Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 27, 2020

Masa Putih Abu

Apakah kau tahu, masa putih abu adalah hal terindah dari jenjang formal lainnya? Terlalu indah hingga semesta tak pernah membiarkanku mengecap masa itu. Entahlah, kutukan apa yang menimpaku. Manusia yang kutemui di sana seperti monster. Mereka begitu percaya diri membully, mencaci maki orang lain. Sialnya, mereka terwujud dalam bentuk yang tak bisa kuhindari. Mulai dari kepala sekolah, para guru bahkan staf tata usaha. Bayangkan saja semua profesi dalam papan susunan sekolah menolak hadirku.

Terlalu rajin dirumah saja lahirkan pilu hingga sebabkan sulit tidur. Seketika teringat nada kelam yang terjadi dua tahun lalu. Aku tersentak, mengapa aku mengingatnya kini? Mengingat hal lalu seraya berbagi malam dengan kacaunya bumi dilanda pandemi menyatukan muak dan dendam kesumat. Kan ku ceritakan semua, kejadian saat itu, yang kuharap takkan kembali kurasa.

Mentari muncul penuh sukarela di cakrawala. Hilangkan Shyam indah dan berkawan dengan kicauan yang menyapa pelan. Sekolah baru. Orang baru. Tak ada yang mengenalku sebelumnya, hingga kubebas berteman dengan siapa pun. Namun semua angan tadi berubah. Mataku mengerjap tak percaya. Kutengok seisi kelas seakan membeku. Hening. Sampai kudengar berontak jantung dan pergeseran lentik jam. Langkah pelan menuju dudukan depan. Tempat yang bahkan tak ada lalat yang hinggap. Di bangku itu, hanya aku.

Semester awal memanglah nikmat, semua makhluk terpesona dengan paras cantikku dan body langsing yang diidamkan semua wanita, mereka pun selalu mendukungku dalam bidang apa pun, ditambah menjadi juara umum.

Mengais gelar juara memancing guru tuk menyuapi berbagai macam lomba. Beberapa kompetisi pulang dengan kemenangan, Sampai seisi sekolah heran denganku. Dulu, Aku sangat menyukai makeup karena itu adalah kunci dari kecantikanku, dan diet adalah kunci dari bodyku. Hingga segala yang kulakukan Berdampak buruk terhadap diriku sendiri.

“Hei jelek, udah jarang lomba ya. Kasian banget udah gak dianggap sama sekolah lagi haha.” Ujar mereka. Oh iya, aku bernama Lia dan Mereka adalah teman baikku saat aku di semester satu namun kini Pertemanan kami telah berakhir karena aku yang tak secantik dulu. Wajahku berjerawat, dokter bilang ini penyebabnya aku sering menggunakan makeup.

“Sedih banget ya, pasti mukanya perih banget tuh” celetuk salah satu dari mereka.

Diam adalah jalan ninjaku. Walau gema hati berontak. Awal sekolah aku beranggapan mereka sesuci malaikat, sekarang aku yakin hatinya seperti makhluk penghuni neraka yang paling dalam.

Keluar dari ruang guru, aku enggan pergi ke kelas jadi kutenangkan diri di taman belakang sekolah, seraya melihat hasil ulangan yang kuambil tadi di ruang guru. Sial, nilai ujian matematika yang ingin kuperlihatkan kepada ibu ternyata hasilnya tidak memuaskan, aku mendapat nilai 50. Panik serasa membunuh cerahnya langit.  Hingga bel beritakan pulang, aku masih di tempat itu dengan derai air mata tak henti mengalir. Alasan apa yang harus kuutarakan kepada ibu agar iblis dalam dirinya tak keluar?

Langkah pelan kembali ke kelas.  Salah satu guru memanggil dan berkata “Kamu sekarang nilainya jelek, jadi ibu tidak akan menyuruh kamu untuk mengikuti perlombaan lagi. Dan wajahmu itulah akibatnya kamu sering memakai makeup ke sekolah.”

Hmm, kata-kata itu.. Aku hanya dapat mengiyakannya. Bukan meninggalkan kewajiban sebagai seorang siswa. Aku hanya tidak ingin pembicaraan ini menjadi semakin panjang. Aku baru saja pergi dari taman dan mengusap wajah dengan lengan baju yang sudah berwarna putih kusam. Tangisan masih bergelayut di mata tak membuat beliau simpati.

Sesampainya dikelas peralatanku masih tergeletak berhamburan tak ada yang peduli. Aku duduk di bangku depan, menyelonjorkan kaki dan berpikir. Dulu semua orang memujiku tetapi sekarang mereka semua menghinaku. Sekolah ini sekarang menjadi menakutkan, karena mulut-mulut dari penghuninya yang sangat dapat membinasakan.

Aku pulang. Menutup gerbang dan masuk ke kamar dengan langkah perlahan. Tas berisi buku kulempar begitu saja ke atas kasur. Seharian ini perasaanku benar-benar tertekan karena dimarahi kepala sekolah dan tata usaha, di caci maki sama guru dan kawan, ditambah lagi nilai ulangan yang tak memuaskan.

Aku beranjak dari kasur untuk menghampiri cermin besar yang ada di depan jendela kamarku, selain mengamati wajahku yang berjerawat aku juga mengamati badanku yang terlihat lebih gempal serta perut yang berbeda dari biasanya. Perutku terlihat buncit. Aku panik, sepertinya ini adalah akibat karena aku sudah tidak diet lagi.

Langit menggelap, secara mendadak hujan turun. Pilu memang bisa terlalu. Seperti hujan yang kelewat deras. Aku bangkit dengan pakaian seragam kusam, menuju ke arah meja makan tuk menceritakan hasil ulanganku tadi.

Aku sudah melupakan tentang perutku yang buncit dan kembali ke masalah nilaiku. Sudah kuperkirakan, ibu akan terkejut saat kukatakan nilaiku sangat jelek.

Kulirik ibu. Dia pura-pura sibuk menyayat bolu di piring. Tapi kutahu, melalui bentuk bibirnya yang mengatur tajam, dia kesal denganku. Kujelaskan cerita tentang mengapa nilaiku bisa jelek saat ulangan tadi. Ibu masih saja sibuk dengan bolunya. Padahal bolunya itu tersayat habis dan tersusun rapi. Apa perlu kutambah buah ceri agar menawan? Seharian kena bully, ditambah ibu yang mendiam. Bukan menyerah, tetapi sudah gerah dengan kondisi yang memerah.

Esok harinya, seakan dunia tambah kejam. Di rumah ibu diam, di sekolah semua membicarakan paras burukku. Aku sengaja berangkat terlambat. Sampai di sekolah, tentunya aku akan dihukum karena datang terlambat. Salah satu guru menghampiriku dan kembali melontarkan kata-kata menyakitkan padaku.

“Lia, kamu selalu saja bikin masalah di sekolah ini. Selalu saja tidak taat aturan, sekolah ini dipandang jelek karena kamu. Dan sekarang ibu mau kamu nyapu dan ngepel semua lantai kamar mandi hingga pulang sekolah.”

Dan aku hanya bisa mengiyakan dan menahan tangis di hadapannya. Di mata mereka, aku kini terlihat seperti sampah sekolah. Bodyku yang tidak selangsing dulu dan parasku yang tak secantik dulu, serta prestasi yang kini sudah tidak kumiliki. Kukira mereka semua dapat menerimaku apa adanya. Ternyata, kadang apa yang kita pikirkan, tak seindah yang kita duga. Kini aku sudah kebal dengan semua hujatan, aku tak peduli kondisi sekitar karena sekitar juga tak peduli denganku.

 

Penulis: Melda Maritza Permana, siswa SMAN 1 Cileungsi dan Ketua Lomba Komunitas Pemberdayaan Sastra.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.