Thu, 12 Dec 2024
Cerpen / Kontributor / Dec 13, 2020

Puasa Pertama

Sebenarnya sudah kerapkali aku di panggil oleh bang Rasyid untuk ikut di angkotnya sebagai kondekturnya. Sudah sangat lama bang Rasyid menarik angkot seorang diri. Tanpa kondektur sering kali bang Rosyid di tipu oleh penumpangnya. Kasus yang paling di rasai oleh bang Rasyid di angkotnya adalah penumpangnya sering lari setelah sampai di lokasi tujuan tanpa membayar tarif perjalanannya. Maklumlah, kebanyakan angkot tidak menutup pintu sampingnya saat beroperasi.

Aku bukan tidak ingin ikut dengan bang Rasyid hanya saja aku harus membantu pak Herman, mertuaku itu untuk menjaga sawahnya dari serangan hama, pasalnya sebentar lagi akan musim panen. Bisa berabe kalau ngak ketat pengawasan pada padi yang hampir siap panen itu.

“Ajip, daripada kau menganggur, lebih baik kau bantu bapak untuk menjaga padi di sawah sampai panen. Setelah panen nanti akan ku kasi kau upahnya. Agar dapat juga kau kasi anakku uang belanja saat Ramadan nanti” tawar mertuaku itu, ku tahu mertuaku itu tidak sekedar berbaik untuk memberiku kerja, tapi juga itu caranya memarahiku setelah lama aku belum lagi mendapat kerja dan memberi Halima, istriku uang belanja keperluan dapur.

“baik pak” suaraku agak tertahan oleh malu.

Sebentar lagi mamasuki bulan Ramadan, bulan penuh ampunan dan penuh keberkahan. Menyambut ramadhan kali ini, lebih dulu aku harus memakan pil pahit pemecatan dari kantor tampat ku berkerja. Hingga sudah tiga bulan aku belum lagi mendapat pekerjaan. Hampir 10 surat lamaran telah ku sebarkan keberbagai jawatan kerja. Tetapi hasilnya selalu nihil.

Maklum pengalaman kerja terkahir ku tulis sebagai cleaning service di kantor lamaku itu. tentu ini yang mebuatku kesulitan mendapat surat balasan dari setiap surat lamaran ku.

Tetapi aku bersyukur hingga saat ini, belum ada pengaduan dari Halima, istri tercintaku itu atas keberatannya hidup bersamaku selama aku menjadi penganggur di rumah ini. meskipun aku tahu, selalu menetes air matanya setelah menghitung jumlah utang kami di warung mbok Nyiem. Hingga telah habis jatah perhutangan kami di warung Mbok Nyium, kami pun memutuskan untuk bermukim sementara waktu di rumah mertuaku. Tidak hanya berteduh dari terik dan hujan, tapi juga dari rasa lapar.

Hanya kata-kata semangat dan motivasi tinggi yang selalu keluar dari mulut istriku itu kepadaku

“Mas, janganlah mas merasa aku membenci mas atas kesusahan-kesusahan ini, bukan kah mas sendiri telah jujur sewaktu meminangku. Bahwa mas bukanlah orang yang mentereng hartanya. Dan aku pun menerima mas. Memutuskan menikah dengan mas adalah keputusan peling membahagiakan bagiku. Karena aku mencintai mas sepenuh hati. Dan segenap hati telah ku terima mas apa adanya. Mas selalu mengingatkan aku kepada Allah. Maka itulah adalah kekayaan yang ada pada mas untukku” makin hangat ku pelukki istriku.

Tetapi, aku tetap bertanggung jawab atas derita istriku bersamaku. Dan telah aku pikirkan segala ksempatan yang bisa ku dapatkan untuk bisa memberikan Halima uang belanja dan membayar utang kami.

Tawaran bang Rosyid itu, masih di simpankan untukku. Ia tahu keadaanku setelah di putus kerja.

“bagaimana Jip?, kau mau ikut aku narik angkot selama ramadhan ini. upahmu akan kau ambil perhari saja. Supaya ada kau pake untuk beli takjil selama ramadhan nanti” Bang Rasyid menawarkan lagi kerja itu kepadaku.

“sebenarnya saya mau bang. Tetapi urusan kerja dengan mertuaku itu belum selesai bang, belum panen sawahnya yang ku jagai” ku seka peluh di dahiku, setelah jauh berjalan.

“kau bilang saja kepada mertuamu itu. yang kau ingin ikut denganku narik angkot. Lagi pula panen itu masih beberapa minggu, dan lama lagi upahmu kalau begitu. Tiga hari lagi sudah bulan ramadhan. Masak tak ingin kau belikan menu istimewa untuk istri dan mertuamu, hidangan yang mantap di puasa pertama?” goda bang Rasyid

Menyediakan menu terbaik saat berbuka di puasa pertama adalah impian semua para suami. Terutama suami seperti aku, suami mana lagi yang penderitaannya di lengkapi dengan status pengangguran. hufft. dan selalu tergiang adalah kebahgian istriku itu, senyumannya adalah segalanya bagiku.

“memangnya perhari bisa dapat berapa kita bang?” Tanya ku

“di bulan ramadha ini kita pasti mendapat banyak penumpang. Apalagi di awal ramadhan. Orang-orang pada banyak keluar untuk mencari keperluan dapurnya selama ramadhan, dan banyak yang jalan-jalan untuk menunggu waktu berbuka. Dan itu kesempatan baik untuk kita. makanya ingin ku ajak kau ikut serta denganku narik angkot. Biar maksimal kita hehe” bang Rasyid makin menyakinkanku. “lagipun kau ni kan orangnya jujur dan ulet dalam berkerja. Siapa sih yang yang tak ingin menjadikanmu assisten hehe” lanjutnya

“jangan begitulah bang. Buktinya, jadi pengangguran aku sekarang” aku tersenyum kaku

“alah.. pengangguran itu kan bagian dari proses dalam kehidupan ini. semua orang juga kan pernah menjadi pengangguran seperti kau ni. Sudahlah janganlah membersalahi dirimu.” Tangan bang Rasyid mengapai pundakku.

“hehe baik bang, kalau begitu biar aku bicara kepada mertuaku”

“baiklah, kalau jadi, puasa pertama kau akan mulai berkerja bersamaku”

Aku menganggukan kepala tanda akan ku berikan jawaban segera mungkin.
Kulanjutkan perjalananku, setelah perbincangan ku dengan bang Rasyid itu. setiba di rumah, ku dapati istiriku telah menyiapkan menu makan malam nanti. Ku lihat dia sibuk bikin sayur berkari. Sedap sekali baunya. Di tambah dengan kecantikan istriku yang membuat aku setiap hari akan jatuh cinta kepadanya. Bersyukur aku Tuhan telah Engkau anugrahi dia padaku.

Setelah balik dari dari musholah kampung sehabis sholat isya. Makanan yang tersaji tadi telah siap di ruang tangah rumah mertua kami. Bapak mertuaku, sibuk memainkan gumpalan asap rokoknya di teras rumah, menikmati angin malam dengan keadaan hanya bersarung. Kebiasaan mertuaku itu, tak suka dia berbaju kalau di malam hari, lebih suka dia bertalanjang dada menikmati angin malam. Tapi tidak pernah juga ia ku dapati masuk angin. Tebal sekali kulit tubuhnya.

“mari, masuk makan” panggil ibu mertuaku.

Kami pun bergegas mengambil posisi sopan di depan makanan. Untuk menyantap hindangan dari istriku. Aku yang paling bersemangat kalau melakukan sesuatu yang berkaitan dengan istriku.

Hening saja suasananya, hanya suara ngunyahan yang berlarian di pendengaran kami, suara sendok kandang melambunginya. Tak ada pembicaraan menyertai makan malam kami. Hingga aku membuka suara.

“ehmm, pak, tadi, bang Rasyid kembali menawariku untuk ikut dengannya menarik angkot sebagai kondekturnya selama bulan ramadhan nanti” aku menyelahi suara ngunyahan.

“lalu sawah, akan terbiar?” jawab mertuaku, mulai sulut mentalku mendengar nadanya itu.

“itu yang sebenarnya ingin ku bicarakan dengan bapak” mulai timbul keringat di pelipis keningku. “ramadhan hampir lagi tiba banyak keperluan yang harus di sediakan olehku pak” lanjutku, sengaja aku pake kalimat seperti itu, karna aku yakin mertuaku itu akan mengerti aku sebagai suami.

Sehabis juga mertuaku itu mengunyah. Bertanda telah beres ia menyantap makanannya. Ia belum menjawab perkataanku tadi. ia lengkapi ritual makannya dengan menegukkan segelas air yang sedari tadi telah di siapkan oleh istriku.

“ehmm, baiklah, kalau begitu. Kau terima saja tawaran Rasyid itu, soal sawah biar aku saja yang jaganya lagi. Lagipun hanya sebentar lagi kita akan panen” jawab mertuaku setelah meneguk segelas air minumnya.

“baik, pak, terima kasih pak. Aku akan mulai ikut dengan bang Rosyid di puasa pertama, jadi besok biar aku saja yang kesawah pak” ku lirik istriku itu, ia tersenyum dan aku pun tersenyum.

Setelah pembicaraan kami, mertuaku itu kembali melanjutkan aktivitasnya. Mengisap rokok sambil tak berbaju di teras rumah, menikmati angin malam.

Di pikiranku sudah nampak apa yang akan ku bawa untuk menu berbuka puasa pertama kami setelah narik angkot.

Di puasa pertama, aku memulai kerjaku bersama bang Rosyid sebagai kondektur di angkotnya. Rasa lapar yang membuncah di perut tak membuat suaraku tak menjadi lantang. Menarik penumpang. Puasa pertama selalu memberi kesan lapar yang amat dahsyat. Syukurlah hari ini terbilang banyak penumpang yang kami dapat.

Hingga sore hari, aku harus pulang sebelum jam berbuka. Begitu juga dengan bang Rasyid yang tak ingin melewati kesempatan berbuka di puasa pertama bersama keluarganya. Setelah di beri upah untuk hari ini, kami singgah kepasar untuk membeli jajanan buka puasa terbaik. Alhamdulillah upah pertama tidak habis hanya untuk beli makanan. Artinta masih ada sisa untuk ku berikan kepada istriku tercintaku itu.

Hari mulai gelap. Para takmir masjid sudah siaga di sekitar beduk untuk memberi tanda berbuka.

Setibanya diriku di depan rumah. Ku dapati ramai orang-orang di rumah mertuaku itu. “ada apa orang ramai seperti ini” aku membatin. Sembari menyusuri jalan halaman rumah. Di bawah langit yang kelam. Tangisan orang-orang menjadi senandung di bawah langit kelam. Kesedihan menghiasi perkarangan rumah mertuaku. Ku lihat istri dan ibu mertuaku ikut dalam kesedihan yang belum ku mengerti itu. tak lama kemudian berlari istriku kearahku, lalu merebut tubuhku , memelukiku seerat-eratnya.

“bapak mas…. Bapak… bapak telah tiada”meledak tangisnya di tubuhku yang masih tak percaya.

Mertuaku telah menemui ajalnya di puasa pertama. Di menu terbaik yang telah ku siapkan untuk ritual berbuka puasa pertama kami. Mertuaku telah tiada. Setelah ku mendengar cerita. ia menemui ajalnya di sawah tadi. saat sedang berlari ia mengejar hama, tergelincir ia lalu terhantuk ke batu.

Hingga menutup matanya dan terhenti napasnya. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Puasa pertama kami harus berbuka dengan isak tangis. Di tengah isak tangis kesedihan atas kehilangan segala apapun tidak lagi menjadi penting. Termasuk makanan terbaik yang telah ku beli untuk puasa pertama kami. Dan tak mungkin aku berkata “andaisaja…”

 

Penulis: Nasrul Basri, pemuda Sebatik yang sedang menyelesaikan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Sarjanawiyata Yogyakarta serta aktif di berbagai organisasi.

Pronesiata

Kami percaya jika semua tulisan layak untuk dibagikan. Tak perlu harus sempurna! Media ini ruang bagi semua yang memiliki karya tulisan.

© pronesiata.id. All Rights Reserved.