja Dev, biar enggak bolak-balik.”
“Sebentar Lin, aku rampungkan dulu ini catatan.”
“Oke”

Setelah selesai dengan catatan ku yang tidak seberapa, kami pergi ke kantin. Menu favoritku di kantin ialah Batagor dengan campuran bakso krikil. Saus kacangnya yang super enak, membuat aku selalu memesan hidangan ini kala menghabiskan jam makan siang di kantin. Sambil menunggu pesanan kami datang, kami memakan cemilan yang sudah terlebih dulu dibeli.

“Dev, kamu masih gabung di klub voli?” Tanya Lina tiba-tiba.
“Masih, memang kenapa?” jawabku.
“Denger-denger nih ya, bang Andi putus pas KKN” Ungkap Lina sambil menggoda ku. Ekspresi nya seakan-akan ingin bilang bahwa ini lah kesempatanku untuk bisa mendapatkan hati bang Andi.
“Jangan begitu. Aku udah berusaha loh untuk move on, jangan diingatkan lagi.” Sahutku
“Halah, bagaimana bisa move on, di kampus masih sering nyapa. Di klub juga masih ketemu. Enggak usah menghindar deh. Kalo suka ya udah suka aja.”

Ucapan lina benar-benar membantah omongan ku terkait move on. Ya walaupun aku berniat untuk mencoba menghilangkan rasa yang kumiliki untuk bang Andi ini. Tapi sebenarnya usaha yang kukeluarkan tidak benar-benar seperti aku berniat melakukannya.

Malah sebaliknya, aku terus saja berharap ada kesempatan. Aku tahu, aku pernah bilang sudah tidak mengharapkan. Hanya saja hatiku ini yang tidak mau di ajak bekerja-sama. Seharusnya aku tidak menghindari kemungkinan kami bertemu. Namun, aku malah mencari kesempatan untuk bertemu.

Lucunya lagi, aku seperti menikmati rasa pahit dan manis ini secara bersamaan. Bagaimana lagi, toh aku terlanjur jatuh cinta. Tenang, aku tidak punya niat untuk mengganggu hubungan bang Andi dan pacarnya. Toh pada akhirnya, mereka putus bukan karena aku.

Nah, sekarang haruskah aku mencoba saran dari Lina. Bisa jadi banyak wanita yang seperti aku-menunggu kesempatan.

Setelah menimbang-nimbang, rasanya rugi kalau aku tidak mencobanya. Jadi kuputuskan untuk berusaha mendekati bang Andi. Aku tahu banyak wanita yang memilih menunggu. Tapi tidak denganku. Sayang sekali kalau hanya menunggu. Akhirnya dimulailah misi pendekatan cinta pada awal semester 4.

*

Lagi-lagi aku terhalang masalah. Bang Andi dua tahun di atasku, yang artinya dia memasuki semester 8. Singkatnya dia sudah jarang datang ke kampus. Susah sekali menemukan waktu untuk sekedar mengobrol.

“Hei, kok melamun. Seberat itu kah tugas-tugasmu?” Tanya bang Dony padaku.
“Ehehe, enggak kok bang. Cuma lagi…”
Belum selesai aku berbicara, bang Dony sudah memotongnya terlebih dulu, “Lagi membayangkan wajah Andi?” Katanya dengan senyum mengejek.
“Eh enggak kok, aku Cuma lagi mau siap-siap,” Jelasku.

Melalui bang Dony, aku akhirnya tahu kalau semua anggota klub menebak bahwa aku menyukai bang Andi. Betapa malunya aku. Ternyata rahasia yang ingin aku simpan bahkan yang sempat ingin aku hilangkan sudah menjadi rahasia umum.

Terima kasih untuk bang Dony. Setidaknya sekarang aku tidak perlu mencari-cari alasan untuk menutupi perasaanku. Bang Dony juga yang akhirnya membantuku untuk mendekati bang Andi.

*

.2 tahun kemudian
‘Para wisudawan/wisudawati dipersilahkan meninggalkan ruangan sidang’

Setelah MC mengumumkan penutupan rangkaian upacara wisuda, kami segera berkumpul dengan keluarga. Sebelum itu aku dan teman-temanku memutuskan untuk berfoto bersama terlebih dulu. Sebelum akhirnya kita pasti akan sibuk menghabiskan waktu bareng keluarga yang datang ke acara wisuda.

“Yeeeay, akhirnya kita lulus dan wisuda bareng Deeeeev!” Seru Lina
“Iyaaa Liiiin” Sahutku tak kalah heboh.

Sungguh suatu keajaiban bisa wisuda bareng teman dekatku ini. Rasanya senang luar biasa. Karena aku dan Lina sama-sama berjuang bersama dari masa awal perkuliahan. Bahkan saat kita merampungkan tugas akhir, kita juga menyelesaikannya hampir bersamaan yang hanya selisih satu minggu.

Saat sedang asik berfoto bersama. Lina tiba-tiba memukul pundakku sambil setengah kaget, “Eh itu bang Andi mau kesini”
Aku yang mendengar itu langsung menolehkan wajahku ke arah yang ditunjuk Lina. Bang Andi terlihat rapi dengan jas hitam dan celana bahan yang senada. Melihatnya senyum sambil melambaikan tangan kepadaku, aku pun membalasnya.

“Kamu kalau dandan cantik juga ya Dev,” Ungkapnya sambil memberikanku buket bunga.
“Ye elah, kan emang aku cantik dari lahir. Kamu aja bang yang enggak pernah sadar,” jawabku sambil cengegesan. Bang Andi kemudian berfoto bersamaku dan Lina. Hingga seseorang menutup mataku dari belakang.

Kemudian ia dengan nada menyindir berbicara padaku, “Baru juga ditinggal bentar sudah foto-foto dengan mantan gebetan”
Aku hanya tertawa mendengarnya. Dari saat ia menutup mataku, aku sudah tahu siapa dia.
“Sayang, mama dan papaku sudah kamu antar dengan selamat?” Tanyaku padanya
“Sudah dong, setelah kamu puas foto-foto disini, kita langsung menyusul mereka untuk makan siang.” Jawabnya.
“Ya sudah sekarang aja.” Kataku menanggapi.

Aku pun berpamitan pada Lina dan teman-temanku yang lain. Setelah itu aku mengajak bang Andi untuk ikut makan bersama. Namun, pacarku yang cemburu nya sudah mengalahkan asam cuka ini menolak.

“Devi Sayaaaang, enggak usah ajak Andiiiii”

Andi yang mendengarnya pun membalas, “Siapa juga yang mau ikut” lalu ia menambahkan. “Dev, buang aja ni orang kalo udah enggak tahan lagi. Atau jadian sama aku boleh kok”

Aku yang sebenarnya sudah terbiasa dengan tingkah mereka berdua jika bertemu hanya bisa menghela napas.

“Bang Dony, dia ini sepupumu, coba dong kalian berdua akur sedikit kenapa sih.” Pintaku
“Dev, aku itu bisa akur sama siapa aja, kecuali dia doang,” Jawab bang Dony.
“Dev, aku langsung pamit ya, masih ada kerjaan nanti. Aku kan enggak kayak pacarmu ini.” Sahut bang Andi yang langsung kabur tanpa menunggu jawaban.
“maksud dia aku enggak punya kerjaan gitu? tuh kan Dev, menghina banget dia. Enggak tahu apa ya kerjaan aku sebanyak apa,” Omel bang Dony yang melihat sepupunya pergi.
Aku pun menenangkan bang Dony seperti biasa,“Iya-iya ayo kita juga pergi.”

Setiap kali bang Dony dan bang Andi betemu, ada saja yang mereka ributkan. Aku menjadi terbiasa dan selalu berusaha untuk menengahi. Alasannya mungkin cukup rumit. Ketika aku dan bang Andi mulai dekat, aku juga menyadari bahwa apa yang kurasakan tidak sama dengan apa yang kurasakan untuk bang Dony.

Saat itu aku memang bingung. Namun, aku sangat yakin rasa sukaku untuk bang Andi tidak lebih tinggi dari rasa sukaku pada bang Dony. Pada akhirnya aku memilih bang Dony.

Ada hal yang lebih penting dari sekedar bahagia melihat seseorang itu tersenyum. Seperti aku yang pada awalnya menyukai bang Andi. Merasa bahagia menghabiskan waktu dengannya. Lalu kemudian menyadari, aku lebih menantikan waktu untuk bertemu bang Dony.

Aku lebih menyukai obrolan-obrolan kecil kami. Aku menyukai perdebatan kami. Aku juga menyukai ekspresinya ketika ia dengan serius mendengarkan segala macam keluhanku. Bersama bang Dony aku merasa lebih bahagia dan bisa menjadi diriku sendiri.

Begitu kan seharusnya cerita cinta berakhir. Engkau akan bahagia bila memilih dengan bijak. Seperti aku yang bisa sajamemilih untuk terus mendekati bang Andi.

Tapi hasilnya bisa jadi tidak bahagia. Mungkin aku akan lelah karena terus mengejar dan berakhir patah hati. Atau mungkin juga aku berhasil dan kita akan bersama. Hanya saja, jika perasaan yang kupunya tidak cukup kuat, aku akan meragukan perasaan bang Andi.

Apakah ia bersamaku karena luluh dengan usahaku atau rasa kasihan yang sebenarnya ia miliki untukku. Namun, aku menyerah dan itu pilihanku. Karena dengan sadar aku memperhatikan arah perubahan hatiku.

 

Penulis: Fitri Alfia, freelance translator.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.