Menguar
Piring di meja makan dihambur begitu saja oleh Sofyan. "Nasi dan Lauknya mana Ida!?" teriak Sofyan pada istrinya.
Imam, anak semata-wayang mereka yang masih berumur enam tahun, hanya bisa menutup telinga menggunakan dua jemarinya yang masih mungil.
Di kamar Imam, yang tepat berada disamping meja makan, Ida mendekap erat Imam yang masih berumur enam tahun. Sofyan menggedor pintu kamar Imam, bak memukul bedug membangunkan warga untuk sahur.
Ida bergidik ngeri. Ia mengecup kening Imam yang masih menutup telinga. Tangan Imam ia loloskan, sembari berucap dengan lirih "Kamu jangan keluar ya nak. Tunggu Ibu di sini!" satu tetesan air mata jatuh di tangan Imam. Ida tak mampu membendung kesedihannya.
Ida keluar meninggalkan Imam seorang diri di kamar.
Semenjak pernikahannya, Ida selalu berharap bahwa hidupnya akan bahagia walau sederhana, dipersunting oleh Sofyan -- laki-laki yang telah memacarinya dua tahun lebih. Namun, berkebalikan, janji Sofyan kala itu hanya sekedar bualan belaka. Janji untuk mencari penghidupan setelah pernikahan, tidak dilaksanakan oleh laki-laki pengecut macam Sofyan.
Setelah Imam lahir, Sofyan tidak jua serius mencari penghidupan. Sofyan malah asik keluyuran malam.
Ida hidup mengandalkan kiriman orang-tua dan mertuanya. Bekali-kali ia diminta untuk menceraikan Sofyan. Ida kekeh tidak ingin cerai. Ia yakin bahwa Sofyan akan menepati janji untuk membahagiakan dirinya.
Satu tahun lalu, saat usia Imam beranjak lima tahun, orang-tua Ida beserta Mertuanya bersepakat untuk berhenti mengirim uang pada Ida jika tidak segera menceraikan Sofyan. Ida tetap kekeh, mempertahankan Sofyan. Alhasil tak ada lagi kiriman uang.
Tanpa ba-bi-bu. Sofyan langsung menempeleng istrinya. Imam tak sanggup mendengar semuanya. Namun, rasa penasaran, menuntun Imam berjalan ke pintu. Ia menempel kupingnya ke pintu kamar untuk menguping pembicaraan orang tuanya.
"Lauk dan nasinya mana?" ucap Sofyan setelah menampar keras istrinya.
"Habis," jawab Ida lirih mengusap pipinya yang memerah.
"Belilah, perempuan goblok!" maki Sofyan.
"Hutang kita di kios sudah menumpuk, bang. Malu aku harus menghutang terus!" ucap Ida mencoba berontak.
"Malu katamu!?" tanya Sofyan mencekik leher Ida menggunakan tangan kanannya.
Nafas Ida tercegat. Cekikan Sofyan terlampau kuat.
"MALU KATAMU!!!?" tanpa melepaskan cengkeramannya, Sofyan membanting keras tubuh Ida ke pintu kamar Imam yang tak terkunci. Pintu kamar terbuka, Imam yang menguping terhempas jauh akibat benturan.
Sofyan menghempas tubuh Ida. Ida terjatuh di depan Imam. Imam segera bangkit memeluk Ibunya. Longsor sudah pertahanan Ida dan Imam. Mereka saling dekap dan saling tangis.
"Gadaikan emas kawin kita!" bentak Sofyan.
Dengan suara tangis, Ida berkata bahwa emas kawin mereka telah digadaikan bulan lalu buat makan sehari-hari. Emas kawin tersebut digadaikan atas perintah Sofyan sendiri.
Ida mengingatkan bahwa satu bulan kedepan adalah tanggal pernikahan mereka yang kedelapan tahun. Semestinya mas kawin tersebut ditebus sebelum tanggal pernikahan.
"Dasar perempuan tidak berguna!" Sofyan berlalu meninggalkan Ida dan Imam.
Sore hari, selepas insiden pagi, Ida mengajak Imam berjalan-jalan. Mereka berdua menyusuri Taman. Imam menatap Ibunya yang lusuh. Gairah hidup Ida sedang jatuh. Masa depan yang ia impi-impikan, gelap tak berpendar. Belum lagi mas kawin mereka yang telah tergadaikan. Besok akan makan apa. Ida dirundung banyak pikiran.
Setidaknya sore ini mereka bisa bernafas. Berjalan-jalan di taman tanpa disertai oleh Sofyan.
Setelah berjalan-jalan di taman. Ida dan Imam menuju toko emas Cah Atong.
Etalase-etalase penuh akan emas murni. Cincin, kalung, gelang dan lain sebagainya.
"Eh ada Bu Ida, mau nebus emasnya Bu?" tanya karyawan toko emas.
"Belum jeng. Emasku masih utuh kan?" tanya Ida.
Karyawan mengeluarkan emas dari laci yang tertempel nama 'Ida Rahayu'. Karyawan tersebut mempersilahkan Ida untuk memeriksa. Ida melihat-lihat emas kawinnya. Matanya berbinar. Ada rasa ingin memakainya kembali. Namun apa daya, emas kawin tersebut belum dapat ia ditebus.
Imam melihat Ibunya yang sangat ingin memiliki kembali emas kawin tersebut.
Ida mengembalikan ke pegawai, "Secepatnya ya jeng aku tebus." ucap Ida.
Ida berjalan, namun Imam masih berdiri di depan etalase. "Yuk pulang nak, bentar lagi gelap." panggil Ida.
Imam menoleh ke Ibunya, kemudian menoleh kembali ke almari yang bertuliskan nama Ibunya.
"Buru nak pulang"
Imam pun berlari ke Ibunya. Mereka pulang.
Malam hari Ida tidur di kamar Imam. Hanya Imam-lah satu-satunya semangat, yang membuatnya masih kuat menjalani hidup.
"Kamu harus sukses nak. Jangan seperti ayahmu!" ucap Ida yang mengira Imam telah tertidur.
Semalaman Imam dirundung pikiran tentang emas kawin Ibunya. Imam sangat ingin melihat Ibunya bahagia. Namun ia berdaya untuk menebus emas kawin tersebut.
Keesokan paginya, Imam sudah tidak berada di dekapan Ida.
"Imam!" teriak Ida.
Ida mencari ke kamar mandi belakang rumah, mencari ke halaman rumah, mencari ke seluruh sisi rumah. Tak ia temukan keberadaan Imam.
Tetangga yang baru saja pulang dari pasar pun turut ia tanyai. "Jeng, lihat Imam?"
"Tadi aku lihat dia pagi-pagi buta di taman dekat pasar Jeng" ucap tetangga tersebut.
Ida segera berlalu menuju taman.
Ida menyusuri seluruh taman sembari berteriak memanggil-manggil nama Imam.
"Naudzubillah!"
"Astaghfirullah!"
"Ya Tuhan!"
"Tega kalian!"
"Binatang kalian!"
"Laknat!"
Suara-suara tersebut menggema dari kejauhan. Ida yang mendengar sumpah-serapah tersebut segera berlari menuju kerumunan. Isakan tangis ibu-ibu beradu dengan suara makian para pemuda dan laki-laki dewasa yang merasa puas dengan apa yang telah mereka lakukan.
Ida mencoba meloloskan diri hendak melihat hal yang terjadi di tengah kerumunan tersebut.
"Permisi Jeng, ada apa ya di tengah?" tanya Ida ke wanita di sampingnya.
"Katanya, ada maling jeng!"
Ida penasaran. Ia menyelip diantara kerumunan, meloloskan diri sampai ke tengah kerumunan. Sesampainya di tengah, ia beristighfar. Maling di depannya sudah tak berbentuk. Api telah melahap habis daging maling tersebut. Hanya sisa bau bakar yang menguar.
'Bagaimanapun, manusia ini punya keluarga, tidak pantas dibakar, sekalipun ia adalah maling' pikir Ida melihat bangkai yang telah gosong.
Ida melihat kilau cahaya dari genggaman bangkai tersebut. Ia mendekat. Ternyata emas kawinnyalah yang telah dicuri oleh maling tersebut.
Penulis: Baso Pattola Ade, Lahir di Segeri, Pangkep pada 17 Agustus 1994. Menjadi penggiat di komunitas literasi. Saat ini aktif menulis dan mereview buku. Jejaknya bisa dilihat di akun instagram @basopattolaade.