Pangeran Kecil dan Hal-Hal Remeh
Kalau ditanya buku apa yang paling mengagumkan yang pernah ku baca aku akan menjawab: buku Le Petit Prince karya Antoine De Saint Exupery.
**
Setelah semalam suntuk begadang menyelesaikan tugas psikologi perkembangan remaja yang amat melelahkan tidak heran aku baru terbangun jam 10 pagi dengan semua energi yang belum kembali. Bagaimana tidak, dipaksa untuk menceritakan kisah hidupmu dalam sebuah auto-biografi amatiran memanglah bukan hal yang mudah. Apalagi ketika kau harus menuliskan kejadian sepuluh sampai dua belas tahun yang lalu, aku bertaruh bahkan jika ingatanmu sangat kuat kau pasti tak akan mudah mengingatnya bahkan jika itu hal yang paling penting dalam hidupmu.
Tetapi aku juga tidak memungkiri bahwasanya tugas ini memberikan tamasya dengan nuansa nostalgia tersendiri bagiku. Aku yang di paksa memanggil kembali ingatan-ingatan beberapa tahun yang lalu bahkan sampai mewawancarai ibuku beberapa kali sempat takjub dan merasa lucu dengan kisahku sendiri. Sampai akhirnya setelah kurasa aku telah menuliskan cukup banyak kata-kata dan merasa membutuhkan sedikit penyegar agar mataku tidak sampai keluar dan memarahiku karena telah memaksanya bekerja rodi tanpa ampun, aku mengambil beberapa menit untuk membaringkan diri dikasurku. Setelah beberapa menit kurebahkan badanku diatas kasurku yang tidak luas juga tidak sempit ini, menatap langit-langit kamarku yang tidak berhias apa-apa membuat pikiranku semakin leluasa menerobos waktu kembali mencari jalannya ke masa lalu.
Seorang anak kecil dengan seragam biru putih melintas dihadapanku dengan semangat hari pertama kesekolah. Ternyata itu aku saat pertama kali ke sekolah taman kanak-kanak. Segerombolan anak yang sedang bermain layangan dan malangnya salah satu anak harus merelakan layangannya di rampas langit, kasihan sekali. Dan ternyata itu aku juga. Ingatan-ingatan masa kecil terus menerus berdatangan silih berganti, “ahh..indahnya masa kecil, saat dimana kau bisa melempar kaca rumah tetangga dengan bebas tanpa perlu memikirkan konsekuensinya” gumamku sembari menutup mata sejenak menuju alam mimpi.
**
Syukurlah ternyata malam itu aku sempat terjaga kembali pada pukul 2 pagi dan kembali melanjutkan tugas kuliahku. Setelah cukup lama bermain-bermain dengan kenangan masa lalu bersama dengan dentuman keyboard laptopku semakin lama semakin terdengar seperti irama musik rock di telingaku, akhirnya tepat pukul 4 lewat seperempat aku berhasil menyelesaikan tugas membuat autobiografi ini dengan sukses –setidaknya itu menurutku- .
Lalu tanpa sengaja aku melihat buku tipis bersampul ungu - kalau bukan biru -, tergeletak di meja mekan. “Le Petit Prince” judul yang tertera di sampul buku itu. aku sama sekali tidak tertarik dengan buku dongeng dari perancis yang entah datangnya dari mana, aku hanya ingin menghabiskan waktu liburku dengan menonton anime yang sudah kudownload beberapa minggu yang lalu. Sampai kemudian sesaat ketika aku hendak menuju kamar kudengar suara samar-samar berasal dari ruang makan.
“Hei, kesinilah” terdengar seperti bisikan namun entah mengapa begitu jelas kudengar.
Bulu kudukku merinding. Semua keluargaku sedang berlibur kerumah keluarga diluar kota dan hanya aku saja yang tidak ikut, itu berarti bahwa aku sendirian di rumah ini. Setelah sejenak aku menenangkan diri, aku berjalan menuju asal suara tersebut dan berakhir di ruang makan kosong, hanya ada perabot rumah tangga dan sebuah buku yang tergelatak di meja makan.
“hei, aku disini, kau tak melihatku”.
Hampir kurasakan kakiku tak menapak tanah dan hanya dalam waktu kurang dari sedetik aku telah berada diruangan lain. Jantungku rasanya sedang berusaha berkompetisi dengan drumer netral eno lerian atau siapalah namanya, sedangkan suhu tubuhku rasa-rasanya lebih dingin di bandingkan musim dingin dikutub utara. Suara itu tidak salah lagi berasal dari buku kecil yang ada di atas meja tadi. Tapi mana mungkin, bagaimana bisa buku bersuara, lalu kalau bukan berasal dari buku lantas berasal dari mana suara misterius itu. aku yakin sampai disini kau akan berpikir bahwa ini adalah kisah misteri atau semacamnya kan.
Sayangnya kau salah ini adalah kisah anak-anak.
**
Setelah beberapa lama aku berusaha menyakinkan diriku untuk tetap tenang. Kemudian mempersenjatai diriku dengan sapu dan sebuah buku yasin yang entah kudapat darimana, aku melangkah mantap kembali menuju dapur. Dengan hati-hati kudekati buku tersebut. Lima menit menunggu, suara itu tak kunjung datang. “mungkin hanya perasaanku saja” pikirku kemudian.
Setelah itu kudekatkan diriku pada buku itu dan perlahan kubuka lembarannya. Sebuah gambar seadanya seperti gambar anak SD, gambar seorang pangeran sedang memakai selendang dan berbaju lengan panjang berwarna hijau. Setelah beberapa saat aku membolak-balik halaman buku tersebut aku merasa tidak ada kejanggalan dan ini hanya seperti buku lainnya. Lalu pada halaman pertengahan terdapat sobekan. Saat kesentuhkan jariku, sebuah tangan terulur dengan sikap menahan tanganku.
“jangan sentuh itu” ucap suara yang lembut tetapi tegas.
“siapa kau?” jawabku terbata-bata, pikiranku kosong, aku merasakan kakiku menapaki tanah lagi bahkan aku merasa seluruh tubuhku akan ambruk kehilangan tulang-tulangnya. lalu sosok itu menjawab lagi dengan lembut.
“aku pangeran kecil senang bertemu denganmu” suaranya yang lembut entah mengapa membuat hatiku kembali tenang.
“tapi kenapa bisa?, kenapa kau berada disini?” tanyaku tak bisa menghilangkan keherananku.
“aku bosan, aku bosan berada di dalam buku, aku ingin bermain, dan sepertinya kau cukup menyenangkan” setelah menatap sesosok pangeran kecil itu yang hanya setinggi pinggangku. Aku kemudian mengiyakan perkataanya, membiarkan dia menuntunku berjalan menuju taman yang berada di depan rumah. Aku juga tidak mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi, hanya saja yang ku ketahui bahwa saat ini kami ternyata sudah ada di sebuah taman, aku duduk di sebuah bangku panjang sedang pangeran kecil sedang bermain ayunan.
“kau tahu, satu hal yang paling menyenangkan di dunia ini adalah menjadi anak-anak” katanya sambil terus mendorong tubuhnya agar mencapai kecepatan yang dia inginkan.
Aku akui aku setuju dengannya, anak-anak adalah masa yang sangat indah. Memikirkan bahwa hanya dengan menangis seluruh masalah mu akan berakhir atau kalau belum cukup kau bisa melaporkan hal itu ke ibumu dan simsalabim semua beres.
“ahh, aku sangat tidak menyukai lengan bajuku yang panjang ini.” Keluh pangeran kecil setelah bosan bermain ayunan.
“ada apa dengan lengan bajumu?, apa kau tidak suka baju berlengan panjang” tanya ku mencoba mengikuti alur pembicaraannya.
“tidak, hanya saja aku rasa bajuku yang panjang ini sangat mengganggu terutama saat aku menekuk lenganku.”
Satu lagi keuntungan besar yang bisa kau dapatkan saat menjadi anak-anak, kau bisa saja seenaknya mengeluh akan segala hal sepele yang terjadi padamu. Begitu waktu merenggut semua sisa masa kanak-kanakmu, kau akan sangat malu bahkan untuk mengeluh tentang hal yang menyangkut hidup dan matimu, seperti teman sekamarmu yang cerewet. Percayalah, kau akan berpikir seribu kali lebih baik berdiri di tengah lapangan basket tanpa busana di banding terus-menerus mendengar ceramah dan keluhannya.
“kau hanya perlu melipatnya kan, nah lihat, mudah bukan?”. Ucapku kemudian sembari melipat lengan bajunya.
“wah.. benar juga, aku tidak perlu mengganti bajuku, dengan baju berlengan pendek.” Mata pangeran kecil berbinar melihat masalahnya dengan mudah terselesaikan olehku,
Seperti lazimnya sebuah masalah, ia tak memiliki sebuah akhir. Satu masalah yang kau selesaikan sama dengan sepuluh masalah yang menantimu, atau seratus atau seribu, entahlah, masalah adalah hal yang begitu rumit, bahkan untuk menghitung kemungkinannya pun bisa memberikan mu masalah baru. Lihat, masalah begitu sangat mudah untuk berganti.
Begitupun dengan sang pangeran kecil, kali ini dia memiliki masalah dengan syalnya yang katanya tidak cukup memberinya kehangatan.
“syal ku ini, adalah pemberian berharga oleh temanku” ucap pangeran kecil dengan suara serak dan pelan. “tetapi akhir-akhir ini dia menjadi tidak berguna, aku bahkan masih merasa kedinginan walaupun telah memakainnya.” Lanjut sang pangeran.
“kau mesti belajar bersabar pangeran” jawabku sederhana, lalu kemudian membentangkan syal pangeran cilik dan melilitkannya dua kali di leher pangeran kecil, syal yang ukurannya cukup panjang itu memang cukup untuk dililitkan dua kali di leher pangeran kecil. “nah, kali ini masalah keduamu selesai, bagaimana?” lanjutku lagi, dengan senyum puas penuh kemenangan.
“kau memang benar-benar hebat, orang dewasa sepertimu memang tahu bagaimana cara mengatasi masalah.” Kembali mata pangeran kecil berbinar.
“yah, seperti itulah kehebatan orang dewasa. Selalu ada jalan untuk setiap masalah, kau hanya perlu bersabar dan melihat secara seksama” jawabku kemudian.
“lantas mengapa tidak kau lakukan itu terhadap masalahmu?, lalu mengapa tidak kau selesaikan masalahmu dengan kehebatan orang dewasa seperti yang kau lakukan padaku tadi?” jawaban pangeran kecil membuatku terdiam.
Entah bagaimana jawaban sederhana dan polos seorang anak kecil bisa menghantamku begitu keras seperti saat ini. Semua masalah yang ku keluhkan, semua masalah yang kuhadapi dan kurasa tidak mungkin kuselesaikan serta merta berguguran di depan mataku. “sejak kapan aku melupakan rasa optimis kekanak-kanakan yang ada di dalam tubuhku” pikirku dalam keheningan.
“orang dewasa memang aneh” lanjut sang pangeran lalu terdiam.
Selama beberapa saat kami duduk termenung di taman depan rumah tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut kami berdua. Sang pangeran kecil kemudian yang pertama kali memecah keheningan.
“aku sudah pernah sekali ke planet ini” sang pangeran berhenti sejenak, memandang langit lalu menlanjutkan perkataannya. “saat itu aku bertemu dengan seorang pilot yang sedang putus asa dan kehausan.”
Setelah melupakan percakapan tadi dan pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban dariku. Pangeran kecil kemudian mulai bercerita tentang petualangan-petualangannya.
Pangeran kecil terus melanjutkan ceritanya. Dia menceritakan tentang seekor ular, tentang sang raja yang sombong, bahkan orang yang mabuk pun juga dia ceritakan. Dan kembali membisu. Lalu kemudian bertanya.
“Tapi, kau ini siapa?” tanyanya setelah beberapa lama kami dalam kebisuan.
“aku adalah kamu”.
**
Syukurlah tugas terkutuk yang membuatku harus begadang selama dua hari berturut-turut ini akhirnya selesai juga. Entah semalam itu mimpi atau tidak, tapi sepertinya itu hanya pengaruh kopi dan buku yang pernah kubaca beberapa minggu yang lalu.
Terlepas dari itu semua aku bersyukur sempat bertemu dengan sang pangeran kecil yang bijaksana itu. Andai suatu hari ini dia berkunjung kembali keplanet ini, aku berharap rumah ini adalah salah satu tujuanya.
Penulis: M. Wahyu Setiawan (Mahasiswa Psikologi UNM dan Pegiat Literasi di Stimulus Paradigma)