Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Mar 16, 2021

Pesan Dari Jalak Lawu

Sembari menyelam minum air, itulah kiranya yang bisa mengambarkan perjalananku kali ini. Sambil survey lokasi, ingin rasanya sekalian mendaki gunung yang konon tempat persemadian terakhir prabu brawijaya. Dari dalam kabin mobil sepertinya tidak lama lag sampai di kampung ngiliran.

Mobil ini sudah sampai di perempatan panekan, tanpa menghiraukan traffic light langsung ambil kiri dan terus melaju menyusuri ruas jalan protokol. Udara semakin lama semakin dingin, ku kenakan jaket yang tertaut pada jok mobil. Gerimis mulai mengguyur sepertinya kabut sudah mulai turun, namun pandangan masih cukup jelas.

Jalan protokol ini mulai serong ke kanan, sementara di arah lurus ada sebuah gang kecil yang cukup dilintasi satu mobil. Sopir mengambil arah lurus dengan hati-hati, melintasi sekitar tiga perkampungan. Dan akhirnya tiba juga di perkampungan terakhir.

Ternyata sudah disambut banyak warga denhan shalawat. Senyumnya berhamburan kemana-mana karena sebentar lagi masjid di kampungnya akan segera direnovasi.

“Assalamualaikum” Aku turun dari mobil.

“Waalaikum sama” sekitar tujuh tokoh menyambut dari beberapa mereka memayungiku.

Mereka segara menyilahkan masuk dan memberi beberapa hidangan semacam jaddah, pisang goreng, tahu isi, dan jajanan lainnya khas kampung. beberapa tokoh desa sudah duduk di sana.

“Bagaimana perjalanannya?” Tanya tokoh desa itu

“Baik Pak Jumali, Maaf agak telat tadi mampir sebentar rumah saudara sebentar”

“Tidak apa-apa he he he, silahkan di makan, seadanya” dia menunjuk hidangan di dapan kami.

“Rencana saya akan menginap agak lama di sini”

“Loo silahkan, boleh saja. tapi ya seadanya” mereka terlihat antusias

“Tidak apa-apa pak, saya malah suka yang seperti ini” aku memungut pisang goreng dari piring. Dan menghela nafas beberapa saat. “o iya bagaimana dengan rencana renovasi masjid?”

“Kalau itu terserah dengan Bapak Riko, kita kan kasarannya hanya bisa urun tenaga, hehe”

“Enaknya kapan ya di mulai pak?”

“Kalau warga desa ya sudah siap pak”

“Kalau begitu bagaimana kalau seminggu setelah saya pulang dari sini, soalnya saya harus mempersiapkan yang terbaik. Apalagi ini rumah Allah”

“Monggo, nanti kita gerakkan seluruh pemuda kampung”

“Terus kapan saya bisa survey lokasi?”

“Besok juga tidak apa-apa, sekarang pak riko istirahat dulu”

“Baik pak”

Setelah beberapa saat ngobrol akhirnya aku di persilahkan masuk kamar. Kamarnya cukup sederhana, berukuran 3 x 4 salah satu dindingnya terbuat dari kayu jati, terlihat seluruh langit-langit juga terbuat dari kayu yang sama.

Di dalam kamar sebuah dipan kuno dengan kasur dari kapuk dan sebuah lemari yang dengan cermin oval. Cahaya lampu agak remang-remang dengan mungkin bolamnya terlalu kecil. Lantainya berwarna hitam menambah remang kamar itu.

*****

Pagi yang cerah dengan udara yang dingin merasuk dalam kamar itu. Suara azan bersahut-sahutan seolah tak ingin kalah dengan suara ayam. Sebenarnya masih terlalu dingin pagi itu, ingin rasanya bersembunyi di balik selimut. Namun tentu yang namanya tamu harus menghormati tuan rumah.

Boleh jadi kebiasaan di rumah bangun semauku, namun lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Segera ku koyak rasa malas itu dan mengambil air wudhu di kamar mandi dekat masjid dan pergi ke masjid. Barangkali dari kepura-puraan aku bisa menjadi saleh sungguhan.

“Pak riko langgarnya di tiga rumah dari sini, bapak hari ini menjadi jadwal imam di masjid, jadi tidak bisa menemani pak riko dia sudah berangkat duluan” kata nenek itu dengan ramah

“Iya nek tidak apa-apa” aku kembali ke kamar untuk mengambil jaket, sarung dan peci.

Tidak berselang lama, aku sudah tiba di langgar dan dalam perjalanan pulang ternyata sudah cukup banyak orang berlalu lalang di jalan.

“Mau ke mana?” coba ku sapa salah satu warga.

“Mau mengambil air, di sumber” ternyata mengambil air.

“Krieek” ku buka daun pintu kayu jati itu, nenek itu sudah menyambut dengan senyum sambil menghidangkan beberapa camilan yang kurang lebih sama di ruang tamu.

“Ini camilan dan kopinya”

“Iya nek terima kasih”

“La sopirnya mana?”

“Dia terbiasa shalat sendirian, soalnya dia harus memulihkan tenaga”

“Iya.. ini kopi sopirnya” dia memberikan secangkir lagi.

“Iya nek.. nanti kalau sudah bangun saya sampaikan”

Matahari mulai terbit dari ufuk timur. sinarnya mulai memecah kegelapan sementara kabut masih belum mau beranjak dari awang-awang kampung itu. Seseorang membuka pintu dengan ternyata kakek.

“Silahkan pak riko jangan sungkan-sungkan”

“Iya pak, mari silahkan ngopi bersama” sesaat setelah meletakkan peralatan sembahyang kakek itu kembali membawa sebuah kresek.

“dingin ya mas” dia mengulum senyum.

“Iya, hehe” aku menyeruput kopi.

“Bagaimana tidurnya?” sambil membuka bungkusan itu

“Alhamdulillah cukup nyenyak, selimutnya hangat sekali”

“Hehehe.. alhamdulillah semoga betah” tangannya mulai meracik rokok.

“Jam segini sudah ramai ya sini?”

“Iya mas, jam segini sudah mulai mengambil air di sumber”

“Berapa kilo?”

“dua-tiga kilo dari sini” jauh juga ternyata

“Mbah sarengat tidak mengambil air?”

“Saya sudah mengambil tadi jam 3. Sebenarnya dulu ada sumber di dekat-dekat sini persisnya di samping masjid, tapi sudah mati” lalu menghembuskan asap

“Kenapa?”

“Tidak tahu, sudah habis mungkin”

“Kenapa tidak dihidupkan, lalu dialirkan ke rumah-rumah warga?”

“Sudah di coba tapi tidak keluar air, ayo silahkan di makan” tangannya menyilahkan.

Tidak terasa hari pagi, dua orang tokoh menjemputku.

“monggi pak riko kita survey” Pak Jumali masuk ke dalam rumah

“Monggo pak” pak sarengat mulai berdiri.

Kami berjalan menyusuri kampung, beberapa warga masih terlihat mengangkat wadah berisi air. sekitar lima menit sampai kami di sebuah masjid tua dengan rangka full jati. Terlihat masih kukuh dan auranya begitu kuat. Masjidnya cukup besar di sekelilingnya ada beberapa pohon.

“Ini dulu yang membangun adalah leluhur saya, dia yang pertama kali babat alas di sini” Pak Jumali mulai bercerita.

“Iya dulu orang-orang sini masih pada belum masuk islam, namun karena kesabaran dan keuletan leluhur kami semua jadi islam” tambah Pak Hanip.

“Berarti masih ada hubungan keluarga?” tanyaku, sambil memutari masjid.

“Buyut kita masih bersaudara, tapi kalau mbah sarengat ini buyutnya sepupu buyut kami, canggahnya adalah mantu dari leluhur kami” Pak Jumali melanjutkan ceritanya.

“berarti pak Hanip dan Pak Jumali adalah keturunan laki-lai dari pendiri masjid ini?”

“benar” jawab pak sarengat.

“Masjidnya masih bagus, apa tidak sayang di renovasi?”

“Tidak apa-apa, demi syiar islam. Apalagi pak, pemuda kampung sini sudah mulai tidak mau ke masjid, mungkin terlalu kuno” keluh mbah sanep.

“Iya pemuda-pemuda sini sudah tidak mau mengaji, bahkan sudah ada yang suka minum-minuman keras dan berjudi”

“Sudah kita fokus saja ke pembangunan masjid” potong mbah sarengat

Setelah yakin dengan ucapan mereka, aku segera menaksir berapa biaya yang dibutuhkan lalu mulai merinci kasar alat dan bahan.

“Sudah mbah saya sudah mendapat gambaran”

“Jadi renovasinya bisa dilaksanakan?”

“Insyallah, sekarang kalau boleh saya ingin mendaki lawu dari desa ini”

“Oh gampang itu, biar nanti diantar pemuda desa”

“terima kasih, merepotkan”

“Tidak apa-apa”

*****

Aku sudah siap mendaki lawu dengan dua orang pemuda, sementara sopirku ku suruh mencari dealer mobil untuk mengecek mobil, supaya mobil itu dalam keadaan prima ketika pulang nanti.

“Mendaki lawu tidak usah takut, insyallah aman. Tidak perlu khawatir tersesat, kalau pun tersesat nanti pasti ada jalak lawu yang memandu. jadi nanti kalau tersesat ikuti saja jalak lawu dia yang akan memandu kalian pergi maupun pulang” begitu pesan mbah sarengat sebelum kami berangkat.

“Iya mbah”

Kami berkemas dan memulai rute pendakian melalui ngiliran, Sebuah jalur pendakian yang baru saja di buka. Perlahan-lahan kami memasuki rimba raya, suara binatang hutan mulai bersahut-sahutan. Tenagaku terus digeber namun rasanya tidak seperti tidak ada habisnya. Mungkin karena semangat dan senang.

Benar-beruntung, dua orang pemandu ternyata cukup kuat dan bisa mengimbangi tenaga orang senang ini. Belum sampai sore kabut tebal mengaburkan pandangan mata.

Begitu kabut hilang, ternyata aku telah terpisah dengan kedua pemuda tadi. Dua pemuda yang berjalan di belakang tadi hilang entah ke mana, perasaan panik mulai muncul coba aku berbalik menyusuri jalan yang tadi ternyata hanya berputar-putar pada rerimbunan hutan.

Coba bersandar pada sebuah pohon dan mengambil minuman barangkali bisa meredakan rasa panik. sambil berfikir caranya keluar dari tempat ini.

Seekor burung jalak tiba-tiba mendarat di depanku, hal itu membuatku teringat pesan kakek sarengat. Semoga mitos itu bukan isapan jempol, burung itu berjalan di depan terus memandu pria tersesat ini. Benar saja tidak berselang lama aku menemukan perkampungan kecil, semoga ini pertanda baik.

Setidaknya bisa bertanya pada orang kampung tersebut. Mataku sudah tidak menghiraukan jalak itu, lalu buru-buru mendekati perkampungan itu, dan benar saja ada beberapa mataku melihat ada beberapa orang di perkampungan tersebut.

“Assalamualaikum”

“Waalaikumsalam” pria berpakaian jawa itu menoleh.

“Maaf pak mau tanya?”

“Iya nak”

“Jalur pendakian lawu ke mana ya?”

“Lo bukannya tadi sudah dituntun jalak?” heran aku kenapa orang ini bisa tahu. Apa ini kampung memedi? tapi kulihat kakinya masih menempel di tanah, dan tidak ada yang aneh. Dan celaka aku baru sadar jalak tadi juga tidak ada. Aku celingukan.

“Tinggalah di sini barang semalam, sambil menunggu jalak itu datang lagi. Tenang saja ini bukan kampung memedi seperti apa yang kau pikirkan. Lihat kakiku masih menginjak tanah” aku semakin heran dengan orang ini kenapa bisa membaca pikiranku?

“Ayo ikuti aku” terpaksa aku mengikutinya, daripada tersesat di hutan dan mati kelaparan. Pria itu langsung menunjukkan rumahnya. Letaknya di tengah-tengah perkampungan. Terlihat orang lalu lalang seperti perkampungan pada umumnya, mereka ada yang membawa cangkul, membawa nira dan membawa semacam peralatan berburu dan pertanian.

“Silahkan ini kamarmu” dia menunjukkan ku kamar yang tidak jauh berbeda modelnya dengan rumah bapak sarengat. aku menurut saja, langsung ku rebahkan semua organ tubuhku setelah meletakkan tas gunung.

Terlihat di depan rumah beberapa orang penasaran denganku, seperti ingin melihatku. Mungkin maklum orang desa tidak pernah di jamah peradaban. terdengar sayup-sayup pemilik rumah menenangkan penduduk

“Tenang! dia tamuku, tolong hormati dia”

Perutku mulai lapar, air dalam botol juga mulai habis dan baru sadar dari tadi aku belum di beri jamuan sama sekali. Gila perutku terus melilit dan tenggorokan rasanya seperti terbakar, tapi mana mungkin aku meminta air pada penghuni rumah. Tiba-tiba “tok.. tok”

“Assalamualaikum”

“Waalaikumsama” aku beranjak membukakan pintu sambil berharap, semoga saja ia membawakan pengganjal perut atau setidaknya seteguk air.

Ternyata dia membawa sebuah buku,

“Ini Al Qurannya dibaca” tentu saja pikiranku protes, aku butuh air bukan al qur’an.

“Baca saja dulu” aku terpaksa menerimanya, “maaf di sini susah air, jadi tayamum saja ya?” aku semakin protes, saat pria itu berlalu.

Malam itu benar-benar menjengkelkan, aku disambut tapi sama sekali tidak di jamu, jangan-jangan benar dia memang genderuwo atau memedi yang hendak membunuhku pelan-pelan lalu memakannya, tapi anehnya kenapa malah menyuruhku membaca la qur’an?

Aku meratapi nasib malam itu, dengan perut kosong dan tenggorokan kering, dan pada akhirnya aku hanya bisa pasrah kalau hanya menjadi santapan kampung memedi ini. malam itu aku berdzikir sekuat tenaga sambil menahan rasa lapar dan haus, dan tertidur, setidaknya itu nikmat terakhir yang aku terima.

“Mas bangun, jalaknya sudah datang lagi” pria itu membangunkanku.

“Iya pak”

“Bagaiamana membaca al quran tadi malam?”

“Sejujurnya saya lebih butuh air daripada al qur’an tadi malam” aku mencoba jujur.

“Seperti itulah keadaan desa ngiliran, mereka lebih butuh air dari pada masjid” Aku terperanjat. Kenapa orang ini bisa tahu?

“Tapi kata sesepuh desa mereka lebih butuh masjid daripada air”

“bukan begitu, selamatkan dulu nyawa orang baru ajak dia beragama, jangan ceramahi dalam keadaan lapar. Aku tahu kamu tadi malam tidak membaca al quran, karena rasa laparmu dan rasa dahagamu, itulah yang dirasakan orang-orang ngiliran. Mereka sibuk memepertahankan hidup sehingga tidak sempat ke masjid, tak sempat bersujud”

“Tapi…”

“Hidayah biarlah menjadi urusan tuhan, manusia fokus saja pada urusan kemanusiaan, tolonglah mereka yang membutuhkan”

“Tapi kata sesepuh desa, kalau masyarakat di manja dan diberi air, tidak menjamin mereka taat beragama dan meninggalkan dosa, dan yang memberi air berarti memfasilitasi berdosa karena bisa saja air itu di buat arak”

“Baik, aku punya sebotol air, aku tahu kamu teramat sangat haus”

“Iya”

“Maukah kau ku beri ini?” dia menunjukkan botol berisi minuman

“Tentu saja, aku membutuhkannya”

“Sekarang kau antara hidup dan mati, kalau ku berikan ini apa kau menjamin dirimu tidak akan berdosa lagi sampai akhir hayat?, berarti aku berdosa memberikanmu minum, karena kau tidak bisa menjamin, dan memfasilitasi pendosa, karena dalam diri setiap manusia tersimpan potensi dosa” aku mulai memahami maksud ucapannya.

“Ini, minumlah” langsung saja ku tangkap botol itu dan ku teguk dengan rakus. tidai pernah aku meminum air sesegar itu.

“Aku telah menyelamtakanmu, aku minta jangan berbuat dosa”

“Tapi aku tidak bisa menjamin”

“berusahalah keras untuk tidak berdosa, Tuhan maha pengampun, baik ayo kita pergi ke tempat jalak itu.

Aku dituntun orang itu menyusuri hutan, sebelum orang itu memberikan beberapa botol air lalu tak terasa menghilang bersama kabut seperti kemarin. langkahku terus menyusuri hutan dan jalak itu muncul lagi di depanku. pelan-pelan jalak itu menuntun menuju pemukiman, dan tidak salah lagi itu desa ngiliran.

“ini dia…” teriak pemuda.

“Woalah mas dari mana saja?” ternyata semua penduduku menghawatirkanku.

“Maaf aku tersesat, tapi alhamdulillah dipandu jalak ini” Lo mana jalaknya, ternyata dia sudah pergi.

Aku segera, pergi ke rumah mbah sarengat orang-orang pada penasaran dengan kisahaku, namun aku hanya menjawab tersesat saja, sementara kata orang-orang aku sudah hilang seminggu. Mereka mengatakan bahwa aku hilang di dekat punden gunung lawu, saat kedua pemuda pemandu sendang istirahat, katanya mereka melihatku juga beristirahat sebelum akhirnya kabut menyapu keberadaanku.

Kisah itu membuatku mengurungkan niatku merenovasi masjid, namun aku tetap ingin membantu desa itu dengan membuatkan beberapa sumur bor dan pipa yang disambungkan ke rumah-rumah penduduk. Tentu saja ini membuat tetua desa agak kecewa namun aku tahu apa yang harus ku lakukan.

Benar kata orang misterius itu, sumur itu sangat membatu warga desa, dan pada saat perasaan aku sempat berpesan

“gunakan sumur ini untuk kebaikan, dan semoga dengan adanya sumur ini bapak dan ibu bisa khusu beribadah, tidak terganggu pikiran tentang air”

Aku tahu pidatoku sangat normatif, namun setidaknya niatku membikin sumur adalah agar mereka fokus beribadah, urusan air digunakan tuak dan arak, ku serahkan kepada Tuhan.

 

Penulis: M. Afin Masrija, Guru MAN 3 Magetan. Dapat ditemui di Instagram Afin Masrija.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.