September yang Hampir Habis
Malam September yang gerah jatuh sekali lagi.
Setelah membereskan kertas-kertas berminyak yang menjadi wadah makan malam mereka untuk disingkirkan ke tong sampah, ia kembali duduk bersandar di salah satu sisi tembok ruang sekretariat. Ruang itu tidak begitu luas sebenarnya –dan semakin terasa sesak karena seluruh anggotanya ada di sana, tidur dengan posisi tak beraturan, tanpa selimut, di bawah kipas angin yang berputar lambat. Udara panas sekali, tapi mereka terlalu lelah untuk peduli. Sepekan belakangan ini, mereka telah melakukan aksi unjuk rasa sebanyak dua kali. Sisa waktu dihabiskan dengan berdiskusi, di mana malam ini adalah salah satunya –setelah siang hari tadi dipenuhi dengan berpeluh-peluh di jalan utama di depan gedung DPRD provinsi sambil meneriakkan banyak hal melalui megaphone berbunyi tak terlalu nyaring.
Siang tadi ia terlalu banyak berlari, juga berorasi, dan saat ini ia ingin sekali terlelap seperti teman-temannya yang lain. Tapi, ia masih punya satu hal lagi untuk dilakukan sebelum tidur.
Fadil beringsut untuk meraih sebentuk kopi sasetan murah di kabinet, juga gelas plastik hijau yang warnanya norak sekali. Di belakangnya, Tobi –si gondrong yang sedang tidur pulas sambil mendengkur itu– buang angin dengan berisik. Dilihatnya Tobi terkekeh-kekeh, masih dengan mata terpejam dan igauan tidak jelas. Fadil menggebuk wajah Tobi dengan sasetan kopi, kemudian berlalu.
Sudah pukul dua dinihari. Agak terlambat, tapi ia tetap harus membuat pamflet online untuk disebarkan malam ini juga; pamflet seruan aksi. Daftar tuntutan, waktu, titik kumpul, titik aksi, dresscode– ia sudah mencatat semua yang harus dimasukkannya sebagai informasi. Ia hanya perlu stop kontak untuk mengisi baterai laptop, dan mata yang terjaga untuk beberapa saat.
Sambil menunggu air yang dijerangnya mendidih, Fadil membuka jendela yang tertutup rapat– membebaskan udara malam masuk serta-merta.
Udaranya panas. Dan sebentar lagi, ia akan minum kopi panas.
***
Pagi merambat cepat. Sepagi ini, ia menghabiskan sarapan di meja makan dalam diam. Ia menyantap nasi gorengnya tanpa jeda, sementara putrinya mengunyah lambat sambil sibuk menggulirkan jemarinya pada layar ponsel –membaca satu demi satu unggahan online tentang demonstrasi yang berlangsung kemarin di berbagai kota; serangan gas air mata kepada demonstran yang beraksi dengan tenang, rombongan anak sekolah yang turut terjun ke jalan, warga yang membagikan air minum gratis pada demonstran, tim medis yang bekerja tanpa bayaran, dan lain-lain. Putrinya terus membaca. Ia mendengarkan, sambil pura-pura tidak mendengarkan.
Biasanya, sebelum berangkat kerja, ia akan menonton televisi untuk menyaksikan berita-berita. Tapi tidak hari ini. Atasannya menginstruksikan untuk tiba sepagi mungkin demi mengikuti briefing, dan lagi pula, ia tidak menyukai televisi akhir-akhir ini –terlalu banyak yang ditutupi di sana.
Pagi ini, ia berangkat seorang diri. Putranya tidak ada di jok belakang motornya. Semalaman putranya menginap di luar. Mungkin dia akan pulang saat matahari lebih tinggi.
“Pak Alwi, sudah sarapan?” Ikhsan –polisi muda yang berwajah serupa pembaca berita salah satu stasiun televisi– menghampirinya sebelum ia bergabung dengan barisan berseragam cokelat tak jauh dari sana.
Ia mengangguk. “Kau?”
Polisi muda itu tak menjawab. Hanya menyodorkan sebotol air mineral yang masih bersegel. “Wajah Bapak pucat sekali. Minum yang banyak, Pak.”
Ia meraih botol air mineral itu dan berterima kasih. Ikhsan tidak mendengarnya– polisi muda itu sudah berlalu untuk berbaris bersama rekan-rekan mereka. Pak Alwi meneguk sedikit isi botol tersebut lalu meletakkannya serampangan. Ia berjalan terburu-buru menuju barisan.
Di hadapan mereka, segerombolan mahasiswa yang dibalut jas berbagai warna tampak memadati jalan utama. Mereka mengusung kertas karton bertuliskan macam-macam. Tidak ada yang tersenyum. Matahari terik sekali, dan ada marah di mata beberapa di antara mereka. Sebuah mobil pick up berada di depan mereka, dengan beberapa pemuda berdiri di sana, di antara bendera merah putih dan bendera-bendera lainnya. Salah satu pemuda tersebut tampak berorasi, dan disambut dengan teriakan-teriakan.
Pak Alwi menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Di atas mobil itu, putranya berbicara sambil mengepalkan tangan kiri di udara. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan oleh putranya –megaphone itu tidak berbunyi nyaring.
Yang ia tahu, ia dan rekan-rekannya sudah menyiapkan banyak senjata dan gas air mata.
***
Beruntung sekali, hari ini, jualannya habis lebih cepat dari hari biasa. Ia mendorong gerobaknya dengan tergesa menjauhi jalan utama. Di sekitarnya, para anak muda dalam balutan jas aneka warna berlarian panik sambil berteriak dan menjerit. Orang-orang berseragam cokelat mengejar ke sana kemari dengan pentungan dan tameng di kedua tangan. Entah bagaimana, tapi udara sekitar tiba-tiba terasa panas, dan matanya perih sekali. Suasana terlalu kacau– ia terus mendorong gerobaknya di antara keributan.
Sebelum berbelok ke lorong, ia menoleh. Dilihatnya seorang pemuda bertubuh gemuk dengan wajah tak asing berlari mendahuluinya menuju lorong tersebut dan masuk ke salah satu rumah warga. Beberapa saat kemudian, para polisi menyusul memasuki lorong.
Dodi tidak ingat pemuda itu sudah membayar es jeruk yang dibelinya tadi atau tidak, tapi ia benar-benar berharap semoga pemuda itu selamat.
***
Sejak ia memutuskan mengganti ranjangnya dengan yang lebih empuk, ia selalu bangun terlambat– lebih dari yang sudah-sudah. Hari ini ia tidak berkantor seharian. Kantornya dikepung oleh para mahasiswa beberapa hari ini. Mereka terlalu berisik, dan membuat macet di mana-mana.
Televisi dihidupkan. Seketika berita mengenai aksi demonstrasi memenuhi layar. Berakhir ricuh, kata reporter.
Tanpa mematikan televisi, ia berangsur dari kamar tidurnya yang nyaman menuju kitchen set. Ia merasa haus, tapi belum memutuskan apa yang akan ia minum sore hari ini; kopi, air mineral, atau es jeruk. Yang jelas, ia ingin sesuatu yang dingin –karena September gerah sekali.
Makassar, 2019
“stay fit and hydrated.
it’s exhausting to love a country.
and it’s even more exhausting when
the country we love doesn’t love us back
– Aan Mansyur.
Penulis: Inas (mahasiswa Psikologi yang sedang menyelesaikan skripsi)