Tue, 16 Apr 2024
Cerpen / Jan 02, 2021

Pesan 700 Tukik

Di tengah terik nya pantai kuta bali di manfaatkan oleh orang bule untuk berjemur. Ia berjemur berharap mereka menjadi kita, tetapi kita ingin menjadi mereka. Saya pun berjalan tanpa menghiraukan mereka, berjalan mengitari indah nya pantai kuta bali, pantai dengan pasir putih nya, pantai yang di penuhi dengan pemandangan “tembus pandang”, kata anak muda sekarang. 

Bagitulah Pantai Kuta Kali, menawarkan suatu pemandangan lain dari pada yang lain dan mungkin saja tidak ada pemandangan seperti itu di daerah lain di Indonesia selain di bali. Bagi mereka yang ingin memuaskan hasrat pandangan nya silahkan datang ke Pantai Kuta Bali tapi mereka yang kuat iman nya saya yakin tak akan tergoda.

Teman – teman khusunya kaum wanita juga agak risih dengan kondisi Pantai Kuta Bali apalagi ketika itu saya masih berstatus mahasiswa UIN Alauddin makassar. Budaya mereka jelas sangat berbenturan dengan budaya ketimuran kita yang menjunjjung tinggi nilai nilai moral dan etika.

Bahkan saya pun merasa “asing” di tempat tersebut seolah-olah mereka yang mempunyai tempat itu dan bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan. Ketakutan ketakutan mulai menghantui pikiran saya. Saya takut menjadi turis di negeri sendiri. Itulah ketakutan – ketakutan yang semoga saja tidak terjadi.

Saya pun terus berjalan walaupun ketakutan–ketakutan terus menghantui. Dari ujung ke ujung pantai kuta di tengah terik nya panas matahari. Keringat pun mulai bercucuran, kaki mulai keram rasa letih pun mulai terasa. Saya dan beberapa teman memutuskan untuk beristirahat sejenak. Tak lama kemudian, mulai terdengar suara-suara pemberitahuan bahwa akan ada pelepasan 700 tukik (bayi penyu) ke habitat nya. Bagi siapa yang ingin ikut silahkan mengambil tiket dan tiket nya gratis. Mendengar pemberitahuan itu, kami pun merapat ke sumber suara dan segera mengambil tiket.

1 orang 1 tiket dan 1 tukik untuk di lepaskan, begitulah peraturan nya. Kami dan para wisatawan lain nya berlomba - lomba untuk mendapatkan tiket yang terbatas itu. Setelah mendapatkan tiket, kami pun mengantri untuk mendapatkan loyang kecil dan tukik yang berisi air. Don’t touch the turtles, kata panitia nya. Begitulah tata cara nya agar tukik ini selamat sampai ke habitat nya (laut).

Tukik pun meronta–ronta dalam Loyang kecil yang berisi air. Ia ingin segera keluar dan menghirup udara segar "sabar ya tukik sedikit lagi sampai ke laut", begitulah kata yang saya ucapkan kepada si tukik. Dengan sangat hati- hati kami menuju pantai untuk melepaskan si tukik.

Setiba di pinggiran pantai, panitia pun mengrahkan kami agar jongkok dan menunggu aba–aba sebelum tukik di lepaskan. Dengan hitungan mundur (10–1) tukik pun di lepaskan secara bersamaan. Para tukik pun berjalan secara perlahan menuju "rumah" yang selama ini ia impikan. "Rumah" di mana ia bisa bergerak dengan bebas.

Para tukik pun terus berjalan dengan harapan ia bisa bertahan hidup di rumah yang kejam itu. Ia takut tangan – tangan jail mengganggu rumah mereka. Apalagi terdengar kabar bahwa tempat mereka akan di timbun kemudian di bangunkan bangunan- bangunan di atas tempat mereka.

Walaupun agak sedikit jauh dari rumah mereka tetapi jelas ini membawa dampak buruk bagi mereka dan spesies lain nya yang hidup di tempat itu. Tempat mereka di jadikan ladang untuk merauk keuntungan oleh segelintir orang, sungguh keterlaluan. Bukan hanya tempat yang rusak, mereka pun lama kelamaan akan mati.

Bukan hanya mereka ataupun tempat bahkan bali pun akan tiada karna hal itu. tidak akan ada bali yang terkenal dengan keindahan pantai nya. Tidak akan ada bali yang di hidupi banyak penyu–penyu dan manusia manusia yang mencari rezki di tempat itu akan menderita. itulah dampak dan masih banyak dampak timbunan itu.

Dengan susah payah berjalan, mereka pun sampai di lautan. 700 tukik pun berenang membawa pesan untuk mereka terkhusus ke pada para penguasa. Dengan harapan mereka tetap hidup dan tempat mereka selalu di jaga. Walaupun hingga hari ini, ancaman “timbunan” masih menghantui para tukik juga menjadi ancaman bagi para manusia pencari rejeki di lautan.

 

Penulis: Muh. Syaiful.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.