Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 27, 2020

Pengakuan

Pepatah benar, dia mengatakan kunci suatu hubungan itu salah satunya kejujuran dan terbuka. Jujur, satu huruf lima fonem tapi tidak semudah dan sesingkat bentuknya. aku kira hubungan akan baik-baik saja dengan cukup tahu aku suka. Sudah.

Hubungan juga tidak bisa menelan mentah-mentah arti kata percaya. Karena pada nyatanya curiga terus mendorong untuk berprasangka bahwa hal buruk sedang disembunyikan. Aku kehilangan seseorang saat itu. Lebih tepatnya rasa tentang percaya, terbuka dan kejujuran.

Malam tak pandai berbicara pada biasanya. Dia hanya diam tanpa ada perlakuan yang hangat. Tapi malam ini berbeda, malam bersua lembut. Dia menggenggam hangat seperti yang aku ingin dari awal. Dia begitu manis dengan lentera lampu di ujung jalan. Kunang-kunang harapan seakan menyambut perpisahan.

Sebentar, aku menyeka air mata. Harus aku ucap apa malam ini ? selamat datang ? atau selamat tinggal ?

“Iya, ada apa kesini ?” sambil berjalan mendekatinya.
“Hanya ingin berbincang” matanya lebih banyak berbicara dari pada kumpulan morfem yang ia lontarkan.
“Oh, sini masuk” kaku ku timpal kalimat itu.

Matanya seakan menyorotkan kesedihan. Bukan, itu harapanku saja. Sorotnya mengatakan kecewa, atau jenuh, sakit, benci. Aku meraba semua pandangannya. Mendengarkan matanya berbicara dan ingin segera kusimpulkan. Aku bisa menebak arah pembicaraannya, bukan soal aku seorang cenayang, tapi lebih feeling seorang perempuan.

“Aku mau tau dia chat kamu kayak apa ?”
“Kamu kesini cuman mau nanyain itu ?
“Iya” tandasnya
“Gak penting banget”

Bisa tolong berhenti sebentar, dadaku mulai sesak ketika ingin kulanjutkan cerita ini. Satu, dua, tiga, empat, lima ambil napas. Enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh keluarkan.

“Isinya sama lah kayak di hp kamu”
“Lagian juga udah tak kirim screenshootnya juga” tambahku.
“Pinter sekali chat udah dihapus”

Flash back on

Aku mendengar kabar burung yang bercerita, tentang dia yang telah ada pengganti diriku. Tentang dia yang memulai cerita baru yang tentu bukan bersamaku. Tolong singkirkan pikiranku tentang janjinya untuk menungguku. Aku sedikit kecewa tentang hal itu.

Pikiranku bergerak untuk mengucapkan selamat atas perjalanan baru yang dia ambil, tapi hati memberontak untuk mengirim pesan singkat. Sebentar, hati terlalu lemah untuk melawan pikiranku yang gila. Hati kalah.

“Congrats ya” pesanpun terkirim dengan lancang oleh jemariku.
“Buat?”
“Semuanya”
“Masa lalu ?”
“Bukan”
“Lalu?”
“Congrats buat udah move on, congrats udah jadi sama Rizka. Udah itu aja”
“Owlah, alhamdulillah udah move on. Btw, belum jadian kok”
(Anjir malah curhat apa peduli saya tolong)batinku terlalu bar-bar emang.
“Iya udah tau kok kemarin udah di ceritain semuanya sama Yuna”

Yuna, teman dekatku salah satu genk atau lebih tepatnya kumpulan temen mainku. Dia juga sepupu dari Moka, seseorang yang sedang menjalin hubungan saat itu. Aku mendapat informasi apapun tentang

Moka dari Yuna hingga aku mengakhiri hubungan itupun Yuna masih dengan lancarnya memberikan laporan tanpa diminta. Seperti tentang kedekatan Moka saat ini dengan teman kuliahnya akhir akhir ini, Yuna menjadi narasumber sekunder.

“Hehehe, kan katanya sekarang kita teman” dia membalas pesanku.

Selang beberapa waktu aku tidak membalas, Moka memberiku pesan kembali.

“Ini aku Rizka, aku sama Moka nggak ada apa-apa kok. Sebelumnya jangan kasih tau Moka ya kalau aku yang chat”
“Iya santai kalem tenang kuasai.” itu kalimat yang sering aku gunakan ketika aku panik, agar terlihat baik baik saja. Padahal ya, ah sudahlah.

Pikiranku terlalu jauh melayang, meraba setiap kemungkinan yang ada. Bagaimana bisa smartphone bisa diambil alih, bagaimana Rizka bisa membuka smartphone Moka? Setahuku smartphonenya selalu disandi. Ataukah sudah sebebas itu memiliki akses. Atau sidik jari Rizka sudah berselancar dengan mudah. Sebentar pikiranku kacau dan hati masih saja lemah.

flash back off

Malam memeluk dingin, secangkir teh dihadapan tidak juga membantu untuk memulai topik yang telah terpotong lama. Kursi yang bersandingan dan membisu di larut malam. Waktu berjalan tak juga mengajak frasa keluar dari bibir. Hening lebih mencekam untuk dibiarkan begitu saja.

Sebentar, aku memutuskan untuk memulai topik pembicaraan. Sebelum tebakanku benar ia akan membahas apa yang aku pikirkan dengan otakku semenit yang lalu.

“Lalu ada yang mau diceritakan ?”
“Apa ya ?”
“Jangan bilang kamu benar-benar hanya ingin menanyakan hal tentang chat tadi”
“Iya”
“Sudah aku bilang, chat sama seperti di hpmu dan yang aku screenshoot tadi, nggak ada yang lain” sebagai sesama wanita aku paham untuk saling mendukung dan menjaga untuk tidak mengatakan kebenarannya. Anjir, sok pahlawan banget atau ngelawak si aku, heran gak lucu.
“Yaudah aku mau cerita,”
“Oke, aku dengerin”
“Aku lagi deket sama cewek”
“Iya aku tau yakalik sama cowok, nakutin” aku mencoba baik baik saja dengan kalimat ini.
“Namanya Rizka”
“Iya aku tau, udah diceritain sama Yuna” mataku menyoroti matanya.
“Tapi nggak jadian”
“Lebih tepatnya belum kan” aku menegaskan.
“Nggak tau kalo besok-besok”
“Nah itu ngaku”
“Ya bagaimana, kamu terlalu cuek mengabaikan dan aku terkesan tidak dianggap. Aku menunggumu tiga tahun dan kata pisahmu yang mendadak kemarin masih aku anggap guyonan dengan pikiran gegabahmu. Tapi aku salah, sikapmu menegaskan untuk benar-benar pergi”
“Sudah aku bilang, aku bukan cuek. Bahkan ada yang lebih cuek dariku. Aku hanya disita oleh tugas tugasku.”
“Kamu tidak benar-benar peduli dengan apa yang ada di hubungan kita”
“Sejauh mana kamu bisa mengukur ketidak pedulianku denganmu?”

“Kamu tidak pernah jujur dengan hubungan ini, selalu bilang baik baik saja tanpa mengerti kita ini memiliki suatu hubungan. Kamu terlalu sibuk dengan dirimu hingga lupa ada aku yang juga butuh kabar darimu. Aku yang menunggumu tiga tahun lamanya dan selama itu aku juga belum memahamimu seutuhnya. Kamu terlalu sulit untuk dipahami, kita tidak sepakat untuk sepaham dalam titik dimana kita harus berada, aku lelah”

Sudah, kalimat panjang itu membungkam malam untuk bersua. Dia tipikal lelaki yang jarang untuk berkata panjang. Dia tipikal yang benar-benar singkat dan hanya seperlunya dalam berbicara. Bukan tipikal yang romantis dan banyak untaian rindu yang biasanya dilakukan lekaki. Ia terlalu kaku untuk melakukan hal itu. Lebih baik mengatakan yang sebenarnya.

Bukan seperti puisi indah yang menggunakan majas untuk bumbu penyedapnya, bukan juga pantun yang menggunakan sampiran untuk menyatakan isi yang sesungguhnya, bahkan bukan cerpen yang memerlukan beberapa lembar untuk menyampaikan amanat yang ingin diutarakan. Dia adalah dia yang jarang kutemui dari banyaknya sifat lelaki. Aku terbungkam, butuh waktu hingga satu, dua, tiga, empat, lima menit untuk berpikir.

“Maaf dan selamat sekarang sudah ada Rizka yang jauh lebih mengerti kamu. Lebih baik dari aku, lebih memiliki waktu dari aku. Toh setidaknya kamu sekampus dengan dia jadi lebih mudah bertemu daripada denganku yang harus setidaknya seminggu sekali baru bisa bertemu”

“Iya makasih. Kamu semangat kuliahnya yang fokus” sambil memegang pundakku.

Seketika hal yang aku rindu dari dulu datang juga. Sebuah sentuhan hangat yang pertama dan mungkin terakhir kali sebelum malam mempersilakan dia pergi. Aku ingin menumpahkan rindu, menajatuhkan pelukan dan biarkan isakan tangis yang berbicara.

Tapi, segera aku tahan semua khayalan konyol itu. Percakapan yang hangat dengan bingkaian tawa sebelum semuanya berakhir. Sorot matanya yang memandangku, tangannya yang berulang kali mendaratkan tangannya di pipiku. Aku tahu dia tak seberani itu sebelumnya.

Tangannya yang mengusap pelan rambutku yang diikat kucir kuda dan berponi menjadi sedikit berantakan. Sebentar, batinku berteriak. Apakah dia mendengarkan? kenapa tidak dari dulu kau seperti itu memperlakukanku. Sehangat itu tanpa perlu diminta.

Kamu selalu menungguku untuk berkata dengan gamblang sedangkan aku wanita yang malu untuk mengatakan rindu yang sesungguhnya. Kamu orang yang tidak suka diberi kode atas nama rindu.

Percakapan itu tak terarah, tapi kunikmati. Secangkir teh tak terasa menemaniku berbagi cerita hingga ia habis tak tersisa. Waktu terus berjalan. Malam mulai larut ia menjemput untuk sebuah kata pisah. Moka beranjak dan ini menjadi tanda sebuah penegasan tentang akhir kisah.

Ia akan memulai lembar baru yang jauh lebih seru tanpa adanya aku. Pandangan jauh lebih ringan, mungkin bebannya sudah terlepas. Maaf sebelumnya telah menjadikanmu beban. Jari kelingkingnya diajukan ditautkan dijariku. Menggenggamnya untuk beberapa menit.

Tatapanku benar-benar kosong, bingung apa yang ia lakukan benar benar berbeda. Dan sekali lagi, kedua tangannya mendarat di pipiku sebelum benar-benar pamit.

*

Bolehkah aku membuat sebuah pengakuan, tentang rapuhnya ditinggalkan. Beri aku jeda untuk mencerna kata katanya tentang kejujuran. Sebuah kejujuran yang jarang aku tunjukan kepadanya. Egoku terlalu tinggi untuk menunjukkan kelemahan. Menunjukkan kerinduan yang membuncah. Ego yang memakan ruang untuk hati berbicara. Bahkan hati berkata

“jangan takut untuk memperlihatkan kelemahan. Jangan menutup mulut, katakan apa yang kamu inginkan. Jangan biarkan dia sibuk dengan kehidupannya saja karena ia merasa kamu terlalu segar sehingga tidak memerlukan bantuan. Tunjukkan kepadanya bahwa kamu memerlukan dia supaya dia merasa diri berguna. Kalau tidak, dia akan bertambah jauh dan bisa-bisa malah sama sekali tidak mempedulikan kamu. Bukan karena tak sayang, tapi mereka menyangka memang kamu lebih senang sendiri.” ego tak pernah peduli.

Aku sudah terlanjur kehilangan, sebelum aku membuat sebuah pengakuan. Penjelasanku terlalu terlambat untuk dia yang sudah mendapatkan kekasih barunya. Hingga ia melepaskan genggamannya.

Aku sendiri. Belajar beradaptasi kembali dengan diri sendiri untuk tidak bergantung, tidak berbagi cerita, bahkan hanya untuk bertukar kabar.

Beradaptasi dengan dia yang menceritakan kekasih barunya dan aku yang menjadi penonton di laman media sosial. Beradaptasi dan memulai dari awal lagi. Tidak ada yang salah dengan kata patah, hanya kita memiliki pilihan untuk tetap patah atau tidak.

Bukankah patah masih bisa tumbuh ?

 

Penulis: Marieza Pratiwi Nuryanti, merupakan mahasiswi semester empat program studi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Saat ini tergabung dalam komunitas pecinta sastra Indonesia “KOMPENSASI” di Yogyakarta, serta tergabung dalam organisasi himpunan mahasiswa program pendidikan bahasa Indonesia UNS.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.