Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 27, 2020

Perempuan Berantai Besi

"Perempuan Berantai Besi"

"Bugh!"
"Bugh!"
Air mata Laras terus mengalir membentuk sungai-sungai kecil dippipi putihnya. Bukan karena rasa sakit dari tubuhnya yang berkali-kali terhantam gagang sapu yang bahkan sudah patah.

Tapi ia hanya ingin menyalurkan rasa sesak yang membuncah didadanya. Ia sudah tidak lagi merasakan sakit, tubuhnya itu sudah kebal mendapat pukulan demi pukulan yang hampir setiap hari ia terima dari Ayahnya. Ibunya yang tersungkur dilantai ikut menangis sambil menatapnya iba, tak tahu lagi harus melakukan apa.

"Saya mohon sudah Pak, kasihan Laras" ujar Ibunya memohon.
"Diam kau, tidak usah membelanya! Kau kan yang mendukungnya untuk melakukan semua itu? Kau sama dia sama saja" Bentak sang Ayah berang.
"Buat apa kamu kuliah? biar dibilang wah, seperti orang-orang kaya? kuliah cuma habisin uang! ujung-ujungnya kamu juga berakhir didapur sama kasur. Sama seperti Ibumu!" kata Ayahnya menatapnya tajam, gagang sapu yang dipegangnya menggantung diudara.
"Berhenti bermimpi laras. Mulai malam ini ikut Bapak kerja, hasilkan uang yang banyak" ujarnya lagi sambil melempar gagang sapu yang digenggamnya kelantai.
"Anak sama ibu sama saja. Perempuan tak berguna!" umpat Pramono sebelum berlalu keluar rumah seraya membanting pintu.

Sepeninggal Ayahnya Laras segera bangkit, berjalan pincang menuju Ibunya, mendekap wanita itu kemudian tangisnya pecah tak mampu Ia bendung lagi. Apa tindakan yang dilakukanya itu salah? Apakah dirinya tidak berhak untuk bermimpi? Ia hanya ingin berkuliah, mengejar cita-citanya untuk menjadi seorang arsitek.

Tapi kenapa Ayahnya justru sangat murka saat Ia memberitahu bahwa dirinya lulus tanpa syarat di salah satu Universitas Negeri, bahkan Ia mendapatkan beasiswa. Bukannya itu sebuah prestasi yang harusnya membuat Ayahnya bangga? tapi mengapa justru sebaliknya?

Laras benar-benar tak mengerti dengan pola pikir Ayahnya. Prinsip bahwa seorang perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena pada akhirnya akan menjadi seorang ibu rumah tangga, menurutnya sangatlah keliru. Bukankah sekarang adalah zaman emansipasi wanita? dimana adanya persamaan hak dalam segala aspek kehidupan, seorang perempuan juga bebas berkembang dan maju terutama kesempatan untuk mendapatkan hak pendidikan.

Mengapa Ayahnya tidak mengerti akan hal itu? dan justru melarangnya untuk kuliah padahal Laras mendapatkan kesempatan yang tidak semua orang bisa dapatkan.

"Sabar ya Nak!" usapan lembut dikepalanya membuat Laras sedikit tenang. Ia ingin bangkit tapi kepalanya terasa begitu berat. Sepertinya Laras butuh tidur untuk saat ini. Berharap ketika Ia terbangun mimpi buruk ini akan segera berakhir dan kakinya kembali mampu untuk menapaki dunia, membuktikan bahwa perempuan bukan hanya sekedar pigura dalam rumah tapi mampu bersinar menyamai bintang. Iya, itu harapannya.

*

Gedoran pintu kamar dan teriakan Ayahnya membuat Laras terbangun, kepalanya masih terasa berat, entah apalagi yang diinginkan Ayahnya darinya.

"Laras! Laras!" Teriak Ayahnya dari balik pintu kamar sambil terus mengedor-gendor pintu tua itu.
"Iya, ada apa Pak?" tanya Laras ketika membuka pintu dan mendapati Ayahnya bertolak pinggang didepan kamarnya.
"Cepat ganti bajumu, pakai baju yang bagus! terus ikut Bapak!"
"Kita mau kemana Pak malam-malam begini?" tanya Laras, Pramono mendengus kesal menatap anaknya tajam.
"Sana cepat ganti baju!" perintahnya seraya mendorong tubuh Laras masuk kekamarnya dengan kasar. Laras menurut, setelah berganti baju Iapun dibawa oleh Ayahnya pergi entah kemana. Laras tidak tahu, yang Ia tahu hanyalah menurut, ingin melawan rasanya pun Ia tidak punya cukup kekuatan.

Pramono dan Laras sampai disebuah gedung pinggir jalan. Daerahnya cukup ramai, namun pencahayaan lampu tidak begitu memadai sehingga tercipta suasana takut didiri Laras. Ia hanya menurut, tangannya terus diseret oleh Ayahnya hingga memasuki gedung yang berada dihadapannya.

Bau asap rokok dan minuman beralkohol langsung menyerang indera penciuman Laras ketika kakinya memasuki ruangan. Didalamnya banyak laki-laki dan juga perempuan dengan baju yang kekurangan bahan bercampur baur dengan para laki-laki, ada yang berdiri sambil berjoged adapula yang duduk di meja-meja bundar dengan minuman alkohol yang tersaji diatasnya. Laras bergidik ngeri, untuk apa Ayahnya membawanya ketempat seperti ini?

"Kita mau apa disini Pak?" Tanya Laras pada Ayahnya, bukannya menjawab Pramono justru semakin menarik tangan Laras.
"Bapak mau jual Laras?" Pekik Laras tertahan. Kakinya seakan beku, tenggorokannya tercekat, air matanya langsung lolos tanpa diminta. Buat apalagi Ayahnya membawanya ketempat seperti ini kalau bukan hendak menjual dirinya?
"Ikut Bapak!" Pramono menarik tangan Laras kasar, gadis itu masih berdiri terpaku menatap Ayahnya tak percaya. Pada akhirnya beginikah akhir kisahnya? Bahkan Iapun belum sempat merajut mimpinya.
"Laras!" Teriakan Ayahnya membuat Laras sadar, Ia segera menepis tangan Ayahnya dan berlari hendak keluar dari ruangan itu. Namun, Laras kalah. Ayahnya berhasil mencekal lengannya.
"Plakkk!" Satu tamparan keras mendarat mengenai pipi kiri Laras, gadis itu meringis sambil memegangi pipinya. Ia memberontak, tapi sekeras apapun Laras memberontak Ia akan tetap kalah dari Ayahnya.
"Berani kamu melawan Bapak, bukan cuma kamu Laras tapi Ibumu yang akan menerima akibatnya!"
Laras hanya bisa menitikkan air matanya, apa lagi yang bisa Ia lakukan jika Ayahnya sudah mengancam dan membawa- bawa nama Ibunya. Tidak ada, Laras kalah.

Disinilah Laras sekarang, duduk disalah satu kursi didepan meja bundar dengan dikelilingi bapak-bapak bermuka seram dan salah satunya adalah Ayahnya sendiri. Jangan tanya mereka sedang melakukan apa. Tentu saja mereka sedang berjudi dan Laras dijadikan sebagai jaminan oleh Ayahnya.

Jika Ayahnya itu kalah dalam bermain, maka Laras akan diserahkan sebagai bayaran kekalahan. Laras tak habis pikir, mengapa Ayahnya tega melakukan itu padanya? menjadikannya bahan taruhan, bukankah itu sama saja Ayahnya menjual dirinya?

"Hahahhah! Anakmu untukku Pramono!" Laras mengerjapkan matanya, apakah yang baru saja Ia dengar? mengapa Ia merasa dunia seakan berputar-putar, Ia merasa melayang dan akhirnya semuanya hitam, gelap.

*

Cahaya matahari yang menerobos masuk lewat celah jendela mengusik Laras, perlahan matanya terbuka berusaha menyesuaikan cayaha. Ia berdehem, dan merasakan tenggorokannya begitu kering. Tadinya Ia berharap saat membuka mata Ia sudah tak berada ditempat ini lagi.

Tapi sepertinya takdir pahit memang enggan meninggalkannya. Entah sejak kapan Laras berada ditempat itu. Ruangan gelap dan sempit dengan salah satu kakinya yang diikat rantai membuatnya tidak bisa kemana-mana. Sungguh mengenaskan. Laras sudah tak lagi mengenali tubuhnya sendiri, entah apa yang terjadi dengannya.

Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh luka dan lebam membiru. Sudut bibirnya tercetak darah yang sudah mengering ditambah rambutnya yang kusut. Ia takut mengingat setiap kepingan pahit yang telah merengut hal berharga darinya, semuanya, mimpinya. Sekarang tidak ada lagi yang tersisa untuknya.

"Aaaaaaarggh!"

"Tuhan, kenapa aku begitu lemah? kenapa aku tidak punya kekuatan untuk melawan ketidakadilan ini? apakah memang perempuan diciptakan untuk ditindas dan diperlakukan tak sepantasnya? bukankah seharusnya perempuan diperlakukan dengan baik, Tuhan, aku butuh dilindungi dan disayangi, tapi kenapa Bapak dan mereka semua justru memanfaatkan tubuhku hanya sebagai pemuas nafsu iblis mereka? hanya untuk kesenangan mereka? apakah karena aku ini begitu lemah dan tidak mampu melawan sehingga mereka memanfaatkanku? Bapaakkk, kenapa begitu tega pada Laras, hikss.Ibu, maafkan Laras.Laras tidak bisa menjaga mahkota Laras sebagai perempuan, maaf.." 

Laras menjambak rambutnya yang kusut, Ia terisak lemah. Ia tidak pernah menyangka bahwa takdir pahit akan menimpanya. Dulu Ia begitu iba dan geram melihat berbagai kekerasan dan pelecehan terhadap para perempuan lewat TV, dan Laras tak akan menyangka hal itu kini dirasakannya sendiri.

Dirinya hancur, mimpinya hancur, dunianya runtuh. Dan sampai kapan dirinya akan diperlakukan seperti ini? Lalu berapa banyak lagi perempuan yang akan merasakan hal yang sama diluar sana?

Sampai kapan kaumnya akan terus diperbudak, terpenjara dan terantai dalam lingkar ketidakadilan? apakah itu hanya karena dirinya seorang perempuan? tapi mengapa hanya perempuan? cukup. Cukup senyumnya saja yang terengut. Cukup dunianya saja yang hancur. Sudah cukup.

Laras menelan salivanya, sungguh tenggorokannya begitu kering, tangan lemahnya tak berhasil meraih gelas berisi air yang berada diatas meja, sudah berapa hari dirinya tak makan apa-apa, bahkan minum sekalipun. Rasanya Laras sudah tidak sanggup lagi, Ia sudah tidak punya tujuan hidup lagi. Apalagi yang tersisa untuknya sekarang? tidak ada.

Ia malu pada Tuhan, pada Ibunya. Ia lemah, Ia kalah. Tangannya lunglai, lehernya terasa tercekik membuat dirinya susah bernafas. Matanya mengerjap-ngerjap menatap langit-langit ruangan.

"Tuhan, Laras ingin tidur didekat-Mu, Laras lelah"
"..."

TAMAT

“jangan hanya karena kami seorang perempuan, lantas dengan angkuhnya diperlakukan dengan tidak adil. Kami juga seorang manusia yang mempunyai hak yang sama. Termasuk hak untuk bermimpi”

 

Penulis: Ayu Amalia, hanya seorang mahasiswa.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.