Saat Kau Pergi
Aku membuka pintu berwarna coklat tua dan berjalan menuju ruang tamu. Didindingnya menggantung foto prawedding kita. Sebuah foto berukuran 24 R berlatar puncak gunung Bulu Saraung. Kamu menggunakan jaket parasut hitam sementara aku memakai jaket merah. Kita bergandengan tangan dan tersenyum sangat lebar.
Cara kita tersenyum sama. Itu adalah kita, kala menjelang pernikahan, kita yang tak sabar hidup berdua dan bertumbuh bersama.
Aku melanjutkan langkahku kearah ruang keluarga. Betapa miris rasanya, aku sangat mencintai ruangan ini sebelumnya. Ada sebuah rak kayu yang berisi televisi, stik gamemu, CD lagu-lagu, dan beberapa CD drama korea favoritku. Disini kita sering menghabiskan waktu bersama, membunuh sepi dan bermesraan.
Aku sering mengganggumu kala kamu bermain game, dengan memberikan makanan atau dengan pelukan mesra. Kamu juga sangat sering menggangguku saat aku tenggelam dalam drama, dengan ciuman yang mendadak. Tempat ini juga merupakan sumber pertengkaran kita. Aku kadang melupakan realitas saat asyik menonton, hingga lupa melakukan apapun untuk kita. Sementara aku sering marah padamu karena mengabaikanku yang bercerita.
Matamu terus fokus pada layar televisi memainkan gamemu. Dadaku mendadak sesak. Bagaimana kini aku harus hidup dirumah ini tanpamu? Pertanyaan itu menggantung diudara.
Dapur kita begitu rapi sayang. Kamu terlihat terampil memasak nasi goreng, ikan bakar dan menumis kangkung. Katamu, itu keterampilan yang kamu asah selagi hidup sendiri. Rasa masakanmu tidak pernah cukup enak sebenarnya, hanya aku menerimanya. Satu hal yang paling enak yang perna kamu buat adalah kopi hitam. Entah kenapa aku selalu merasa kamu mencampurnya dengan pas.
Gula dan kopinya seimbang. Seperti kopi buatan nenek. Bagiku kopi kadang bukan hanya sekedar minuman. Namun, sesekali kopi bisa menjadi obat untuk pusing dan sakit kepalaku.
Aku memasuki kamar tidur kita. Disana masih terpasang seprai abu-abu tua kesukaan kita. Bantal tidur dengan aroma kepalamu. Aku menciumnya dalam, merasakan hadirmu di ruangan ini. Terbayangkan saat aku membaca novel-noveku di atas tempat tidur, dan kepalamu berada dipangkuanku.
Kamu tak pernah mau membacanya, katamu “ceritakan padaku sayang” aku akan bercerita dan kamu perlahan akan meninggalkanku tertidur. Tahukah kamu, aku selalu jengkel jika ditinggal seperti itu. Lebih sering dongeng belum selesai kuceritakan. Kamu yang menarik selimutku untuk membangunkanku dari tidur, aku akan bangun sambil marah-marah dan mencari ikat rambutku yang selalu saja sulit ditemukan.
Terlalu banyak hal yang terus berputar dikepalaku. Aku sebaiknya merapikan kamar ini.
Dilaci samping tempat tidur ada note kecil usang milikmu. Buku catatan kecil yang kau miliki sejak duduk dibangku kuliah. Tidak juga penuh terisi, kamu memang tak terlalu suka menulis. Selama ini aku tidak pernah tertarik membukanya, itu privasimu tentu saja. Tapi kamu telah tiada, mungkin tak masalah aku melihatnya, apa saja yang kamu telah kamu tulis.
Aku membukanya, dibagian depan ada namamu dan nomor induk mahasiwa. 20 lembar di depan berisi catatan mata pelajaran yang berantakan dengan tulisanmu yang sulit dibaca. Setelahnya ada list belanja bulanan dan harganya. Ha ha kamu mencoba mengelolah keuangan namun gagal di nomor 30. Catatan terakhir Pepsodent Rp. 5000. Kamu tidak bisa melanjutkan karena ribet.
Karena mengambil waktu berharga yang biasa kamu gunakan untuk berbincang dengan sahabat-sahabatmu, bermain game atau pergi melakukan perjalanan kegunung.
Ada puisi Sapardi Djoko Damono kesukaan kita. Puisi “aku ingin” kesukaanku. Kamu sangat suka puisi “pada suatu hari nanti”.
Pada suatu hari nanti
Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri
pada suatu hari nanti
suaraku tak akan terdengar lagi
tapi diantara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati
pada suatu hari nanti
impiankupun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari Aku ingin
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Kamu sangat sering membacakan 2 puisi ini untukku. Untuk menggantikan suara Fiersa Besari yang begitu sering kuputar di You Tube. Aku tak pernah mengucapkannya secara langsung bahwa bagiku caramu membaca kedua puisi ini adalah yang terbaik menurutku. Karena aku tahu, kata-kata yang keluar dari mulutmu adalah ditujukan untukku.
Tulisan terakhirmu dibuku ini harapan “terus bertumbuh dan saling mencintai”
Kamu mengkhinati tulisan ini, kamu berhenti bertumbuh dan berhenti mencintaiku.
Aku menulis dibawah tulisan terakhirmu:
Katakan pada Tuhan, kamu ingin kembali. Tidak bisakah? Katakan padanya aku terlalu rapuh untuk ditinggalkan sendiri. Atau minta untuk membawaku serta. Seperti ketika kamu memohon pada ibumu untuk hidup bersamaku. Kamu memohon terus menerus hingga akhirnya ibu lelah dan membiarkanmu pergi bersamaku. Tidak bisakah kamu lakukan sekali lagi?
*
Pagi sebelum kamu pergi
“Nanti kamu pulang sendiri yah” katanya sambil menyemir sepatu pantofel hitamnya yang kotor
“Kenapa ? ada kegiatan apa sore ini ?” jawabku
“Aku mau ke kampus sebentar, ada acara Gema Kampus.” Jawabnya
“Nginap ?”
“Mm tidak, paling sampai jam sembilanan. Setelah itu langsung pulang kok” jawabnya sembari berjalan menuju halaman.
“Malas banget pulang sendiri” jawabku
“Harus dibiasain sayang” katanya
Aku menatapnya dengan muka penuh tanda tanya
“Cuma sekali-sekali kok” lanjutnya nyengir
“Aku tunggu dimobil yah” dan dia pergi meninggalkan halaman rumah kami yang luas.
Setelahnya aku bergegas, menggunakan sepatu dan menutup pintu kemudian bergegas mengikutinya.
*
Sepanjang jalan kita asik menyanyikan lagu-lagu Tommy J Pisa, dibatas kota ini dan disini dibatas kota ini. Salah satu lagu jadul yang sangat kami sukai. Disela-selanya ada perbincangan kita tentang susu program hamil yang rasanya tidak enak. Serta kebosananmu mengkonsumsi makanan sehat untuk program hamil.
Sebelum turun dari mobil aku mencium tanganmu untuk yang terakhir kali, kamu mencium bibirku untuk yang terakhir kali. “Sampai jumpa nanti malam” katamu sebelum melaju membela jalan. Pukul 16.00 pesan terakhir darimu masuk “hati-hati kalau pulang, bilang sama tukang ojeknya jangan ngebut”
Sampai malam hari sebuah nomor tak dikenal mengabarkan kepergianmu untuk selamanya. Aku benar-benar tidak nyakin itu benar. Mungkin ini penipuan, kataku pada diri sendiri. Kakiku seketika melemas, kepalaku pusing seketika. Tapi penelpon itu menyebutkan nama lengkapmu, tempat tanggal lahir dan nomor plat mobil kita.
Dia bahkan mengirimkan fotomu, dengan darah yang mengalir dikepalamu. Darah itu mengotori kemeja biru muda yang kamu kenakan.
“Beliau sudah meninggal bu, saat kami temukan” katanya dengan suara rendah
Tahukah kamu, duniaku kacau balau seketika. Pernah kukatakan, harus aku yang pergi duluan dan katamu boleh saja. Lalu kini kamu pergi lebih dulu, terlalu cepat bahkan, terlalu mendadak dan tak pernah terencana. Dan tak terencana, memang itulah caramu menjalani hidup, bahkan sampai mengakhiri hidup.
Meninggal artinya pergi selamanya, tak lagi dapat dicari, hilang yang sejati, tak akan pernah kembali lagi. Ulangku dalam kepala.
*
Hari ini merupakan hari kedelapan setelah kamu pergi untuk selamanya. Meninggalkan aku dan kehidupan pernikahan kita. Para keluarga telah kembali ke rumah masing-masing. Hari ini mama juga kembali kerumahnya untuk beres-beres. Aku sendirian sayang, tak pernah sesendirian ini sebelumnya.
Aku tidak pernah membayangkan rumah ini akan menjadi begitu suram dan hampa. Rumah yang selalu membuatku bangga dan bahagia setiap kali melihatnya. Ternyata kini justru menjadi hal yang menyakitkan tanpamu. Setiap sudutnya membuatku teringat padamu. Aku mungkin harus pergi dari sini.
Tidak, mungkin juga tidak. Selama hidup aku selalu meninggalkan dan menghilangkan hal-hal yang tidak kusukai dan membuatku tidak nyaman. Untuk sekarang sepertinya situasi tidak membiarkanku melakukan itu lagi. Aku tidak akan meninggalkan satu-satunya kenangan kita. Tempat dimana mimpi-mimpi tetap akan menjadi mimpi selamannya.
Penulis: Mitha Islamia Sam, sedang belajar Psikologi di Universitas Negeri Makassar. Menyukai novel dan film.