Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 31, 2020

Orkestra Huma

Alea yang cantik. Aku memendam rindu padamu. Di kejauhan, disaksikan siul burung yang bercinta, ditemani semilir angin musim gugur, ku hadapkan muka pada langit yang mungkin sama dengan langit yang menaungimu. Pada sebuah rumah ilalang yang hangat, ku pijit dia, ku belai dia untuk memenuhi hasratku sebagai pria. Dia yang mungkin kamu benci. Tapi ketahuilah semesum apa aku dengannya, tetap saja kamu lah yang paling ku rindukan.

Dia begitu indah Alea, hingga aku tak bisa mengendalikan diriku untuk terus bersamanya. Maaf jika ini adalah alasanmu meninggalkanku. Dan dia pula lah alasan untukku mengasingkan diri dari kota, selain untuk menyembuhkan luka.

Pada sebuah malam yang semu, aku masih bersenggama dengannya. Sejenak ku resapi setiap darinya dan aku kembali teringat akan kamu. Ku ambil kayu, ku rangkainya menjadi sebuah kotak yang yaahh tidak terlalu elok. Ku hias kotak itu dengan darah babi hasil perburuanku petang tadi. Warnanya kini merah menyala, seperti hatiku yang masih utuh untukmu meski kini aku masih bersamanya.

Ku tambahkan ilalang kering di bagian luar kotak itu, serta bunga-bunga indah yang tidak sepanjang tahun mekar. Elok rupanya kotak itu, seperti kamu lengkap dengan gaun pengantin berlapis swarovski, dan rambut ikal yang menjuntai hingga pinggangmu. Ku timang-timang kotak itu, ku perhatikan sekiranya itu pantas ku kirimkan untukmu.

Sekali lagi tanpa bosan ku mainkan dia yang mungkin kamu benci itu, ku lewati sepanjang malam dengannya. Dan keindahan darinya ku abadikan di setiap inderaku. Lantas ku geletakkan dia yang sudah lemas tak berdaya, dan ku ambil lagi kotak yang tadi ku selipkan di bawah selimut bulu domba itu.

Segala keindahan yang telah ku abadikan di setiap inderaku tadi ku letakkan di kotak kayu itu. Ku hias kembali dengan bunga-bunga tidur, dan bintang serta secuil purnama yang ku pesan beberapa hari lalu pada Tuhan.

Aku langsung turun dari huma itu, sejenak meninggalkan dia yang terlelap dan menuju kantor pos. Berharap mereka mau mengantarkannya untukmu. Kotak itu tertanggal 14 Gamelion tahun kekeringan. Terukir pula namamu yang indah Alea Raaina. Dan hanya kamu yang boleh menerima serta membuka kotak itu.

Alea

Apa-apaan ini Akash? Kamu gila yaa. Jadi orang jangan bodoh amat dong. Kamu kira ini pantas? Kotak usang, anyir, dengan bunga-bunga busuk yang sudah mengering. Ini bunga darimana? Tidak ada bunga seperti ini di muka bumi. Kamu manusia atau alien sih?

Aku sungguh heran denganmu Akash. Kotak itu tertanggal 14 Gamelion tahun kekeringan. Helloo kamu hidup di belahan bumi mana? Tahun kekeringan sudah seabad lalu, ini adalah tahun tanpa malam Akash. Ini lagi apa? Bintang, secuil purnama, kenapa tidak sekalian galaksi saja kau kirim untukku. Supaya tidak ada tahun tanpa malam jika kamu sudah tahu sebelumnya. Kamu menghina nih?

Aku semakin yakin, kamu nih bukan manusia rupanya. Hari gini kirim tanda cinta pakai kotak anyir. Sudah zamannya iphone kok masih pakai cara kuno seperti ini. Apalagi melalui kantor pos yang sudah memecat hampir seluruh pekerjanya. Bisa saja kotak ini telat sampai karena pekerjanya mati tengah jalan karena frustasi dipecat. Sehingga dia membuangnya di sungai dan untung aku yang menemukannya ditumpukan sampah tepi sungai.

Atau bisa juga dia memang sengaja membuangnya karena tak tahan dengan bau anyir dari kotak ini. Kemudian dia tergerak untuk membukanya dan mendapati bunga tidur, bintang dan secuil purnama. Karena dia takut dikira pencuri yang menyebabkan tahun tanpa malam, sehingga dia membuangnya. Benar-benar gila kamu. Ngga mikir apa?

Ditambah lagi apa nih, mata, telinga, kamu kan tahu aku buta dan tuli karena kamu mendorongku saat di jembatan waktu itu kan? Buat apa? Aku tidak butuh semua ini. Kamu semakin membuatku kesal Akash. Sudahlah akui saja kamu bersalah tidak perlu kamu mengasingkan diri ke huma bersama biola usang itu. Kamu semakin menyadarkanku jika dunia tidak pernah adil kepadaku.

Akash

Alea yang manis, sudahkah kamu menerima kotak itu? Tepat seabad lalu aku mengirimnya untukmu. Aku jadi curiga apa petugas kantor pos itu benar-benar menyampaikannya untukmu. Tubuh gembul dan ceringainya dengan asap rokok membuatku tidak yakin kepadanya waktu itu.

Aku tak mampu lagi menahan rindu kepadamu Alea. Lantas ku mainkan lagi dia sebrutal mungkin, berharap seisi dunia mengerti dan menyampaikan rinduku padamu. Atau aku berharap suaranya bisa memecahkan telingamu hingga kamu bisa mendengar kembali. Tapi aku rasa percuma Alea. Seisi dunia sudah mengutukku, ku putuskan untuk meninggalkan huma ini, dan mencarimu Alea. Aku sungguh mencintaimu.

›?‹

Perjalanan ini begitu melelahkan, aku hampir menyerah Alea. Tapi aku bukan lagi pecundang yang kamu kenal. Hingga tiba lah aku di sebuah kota. Familiar tapi mengapa menjadi seasing ini bagiku. Ku lihat penunjuk waktu tepat pukul 10 malam. Tapi mengapa masih terang benderang seperti ini? Tidak ada tanda akan datangnya senja. Apa yang terjadi sesungguhnya? Aku jadi berpikir, jangan-jangan kotak berisi bintang dan secuil purnama itu menyerap seluruh isi galaksi. Tak sanggup otakku mencerna.

Dalam hiruk pikuk, lalu lalang manusia di atasku, pandanganku tertuju pada seorang wanita. Dia cantik Alea, matanya biru seperti berlian. Kulitnya putih dan nampak lembut seperti sutera. Tapi sayang dia buta. Bagaimana aku tahu? Ya, karena jalannya tergantung tongkat kayu yang menuntunnya ke arah yang tepat. Coba ku dekati dia. Semakin dekat. Dan ku lihat lengannya, tergambar bunga Gerbera. Gerbera yaa… Apa? Kamu kah itu Alea? Ku coba panggil dia dengan namamu.

“Aleaa?”

Tak bersahut. Rupanya wanita yang ku kira kamu itu dia tuli juga. Coba ku sentuh tangannya. Dia menghentikan langkah.

Alea

Hmm bau ini aku hafal dengannya. Mengapa dia datang kembali? Sudah seabad dia pergi meninggalkan kecacatan padaku. Dan kini dia datang lagi.

Akash

Aku tak tahu bagaimana cara berbicara padamu. Beruntung aku sudah terbiasa berkomunikasi dengan sesuatu yang tidak bisa melihat dan mendengar. Aku hanya perlu tanganmu untuk menyampaikan maksudku. Maafkan kelancanganku Alea.

Jemariku menari diatas telapakmu. Ku coba memberikan isyarat kata maaf padamu. Tapi belum selesai aku menyampaikan isyarat itu, rupanya kamu sudah bisa menebaknya Alea.

“Untuk apa? Kamu sudah pergi meninggalkan kecacatan padaku dan juga anakku. Untuk apa maaf?”

Apa? Anakmu? Itu artinya anakku juga Alea. Aku penasaran seperti apa dia. Dari balik beringin aku mendengar lengkingan biola yang merdu perlahan berhenti. Gadis cantik yang sungguh mirip denganmu mendekatimu Alea.

“Mama”

Sungguh? Itu anakku. Tapi kamu melarangku mendekatinya. Ku coba lagi keesokan harinya. Diberingin yang sama, kusahutkan lengkingan biolaku di tengah permainan indahnya. Dia terkejut, rupanya dia takjub. Ku coba ajak bicara, syukur dia tidak tuli. Namanya Putri, Putri Alea.

Putri

Aku tidak tahu mengapa Mama sangat melarangku dekat dengan lelaki itu. Aku sungguh mencintai permainan biolanya. Dia menawariku bermain di orkestra huma. Aku tidak tahu dimana itu. Ku ajak mama dia menolak, katanya percuma saja dia tidak bisa melihat dan mendengar.

Aku mencoba membujuknya dan memasangkan mata juga telinga yang ada di kotak anyir itu. Lantas ku ajak dia ke huma. Spontan dia kembali normal. Ku kira itu hanya pengelabu saja untuk menutupi, tapi ternyata benda itu bekerja ketika kita sampai di huma. Ku bersiap menunjukkan betapa indahnya lengkingan biola kepada mama. Dan betapa indahnya malam di huma itu.

Alea

Akash? Putri?
Tiiiiiiitttt…………………

 

Penulis: Nadia Alfa, aktif di UKM Penulis Universitas Negeri Malang.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.