Seorang Walikota Yang Malang
Orang-orang berkumpul dibalai kota. Mengerumuni satu titik didepan mimbar. Mereka tidak sedang melihat sang walikota berpidato, mereka sedang melihat walikota terbujur tak berdaya sambil memegang dadanya yang berlumur darah.
Warga kota panik, semua menunduk, pasukan keamanan berusaha mengambil kendali, ajudan walikota bergegas memberikan pertolongan pertama pada walikota. Anak walikota ketakutan, istri walikota menangis histeris, sang walikota terdiam dalam kesakitan.
Ia tewas.
**
“sudah dengar kau soal walikota kemarin?”
“kenapa emang?”
“menggusur lagi dia”
“wahh, gawat nih, sudah kau kabari anak-anak belum?”
“sudah, kau saja yang belum tahu, lagian semalam kau kemana?”
Rawi melengos, ia malas menceritakan tentang apa yang terjadi semalam antara dia dan pacarnya. Apalagi, ia bertemu pacarnya tersebab kemampuannya mengendap-endap saat rapat konsolidasi berhasil tidak diketahui siapapun semalam.
“lah.. kenapa diam saja kau?” nada Iqbal kini curiga dengan kelakuan temannya ini, beberapa hari ini salah satu kawan seperjuangannya ini memang sering meninggalkan rapat konsolidasi yang mereka lakukan bersama warga. Padahal situasi mereka saat ini berada pada titik kulminasi konflik. Baru selang beberapa hari pihak tentara berkeputusan untuk memberikan surat peringatan ketiga kepada warga mabla yang sedang bersengketa tanah. Mereka berdua, dan beberapa aktivis mahasiswa lain sudah bersiaga sejak berbulan-bulan di posko tolak penggusuran warga mabla yang mereka dirikan sendiri ketika isu penggusuran kian santer terdengar dari mulut-mulut warga yang ketakutan.
Rapat demi rapat mereka lalui, kampanye, dan aksi demonstrasi pun telah mereka lakukan. Namun, tentara tak kunjung menarik surat peringatan ketiga yang mereka layangkan. Hal ini, bukan saja membuat warga semakin cemas, namun juga membuat para aktivis kelelahan karena harus bersiaga di posko selama berbulan-bulan. Beberapa ada yang mencuri-curi kesempatan untuk kabur meninggalkan temannya. Beberapa ada yang memilih berpacaran saat konsolidasi dengan warga berlangsung. Rawi, salah satu pentolan aktivis ternama rupanya tak lepas dari godaan ini: bertemu pacar.
“aku kemarin tidur, capek habis nulis artikel yang harus dikirim ke media” kata rawi, sambil menggaruk-garuk bagian belakang celananya.
“ya, baguslah, kita mesti perkuat kampanye di media sosial, gerakan kita perlu diketahui masyarakat banyak agar mereka bisa bersimpati dan mendukung perjuangan kita”
Rawi hanya mengangguk-ngangguk. Ia kehabisan tenaga, karena semalam kurang tidur, belum lagi mentalnya memang sudah terkuras habis, bukan dia saja. Seluruh aktivis mahasiswa yang masih berada diposko mungkin merasakan hal yang sama dengan yang ia rasakan. Bahkan beberapa warga ada yang telah terang-terangan memindahkan barang-barang mereka ketempat yang aman, sebuah tindakan preventif yang dilakukan agar barang tidak terkena bangungan yang roboh saat rumah mereka diratakan, juga sebuah simbol keputusasaan. Semua telah lelah kecuali satu orang yang hingga saat ini masih berapi-api berjuang, sang komandan, Iqbal, sahabat karibnya.
Ia lupa, kapan tepatnya kawannya itu mendapat julukkan komandan, memang sejauh yang ia ingat, kawannya ini sudah ikut-ikutan memprotes dijalan sejak mereka masih semester dua. Setelah itu, dimanapun isu-isu penggusuran, pengambil alihan lahan, kekerasan pada petani, dan isu-isu lainnya terdengar. sangat jarang ia mendengar iqbal tak berada ditempat itu.
“eh, kau bilang tadi walikota menggusur lagi? dimana lokasinya?”
“di kp5, depan kampus, pedagang-pedagang kaki lima disana diminta angkat pergi. Sudah ada anak-anak disana standby beberapa.”
“masalah apalagi? ini saja belum selesai”
“pemilukan sudah selesai bung. Sekarang waktunya menggusur, empat tahun lagi baru cari muka”
“tapi lokasinya memang di trotoar kan, legalitasnya bagaimana?”
“masih dicari tahu kronologinya. Ini kasus baru, memang kenapa kau tanya legalitas? kau setuju penggusuran?”
“bukan itu, masalahnya trotoar kan mestinya juga tidak dipakai untuk berjualan, ya mungkin saja walikota hanya ingin melakukan tugasnya sebagai walikota”
Iqbal hanya menatap sinis pada temannya ini. Ia masih bisa membantah argumen temannya yang entah sedang kerasukan apa ini, namun ia memilih untuk diam saja, ia juga merasakan lelah dan sedang tak ingin meladeni kawannya berdebat panjang.
***
Empat bulan setelah percakapan mereka, warga mabla berhasil meraih kemenangan di pengadilan tata usaha Negara yang memastikan bahwa tanah yang menjadi sengketa sepenuhnya milik mereka. suka cita tak hanya dirasakan oleh warga mabla. Tetapi juga para aktivis mahasiswa yang selama ini telah mendampingi kasus mereka. Rawi dan Iqbal salah satu aktivis yang masih bertahan pun tak kuasa menahan tangis mereka, ketika keputusan pengadilan keluar dan mereka merasa bahwa satu lagi kemenangan kecil telah mereka raih. Para warga berterima kasih kepada para aktivis mahasiswa, para aktivis mahasiswa pulang dengan perasaan bangga, namun tidak besar kepala. Di kepala mereka, perjuangan belum usai, dan masih banyak yang kasus menunggu diselesaikan.
**
Setahun setelah percakapan mereka, Rawi lulus kuliah dengan waktu enam tahun masa study, disusul kawannya iqbal enam bulan kemudian. Iqbal yang memiliki jiwa aktivisme yang tak kunjung luntur melamar menjadi salah satu pengurus NGO sedangkan Rawi melanjutkan kuliahnya dijenjang selanjutnya.
**
Sepuluh tahun sejak percakapan mereka. Rawi kini telah menjadi walikota kota mereka. sedangkan iqbal masih setia berada digaris perjuangan, ia menjadi peniliti isu-isu sosial sambil terus mengawal isu-isu penggusuran yang dari tahun ketahun kian bertambah jumlahnya.
Yang terbaru adalah keputusan kontroversial walikota Rawi untuk melakukan reklamasi sekaligus menggusur warga yang berada disekitaran pantai solari. Isu penggusuran ini kemudian ditanggapi cepat oleh ngo-ngo dan para aktivis mahasiswa dengan melakukan protes besar-besaran dikediaman pribadi walikota. Namun sialnya, walikota tak menanggapi dengan ramah dan malah mengerahkan satu pleton brimob untuk membubarkan masa aksi, yang menghilang sangat cepat.
**
Sebelas tahun sejak percakapan mereka.
Dan kini Rawi terbujur kaku sambil memegang dadanya yang berlumur darah. Ia yang sedang memberikan pidato tentang persatuan dan kebhinekaan dalam rangka hari ketahanan perdamaian internasional harus merasakan timah panas yang dilesakkan oleh sahabat seperjuangannya sendiri.
Iqbal berdiri di tepi jalan, memegang pamflet kampanye penggusuran berlumur darah.
Penulis: M. Wahyu Setiyawan (Mahasiswa Psikologi UNM dan Pegiat Literasi di Stimulus Paradigma)