Sat, 07 Dec 2024
Cerpen / Ayu Fitrohtun Nur Aini / Dec 16, 2023

Muara Cinta

Angin kental bergelayut di tubuhnya, cahaya bintang gemintang berpendar beradu dengan terang dengan purnama. Ia menatapnya takjub, mengakui keagungan Tuhannya.

Hawa dingin sejuk memeluk dirinya yang tengah menikmati malam yang indah itu. Namun, keindahan itu seketika tak ada artinya lagi, memudar perlahan seiring kenyataan pahit yang kini menimpanya. Seketika tatapannya nanar mendengar ucapan dari sang kekasih.

“Aku harus pergi. Tiga tahun tidaklah lama. Aku akan berjuang untukmu. Jadi, tunggulah aku.” Ujar Reza padanya.

Si wanita hanya bergeming ditempatnya, tak menoleh barang sesenti pun, tak menatapnya barang sedetikpun. Akan tetapi, ia mengerti alur pembicaraan ini.

“Masuklah, sebelum ada yang melihat kita,” pinta Reza sambil melihat sekeliling. 

Si wanita tetap diam.

“Himma, aku mohon mengertilah!” pinta Reza lagi. Himma menghembuskan napas panjangnya lalu beranjak dari tempatnya duduk.

“Aku ngerti,kok. Aku akan menunggumu. Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Jika memang kau adalah aku yang lain, kita pasti bersama sesulit apapun itu.” Jawab Himma akhirnya.

Setelah memikirkannya panjang kali lebar kali tinggi, cintanya lah yang akan menguatkan mereka untuk saling menanti satu sama lain. Himma pun masuk ke asrama putri setelah mengucapkan salam perpisahannya untuk Reza.

Sedangkan Reza hanya terdiam sambil memandang sang kekasih yang kini mulai menghilang di balik tikungan tembok pesantren.

Reza Hafidz Ramadhan, santri pondok pesantren Tabassam Ploso Mojo Kediri. Ia harus pergi merantau demi meneguk ilmu pengetahuan dan memperkuat hafalannya. Himma Al-Ulya, sang kekasih Reza harus menanggung rindu untuk menanti sang pujaan hati kembali dari perantauannya.

Hingga tiba saatnya, tiga tahun kemudian...

“Himma, kau dipanggil Kyai dan Bu Nyai. Disuruh ke ruang utama ndalem.” Ujar Nindi sahabat Himma saat ini.

“Sekarang?” tanya Himma memastikan apakah itu candaan atau hanya untuk menakut-nakutinya saja. Namun, Nindi hanya menjawab dengan anggukan dan menampilkan ekspresi wajah yang serius. 

“Udah cepetan! Jangan lupa pakai baju yang bagus.” Bentak Nindi, karena ia tak juga beranjak dari persemediannya-kasurnya.

***

“Wonten nopo njeh, Bah?” tanya Himma setelah ia duduk di hadapan Abah Yai dan Bu Nyai.

“Ngeten lo, Nduk. Umurmu saiki wes pas. Abah dan Umi juga sudah punya calon buat kamu. Piye, Nduk?”

Himma terdiam. Tak berani menjawab. Bukan karena tak setuju atau apa, ia hanya tak bisa bicara apa-apa lagi sekarang. Ia benar-benar tidak tahu.

Selain terkejut dengan dawuh Kyai nya, tentu saja ini bukan masalah sepele. Ini tentang hidupnya, ia lah yang akan menjalaninya nanti.

Lalu bagaimana dengan pengorbanannya menanti Reza selama tiga tahun ini? Akankah pengorbanan itu tersia-siakan begitu saja, terbengkalah termakan waktu, rusak oleh takdirnya sendiri?

“Yawes, sekarang kamu pikir-pikir dulu saja, njeh. Jangan lupa bilang ke ibu bapakmu. Kami menunggu kabar baik darimu, Cah Ayu.” Dawuh Bu Nyai pada Himma. Sebagai perempuan Beliau sangat memahami kegalauan yang Himma alami saat ini.

“Sekarang pulanglah dulu, Nduk. Minta pendapat orang tuamu. Dan segera buat keputusannya. Dan ingat minta petunjuk dari Allah juga, minta yang terbaik pada-Nya.” Tutur Kyai nya lagi.

Himma hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Lalu dengan perlahan mulai berjalan mundur, kembali ke kamarnya.

***

“Baiklah,Pak. Aku akan mencoba menerimanya dengan baik dan ikhlas.” Jawab Himma setelah perdebatan panjang dengan bapak ibu nya.

Perasaannya benar-benar kacau saat ini. Orang tuanya sepakat dan mendukung seratus persen perjodohan ini yang namanya anak, Himma tahu ia harus menuruti keinginan orang tuanya yang sudah mendidik dan membesarkannya.

Namun soal hati dan perasaan jangan ditanya lagi. Cinta tak bisa dipaksakan. Akan tetapi, Himma sadar bahwa terkadang kenyataan memang tak sesuai dengan ekspektasi kita.

Perjuangannya atas nama cinta mungkin tak akan terbalaskan sesuai dengan keinginannya, tapi Tuhan Maha Tshu yang terbaik untuk hambanya.

Dan tibalah saatnya acara lamaran yang akan dilaksanakan di ndalem utama dan dihadiri oleh beberapa santri, pengurus, dan tak ketinggalan Abh Yai dan Bu Nyai serta kedua orang tua Himma yang kini berada tepat di sebelah Himma.

Himma duduk di kursi sebelah Abah Yai dan orang tuanya dan tak lama kemudian sesosok pria datang ke arahnya bersama dua orang yang sudah berumur lansia.

Himma tetap dalam posisi menunduk-dari awal datang ia hanya menunduk-sampai akhirnya ia mencoba mengangkat wajah cantiknya untuk melihat seperti apa calon imamnya.

Pada saat yang sama sang pria pun sedang menatap Himma. Tatapan keduanya bertemu, Himma kaget bukan kepalang. Lain halnya dengan si pria, yang malah tersenyum padanya, dan sedikit menggoda dengan mengedipkan mata.

Ternyata oh ternyata, si pria yang berhadapan dengannya dan sebentar lagi akan menjadi calon suaminya itu ialah sosok pria santriwan yang telah lama ia nantikan kedatangannya selama tiga tahun terakhir ini.

Himma begitu kaget dan bahagia hingga tak terasa air matanya luruh begitu saja dari kelopak mata yang indah itu mengenai pipi lembutnya.

Tuhan telah mengabulkan segala doa pintanya selama ini, Tuhan dengan segala hal yang di luar nalar selalu bisa memberikan apapun kepada hambanya, apapun yang terbaik untuk hambanya.

Reza Hafidz Ramadhan, kekasihnya kini datang untuk memenuhi janjinya, melamar dan menikahi Himma agar bisa mensucikan cinta yang mereka jaga selama ini.

Janjinya tak pernah lenyap walau sekejap. Setelah ini awal baru menantinya di depan mata. Kini ia akan siap menghadapi hidupnya bersama orang yang ia cintai. 

 

 

Penulis: Ayu Fitrohtun Nur Ainitengah menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah di kota tetangganya yaitu di Tulungagung. Ia mengambil program studi Bahasa dan Sastra Arab. Dapat ditemui melalui instagram @gituaja.kok.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.