Selamanya Bermimpi
Aku merasa tubuhku seperti digerakan oleh sesuatu. Lama-lama makin kencang. Aku yang masih rebahan di atas ranjang seketika menyadari bahwa ini bukan ulah manusia. Pakaian-pakaian yang tergantung di balik pintu kamar mulai berjatuhan. Barang-barang di atas meja belajarku pun bergerak-gerak.
Aku mulanya masih setengah sadar, kini nyawaku sudah cepat berkumpul. Aku baru sadar bahwa bumi sedang bergetar. Langsung saja aku melompat dari ranjang dan lari ke luar kamar. Namun, ternyata ada satu benda yang lupa kubawa. Aku kembali lari ke kamar dan mencari-cari benda pusaka milikku.
Untung saja lantai tidak bergetar lagi. Aku mempercepat pencarianku. Setelah mengacak-acak meja belajar dan ranjang, ternyata benda pusaka itu ada di samping bantalku. Aku lantas kembali lagi ke luar kamar. Siang-siang begini aku memang selalu sendiri. Sebab, orang tuaku harus menjaga kios sembako. Kalau tidak seperti itu, kami akan mengalami busung lapar.
Karena di rumah selalu sendiri, aku pun tidak memeriksa ruangan lain atau memanggil siapa pun. Baru saja aku hendak ke luar dari rumah, tiba-tiba bumi berguncang lagi. Aku berpegangan erat dengan tiang yang ada di halaman rumahku. Reruntuhan dari atap pun mulai berjatuhan. Aku yang sudah berbekal bantal langsung meletakkannya di atas kepalaku.
Namun, tiba-tiba saja ide cemerlang muncul. Aku harus mengabadikan momen menegangkan ini. Biasanya setiap ada kejadian, kan, pasti ada rekamannya. Siapa tahu rekaman kejadian ini, aku bisa viral. Langsung saja aku memvideokan momen ini sambil berlari dan berteriak meminta tolong.
***
“Neng, bangun, Neng.” Aku mendengar suara yang sepertinya tidak asing di telingaku.
Aku pun membuka mata perlahan. Di samping kananku ternyata ada Ibu yang sedang menggenggam tanganku. Namun, kenapa aku berada di atas ranjang di kamarku? Bukankah aku tadi sudah lari ke luar rumah? Bahkan, aku sudah memvideokan momen aku berlari sambil meminta tolong.
Apa mungkin gempa tadi adalah mimpi? Namun, aku merasa itu sangat nyata. Aku benar-benar dibuat sakit kepala dengan peristiwa ini.
“Neng, maafkan Ibu, ya, karena sudah sering meninggalkan kamu sendiri di rumah.” Ibu mengelus tanganku dan terisak pelan.
Kurasakan bulir-bulir bening itu jatuh ke tanganku. Lalu Ibu mencium pipiku dan berkata, “Ibu janji nanti akan menemani Ningsih selamanya.”
Aku benar-benar tidak tahu harus merespons apa. Mengapa ini menjadi dramatis sekali? Apakah ini nyata atau mimpi? Di mana aku sebenarnya?
“Bu, Bapak ke mana?” tanyaku pelan.
Tanpa menjawab, Bapak yang kini menggantikan posisi Ibu di samping kananku. Bapak pun bersikap sama seperti Ibu. Tiba-tiba meminta maaf, tiba-tiba menangis, dan tiba-tiba memelukku.
“Bapak dan Ibu sebenarnya kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Bapak dan Ibu berada di kios?”
Rentetan pertanyaanku itu malah membuat Bapak makin terisak. Bapak lantas memelukku sekali lagi. Bapak pun berucap, “Maafkan Bapak, ya, Neng.”
***
“Ningsih, alhamdulillah akhirnya kamu bangun juga.”
Saat aku membuka mata kali ini, suara yang menyambutku ternyata Bi Siti. Aku sudah tidak berada di kamar lagi, melainkan di rumah sakit. Untuk ke sekian kalinya aku bingung dengan peristiwa yang sedang kualami. Apakah aku bermimpi di dalam mimpi?
“Bi, Bapak dan Ibu mana, ya?” aku bertanya dengan suara lirih.
Seketika raut wajah Bi Siti menjadi sendu. “Bapak dan Ibu belum ditemukan, Neng.”
Aku terbelalak. “Loh, kok, bisa, Bi? Tadi aku ketemu Bapak dan Ibu, Bi. Mereka ada di rumah, Bi.”
Bibi menggeleng. Bapak dan Ibu ternyata masih berada di kios saat gempa itu terjadi. Karena kios itu sudah menjadi puing-puing, tim evakuasi harus menyisir lokasi dengan perlahan. Ditambah lagi rumah-rumah di sekitar kios pun banyak yang mengalami kerusakan parah. Jadi, tidak hanya aku yang belum menemukan anggota keluarga.
Bapak, Ibu, apakah mimpi itu sebagai tanda perpisahan kita? Mengapa aku tidak berada di dalam mimpi saja selamanya supaya aku bisa bersama Bapak dan Ibu?
Tamat
Penulis: Vivi Intan Pangestuti, mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dapat dihubungi melalui Instagram @viviitan99