Senja di Sebelah Bapak
Hujan turun semakin deras, seperti tidak peduli berapa banyak air yang masuk ke gubuk beralas tanah yang hanya berlapis karpet yang sudah robek di sana- sini. Ini bukan pertama kalinya air masuk ke rumah kami dan kami tak bisa berbuat apa-apa.
Aku hanya duduk, memandangi rumah yang penuh air dari dipan dua kali satu meter di depan rumahku. “Ah, semalang itukah aku sekarang?” Umpatku dalam hati. Benar-benar tak ada cara untuk menghentikan air yang masuk semakin banyak ke dalam rumah, kecuali hujan redah, dan air surut dengan sendirinya.
Lalu seperti kemarin dan tadi siang, lagi-lagi aku harus membersihkan semuanya.
Tatapanku kian nanar, rasanya sebentar lagi hujan yang tak kalah deras turun dari kelopak mataku. Seharusnya aku bisa menahannya, ada bapak di sebelahku dan ia tak boleh melihatku menangis. Pikiranku lari ke mana-mana, kuliah online belum berakhir, bahkan ini minggu UAS.
Tugas dan cicilan berlomba-lomba memenuhi isi kepalaku. Tak kalah banyaknya dengan air yang kian tinggi di dalam rumah. Dan sekarang, aku harus mengerjakan tugas-tugas kuliahku , mencari jalan untuk melunasi utang-utang keluargaku dan memikirkan cara agar tidak kebanjiran di dalam rumah yang benar-benar berantakan.
Hatiku remuk, aku rasanya ingin menyerah, ingin lari ke mana saja agar aku tidak dalam keadaan ini. Tapi, yang paling menyakitkan dari semua itu adalah aku bahkan sedikitpun tak boleh mengeluh atau hati bapak akan terluka.
Aku hanya diam, pikiranku saja yang ke mana-mana. “Andai ada sedikit rejeki untuk menimbun tanah agar kita tidak kemasukan air lagi.” Suara bapak mengejutkanku. Tapi aku tahu, tidak semudah itu. Gubuk kami berdiri di atas tanah keluarga, bukan milik pribadi.
Tentu saudara-saudara ibuku tidak memberi izin bagi kami untuk menimbun tanah ini. Aku ingat sekali saat pertama kami pindah ke sini, mereka sangat berat hati untuk memberikan tanah ini. “Pak, Bapak tahu kan saudara-saudara ibu seperti apa. Mereka tidak akan memberi izin.
Lagipula, kalaupun ada uang dan kita menimbun, pasti orang-orang yang memberi pinjaman akan marah. Bagaimana bisa kita menimbun tapi tidak bisa membayar hutang?” pungkasku. Aku seharusnya tidak mengatakan itu, tapi aku tak punya jawaban lain dan itulah kenyataannya.
Aku tak bisa mengharapkan hal-hal yang besar. Rumah lebih layak dan bebas dari hutang, lalu hidup dari sayur di samping rumah bersama Bapak dan Ibu, sesederhana itu harapanku. Bapak ibuku kian menua dengan penghasilan yang tidak seberapa.
Bapakku menderita strok ringan dan masih harus menambal ban setiap hari, tanpa obat apalagi periksa rutin ke dokter spesialis. Tidak pernah. Ibuku, hanya pedagang kua di salah satu SD, masa pandemi seperti ini jelas tak ada yang bisa kami harapkan sebab sekolah ditutup. Jadi bagaimana bisa aku berharap banyak dalam keadaan seperti ini.
Bapak memandang kosong ke jalan raya, sementara aku masih memperhatikan air yang tak mau berhenti masuk ke rumah. Senja itu di sebelah bapak, aku meminta dengan sangat semoga suksesku dipercepat, aku terlalu lelah berdamai dengan keterpurukan, berkawan dengan kemiskinan. Aku lelah, benar-benar lelah.
Tapi yang paling menyakitkan dari semuanya itu adalah, aku tak punya tempat untuk mengeluh. Bapak yang menjadi tiang kekuatanku akan rapuh mendengar keluhku. Kusimpan lelahku rapat-rapat, kubungkam keluhku walau getir. Tak kuberi sedikitpun celah waktu untuk mengeluh.
Bapak diam, tidak ada lagi kalimat yang menyusul jawabanku tadi. Seperti itulah bapak, ia tak banyak bicara. Tapi aku tahu, isi kepalanya penuh, riuh. Aku nyaris tak pernah mendengarnya mengeluh, bahkan saat sakit sekalipun. Kadang ingin rasanya kupeluk bapak dan memintanya mengeluh, mengatakan ia lelah, ia sakit dan tak kuat. Tapi tidak, bapak terlalu sabar menyimpan segala keluh dan peluhnya sendiri.
Bapak ternyata terlalu hebat memikul beban di pundaknya yang kian hari kian rapuh. Hatinya masih terlalu besar menahan tangis dari matanya yang kian sayu. Aku menghela napas panjang, senja itu bersama bapak, tanpa suara. Hanya pikiran yang riuh dan luluh. “Bapak, warisi aku kesabaran sepertimu.” Pintaku dalam hati.
Penulis: Febry Yanti Tanggulungan, mahasiswa tidak berpengaruh di FIP UNM dan aktif di Lembaga Seni Gita Swara HMPS PGSD dan Bilingual Meeting Club PGSD FIP UNM.