Metamorfosis
Aku berharap, aku bisa terlahir sebagai ulat. Makhluk kecil yang membuat badan gatal dan mati jika diinjak. Ukurannya memang kecil, tapi aku bisa membuatmu sengsara jika kau menyentuhku. Tidak ada satupun makhluk yang berani mendekatiku, dan aku tidak akan tersakiti oleh siapapun karena aku pandai bersembunyi.
Mungkin saja sekarang aku sedang bersembunyi dibalik bajumu, menyelinap di rambut kepalamu atau masuk ke dalam lubang telingamu. Aku bisa ada dimana saja.
Jika aku ingin menjadi ulat, maka aku harus makan banyak dedaunan. Aku cicip satu, rasanya pahit. Aku cicip dua, kok perutku malah mengeluarkan suara bergemuruh. Aku cicip tiga, isi perutku malah keluar semua. Ah, menyebalkan.
Ibu menahan tanganku yang ingin memasukkan daun-daun kotor ke dalam mulutku, aku tertangkap basah melakukan hal yang aneh lagi.
“Kamu terlahir cacat bukan karena Tuhan membencimu, hanya saja Tuhan keliru memasukkan ramuan untuk menjadikanmu manusia yang utuh. Kamu itu spesial, lebih sempurna dari makhluk lainnya.” Ibu mengecup pipiku, menjatuhkan tubuhku ke dalam pelukan hangatnya dan mengucapkan lagi kata-kata menenangkannya setiap kali aku terlihat bersedih.
Tapi Ibu, aku tidak sedang bersedih. Aku tidak kecewa dengan kekuranganku ini. Aku yakin, aku bisa bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang menawan.
***
Sinar matahari mengusik tidurku, aku menggeliat dibalik selimut dan berteriak. Dengan secepat kilat Ibu masuk ke kamarku dan membenarkan tirai jendela, lalu menutup cahayanya agar tidak tersentuh oleh kulitku. Aku menghela napas lega dan berterimakasih kepada Ibu,
“Makasih bu, hampir aja kulitku terbakar.”
Ibu menarik tanganku yang bersembunyi di dalam selimut, “Sebelum tidur jangan lupa tutup jendela, masa setiap pagi Ibu lari-larian ke kamar kamu. Ayo bangun, waktunya sekolah. Sarapan ada di atas meja ya, sayang.”
Aku mengangguk, tubuhku mengikuti tarikan tangan Ibu hingga tubuhku bisa berdiri di atas lantai. Aku mengambil handuk yang berada di gantungan baju dan bersiap untuk mandi, tapi sebelum masuk ke kamar mandi aku akan mencicipi roti bakar buatan Ibu.
Karena meja makan dekat dengan kamar mandi, aku bisa mampir dulu untuk icip-icip. Dari dulu hingga sekarang rasanya masih tetap enak dan wangi, air liurku menetes tanpa sepengetahuanku. Ibu yang berada di dapur melihatku sambil berdecak dan menyuruhku untuk bersih-bersih diri terlebih dahulu.
Aku tersenyum jahil, tanganku mencomot satu buah roti bakar, dan aku langsung kabur masuk ke dalam kamar mandi.
“Erika! Kamu jorok banget! Masa makan di dalam kamar mandi?!” Ibu menggedor-gedor pintu kamar mandiku, tapi aku tidak menghiraukannya.
Aku lapar tapi aku juga perlu mandi, jadi aku akan makan sambil mandi saja. Selain menghemat waktu, aku juga tidak akan telat masuk sekolah. Aku berdiri di depan cermin dan melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuhku, warna kulitku tidak berubah dan masih tetap putih seperti habis di siram cat putih.
Tapi warna putihnya semakin memucat. Aku juga menemukan beberapa tahi lalat berwarna merah muda di sekitar muka dan tanganku. Aku memegang rambutku yang kemarin baru aku warnai dengan warna hitam, ternyata warna kemerahan masih tetap muncul disana. Aku memang tidak rapi menyelesaikan segala pekerjaan yang mudah.
“Kapan aku akan berubah menjadi ulat?”, aku membuka toples kecil yang berada dibalik cermin. Mengambil satu buah nutrisi dan memakannya rutin setiap pagi. Setiap kali aku mengunyahnya, dia masih bergerak-gerak di dalam mulutku.
***
Aku tidak suka berada di luar ruangan, apalagi berada di tempat-tempat yang membuatku tidak nyaman untuk tinggal berlama-lama. Aku harus memakai kacamata hitam dan pakaian panjang yang menutupi seluruh kulitku. Tercium sedikit sinar matahari saja aku tidak tahan, aku juga harus melumuri tabir surya di setiap inci kulitku. Aku selalu membawa benda itu kemana-mana.
Teman kelasku, Jessica yang baik hati selalu mengerti diriku. Dia mengajakku ke tempat-tempat yang tidak ada sinar mataharinya, sesekali kita juga pergi ke taman. Walaupun sebentar, aku bisa menangkap beberapa ulat saja sudah membuatku senang. Aku sangat berterimakasih padanya.
Di saat teman-temanku yang lain mengejekku karena aku terlihat seperti makhluk buruk rupa, Jessica membuka lebar kedua tangannya dan menerimaku sepenuh hati. Hari ini adalah hari ulang tahun Jessica, aku sudah menyiapkan hadiah spesial untuknya. Aku mengira selera kita sama, tetapi dia malah membuang kado dariku dan berkata itu menjijikan.
“Rika! Ini bukan suatu hal yang bisa dimakan! Kamu mau ngeracunin aku?!” Ucapnya kecewa.
Aku memegang lengannya dan berkata, “Kamu juga berharap bisa bermetamorfosis menjadi sempurna kan? Aku kira kita memiliki pemikiran yang sama.”
Jessica terlihat terkejut, dia buru-buru melepas genggaman tanganku dan berjalan menjauhiku. “Kamu aneh Rika, aku suka berteman sama kamu, tapi aku gak tau kamu punya pikiran aneh seperti ini. Lebih baik aku tidak mengenalmu.”
Setelah mengucapkan itu, aku dan Jessica tidak pernah berinteraksi lagi. Sepanjang hari di sekolah, dia menjauh dariku dan menghindari tatapanku. Hubungan kita berantakan, tapi aku tidak mengerti apa yang salah dari kado yang aku berikan. Kita sama-sama ingin bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, aku dan Jessica memiliki impian yang sama, lantas mengapa sekarang dia keluar dari hidupku.
Sesampainya di rumah, aku hanya mengurung diri di dalam kamar. Ibu bertanya apa yang terjadi di sekolah, tapi aku tidak menjawabnya. Ibu mengetuk pelan pintu kamarku dan berbisik diantara celah pintu.
“Nak, apapun yang terjadi itu semua bukan salahmu. Itu salah mereka yang tidak mengerti kemauanmu.” Setelah mengucapkan itu, Ibu pergi meninggalkan aku seorang diri.
Aku terduduk dibawah sinar rembulan sambil memeluk lututku, angin dingin menggelitik kulitku, dan air mataku semakin lama semakin deras. Kedua tanganku menarik-narik akar rambutku, dan kakiku menendang-nendang udara. Aku tidak memiliki kesalahan apapun, aku tidak salah. Mereka semua yang tidak mengerti aku, karena aku spesial.
Aku menangis meraung-raung hingga suaraku menjadi serak, dan tenggorokanku sakit. Dengan kondisi yang sangat menyedihkan, aku berdiri dan mengambil toples yang ada dibawah kasurku.
“Aku akan bermetamorfosis.”
Aku menjatuhkan toples yang aku pegang hingga isinya berceceran di lantai, aku memunguti dan memasukkan satu per satu makhluk menggeliat itu ke dalam perutku. Aku ingin menjadi kupu-kupu yang menawan.
TAMAT
Penulis: Tisa Betadara, mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan aktif di UKM Belistra. Hobi mengarang dan mendenganrkan musik.