Pers Mahasiswa Bukan Humas Kampus
Di Makassar, pada suatu malam yang lebih pekat dari secangkir kopi, aku duduk menatap langit yang baru saja meredakan tangisnya. Sedari sore, langit sedang bersedih, ia tumpahkan bulir-bulir air matanya bersama dengan angin kencang di musim penghujan. Bila ada yang mengira aku sedang terjebak hujan, perkiraannya salah. Karena aku tidak sedang terjebak hujan, aku sedang menanti kehadiran seseorang. Mungkin dia yang sedang terjebak hujan.
Oh iya, sampai lupa kenalan! Perkenalkan aku Rafael Putra Anggara, mahasiswa Psikologi Semester V yang sedang duduk di Taman Fakultas sambil berharap bisa menenangkan langit sembari menunggu seseorang untuk mendiskusikan sesuatu. Aku tidak sendirian di Taman ini, ada juga beberapa mahasiswa lainnya. Tapi diantara sekian banyak dari mereka, hanya satu orang yang menemaniku sekarang, ia adalah Kirana Azzahra. Sekadar informasi, aku dan Kiran sama-sama mengurus di LPM; Lembaga Pers Mahasiswa.
Selama hampir sejam kami duduk diam tanpa membicarakan apapun. Orang lain yang kebetulan ada di Taman mungkin menganggap kami sedang menikmati aroma petrichor atau malah tampak seperti sepasang kekasih yang bertengkar dan memilih diam. Kenyataannya, kami bukan sepasang kekasih, tidak sedang bertengkar dan memilih diam karena kami sedang merenungkan topik yang ingin dibicarakan dengan seseorang yang sedang kami tunggu. Karena itu, kebetulan sekali bersamaan dengan meredanya hujan, orang yang kami tunggu-tunggu akhirnya datang, seorang yang memiliki banyak pengalaman dunia jurnalistik, Agung Narendra Prabangsa.
Kami menyambutnya dengan ramah. Ia adalah lelaki yang menyenangkan tapi juga menyebalkan. Menyenangkan untuk membaca tulisannya yang sangat menganggumkan dan menyebalkan bagi mereka yang terpojokan oleh tulisan yang ia terbitkan dalam tajuk berita. Kedatangannya hari ini semata-mata untuk membantu kami; Pengurus dari LPM yang ia dirikan.
“Apa permasalahannya sekarang?” tanya Kak Agung pada kami. Belum sempat aku menjawab, Kiran menyambar pertanyaan itu dengan pertanyaan juga.
“Kak, apa lebih baik kita bicarakan ini di Ruang Redaksi?” kata Kiran yang mencoba mengarahkan perbincangan ini berlanjut di Ruang Redaksi LPM kami. Aku dan Kak Agung mengangguk bersamaan.
“Lebih baik begitu,” kata Kak Agung menyetujui. Kami akhirnya berpindah tempat; dari Taman Fakultas menuju Ruang Redaksi alias Ruang Sekretariat LPM kami.
Sesampainya disana, kami bertiga langsung mendiskusikan topik permasalahan yang sedang Keredaksian LPM kami alami. Singkatnya permasalahan tersebut menyangkut pemberitaan yang diterbitkan pekan kemarin oleh keredaksian dan mendapat tekanan dari pihak Birokrasi.
“Saya pikir permasalahan pengelolaan Channel Youtube lagi,” duga Kak Agung karena sebelum-sebelumnya pengurus sempat terkendala dengan Monetisasi Youtube.
“Bukan kak, permasalahan itu sudah kami pahami dan sudah kami selesaikan,” jawabku dengan tersenyum kecil.
“Lalu, seperti apa spesifiknya permasalahan kalian?” tanya Kak Agung.
“Jadi begini kak,” jawab Kiran. Kiran mengembuskan napas sebelum melanjutkan penjelasannya.
“Mulailah bercerita,” kata Kak Agung.
“Iya kak, kemarin ketika Rapat Redaksi terakhir, terdapat beberapa isu yang diputuskan untuk menjadi bahan pemberitaan, ada beberapa yang perlu dikonfirmasi kembali kebenaran isunya tetapi ada juga yang langsung mendapatkan titik terangnya.” Kiran menjelaskan dalam satu tarikan napas.
“Titik terang bagaimana?” tanya Kak Agung sambil berdiri mengambil air minum dari Dispenser yang terletak di sudut ruangan.
“Titik terang maksudnya sudah ada angle beritanya kak, narsumnya juga jelas dan deadline pengerjaan juga sudah dipastikan,” Tambah Kiran.
“Lalu yang berkaitan dengan permasalahan kalian bagaimana?”
“Nah! itu dia kak. Disaat Rapat Redaksi kemarin, terdapat satu isu yang punya potensi menjadi berita besar, Kak. Dan keredaksian memutuskan menggarapnya.” Jelas Kiran yang mendapat kode melanjutkan penjelasannya dari Kak Agung.
“Isunya itu tentang mahasiswa yang dikeluarkan dari kelas dikarenakan tidak memiliki buku.”
“Bukankah itu hal yang biasa?” tanya Kak Agung.
“Sebenarnya biasa kak, tapi…” Ucapan Kiran terpotong karena Kak Agung menghentikannya.
“Rafa, dari tadi Kiran mulu, coba kamu yang lanjutkan ceritanya,”
“eh-eh iya kak.” Jawabku.
“Seperti yang Kiran jelaskan kak, sebenarnya isunya biasa kak tetapi saat itu situasi kelas berjumlah lebih dari 200 mahasiswa, kak,” Aku melanjutkan penjelasan Kiran.Aku akhirnya menjelaskan secara rinci kepada kak Agung, dimulai dari pesan membawa buku yang diarahkan di pekan sebelumnya, pencarian buku yang dilakukan oleh para mahasiswa, hingga insiden tersisanya 5 mahasiswa di kelas ketika pemeriksaan buku diadakan.
Ya! 5 Mahasiswa! Penerbit buku tersebut mengonfirmasi bahwa stok buku yang ada telah dipesan oleh mahasiswa Fakultas lain sehingga mereka baru bisa mengadakan pesanan buku beberapa hari kedepan. Sayangnya, beberapa hari kedepan tersebut telah melewati tenggat waktu pencarian buku mahasiswa yang hanya diberi waktu sepekan. Imbasnya, seperti yang dikaakan Kiran, mahasiswa yang tidak memiliki buku dikeluarkan dari kelas.
Insiden yang terjadi pada sore hari tersebut secepat mungkin di kerjakan oleh Keredaksian. Reporter yang bertanggungjawab atas isu tersebut segera bergegas mencari narasumber, mewawancarainya, menuliskan beritanya dan mengirimkan berita tersebut pada Sekretaris Redaksi dan Pemimpin Redaksi. Pada malam hari setelah insiden, berita tersebut diterbitkan. Namun, kata orang-orang kita tidak bisa memuaskan semua pihak; ada yang akan merasa senang, dan ada juga yang akan bersedih. Banyak mahasiswa menyambut ramah berita tersebut dikarenakan mewakili keresahan mereka. Sayangnya, para pengajar mahasiswa alias dosen tidak berpandangan seperti itu.
Aku menjelaskan pada Kak Agung bahwa Pemimpin Redaksi dihubungi oleh salah satu dosen yang mengajar Mata Kuliah tersebut dikarenakan ia merasa tidak puas dengan berita yang diterbitkan. Pemimpin Redaksi kemudian memberikan hak jawab kepada dosen tersebut, namun hak jawab yang diberikan malah mendapatkan penolakan. Dosen tersebut menggunakan hak tolak.
“Jadi, Pihak Dosen mempermasalahkan hal tersebut dan menganggap kalian mencemarkan nama baik Kampus, benar?” selidik kak Agung.
“Iya, Kak, kurang lebih seperti itu dan mereka sudah memproses permasalahan ini di Komisi Disiplin,” terang Kiran.
“Wah! Sampai Komdis ya! Keren-keren,” Kak Agung malah merasa bangga dengan keberadaan masalah yang sudah mencapai meja Komdis.
“Lalu, kalian takut?” Kak Agung menatap kami dengan serius.
“Eng-enggak kak!” Jawabku dengan Kiran bersamaan.
“Ha-Ha-Ha-Ha-Ha!” Tawa Kak Agung pecah dan memenuhi seisi ruang Sekretariat LPM.
“Mau dengar pendapatku?” Kak Agung memperbaiki duduknya dan menempelkan telapak tangan sembari menautkan jari-jarinya. Aku mengangguk dan berusaha sedikit mendekat agar dapat mendengarkan lebih baik. Sedangkan Kiran, ia mulai menyiapkan ponselnya, sepertinya ia ingin mereka pendapat kak Agung.
Pertama, terdapat dua arus informasi dari lingkup kampus, yaitu Pers Mahasiswa dan Humas kampus. Kedua, Pers Kampus dan Humas Kampus berbeda. Ketiga, Humas Kampus berfokus pada penginformasian keunggulan atau kelebihan sistem akademik yang ada, menaikkan informasi prestasi agar mampu menambah pamor kampus hingga informasi sisem kurikulum serta beasiswa yang dapat dinikmati mahasiswanya.
Keempat, berbanding terbalik dengan Humas Kampus, Pers Kampus menjalankan fungsinya sebagai Agent of Change and Control. Tentu saja Persma dituntut untuk selalu kritis dalam menyikapi seiap dinamika di dalam kampus. “Termasuk, permasalahan berita yang kalian jelaskan tadi,” kata Kak Agung.
“Berbanding jauh dengan Humas Kampus yang bisa dikatakan mengupayakan cara pencitraan dalam penginformasiannya, Persma memiliki nilai berita yang lebih tersampaikan dengan kaidah jurnalistik,” penjelasannya benar-benar dapat dipahami olehku dan Kiran.
Kelima, Dalam konteks kepantingan, alaminya Humas kampus akan berpihak pada kepentingan birokrat kampus. Sedangkan Persma, walaupun didanai oleh pihak kampus namun mereka memiliki keredaksian yang bersifat independen dan ruang redaksi yang suci dari intervensi.
“Katanya, salah satu Misi Kampus itu menghasilkan lulusan yang memiliki sikap cinta damai dan bersikap profesional serta memiliki jiwa wirausaha? Sasaran dan Strategi mereka juga jelas kan? Kalo nggak salah, salah satunya itu mengembangkan minat dan bakat mahasiswa. Terus, kenapa malah Mahasiswa yang memiliki potensi jadi Jurnalis sejati, bukan yang Jurnalis bodrex malah di intervensi?” Cecar Kak Agung yang mulai tampak kesal dengan intervensi yang didapatkan juniornya.
“Jadi kami harus bagaimana kak?”
“Ya kalian nggak seharusnya takut! Kalau Kampus mau diberitakan dari sisi positifnya, ya berarti kampus juga harus menunjukan sisi positifnya itu. Percuma jadi dewasa kalau hanya menampilkan satu sisi dan menyembunyikan sisi lainnya. Kedua sisi harus ditampilkan, itu baru dewasa!” Tegas kak Agung.
“Lantas apa yang harus kami lakukan kedepannya kak?” Kiran tampak sedikit bingung
“Sederhana, kalian Pers Kampus! bukan Humas Kampus! Selama kalian menaati kaidah jurnalistik dan kode etik yang ada, jangan ragu menuliskan kebenaran! Kode Etik Jurnalistik dan disiplin verifikasi menjadi senjata kalian untuk menghadapi masalah yang ada.”
“Baik, Kak” ucapku dan Kiran bersamaan.
“Ohiya, jangan lupa…” Kak Agung coba mengingatkan.
“Lupa apa kak…” Tanyaku.
Kak Agung mulai mengangkat tangan Kirinya dan tersenyum pada kami berdua. Aku dan Kiran tentu paham itu kode untuk apa.
“Salam Pers Mahasiswa!” Teriak Kak Agung
“Salam!” Seru kami.
Penulis: Mr. Bam, mahasiswa dan aktif di lembaga pers 'Psikogenesis' Psikologi Universitas Negeri Makassar